Ketika sejarah mencatat guncangan besar dalam dunia Islam pada abad ke-13, satu nama yang terus bergema hingga hari ini adalah Ibn Taimiyyah. Lahir pada 1263 di Ḥarrān—wilayah yang kini berada di tenggara Turki—dan wafat dalam penjara di Damaskus pada 1328, Ibn Taimiyyah bukan hanya dikenal sebagai ulama fikih dan teolog, tetapi juga sebagai pemikir kritis yang berani menantang dominasi filsafat Yunani dan teologi spekulatif (kalām) yang menguasai zamannya. Ia bertekad mengembalikan Islam pada akar wahyu, sunah Nabi, dan warisan para salaf.
Namun, benarkah Ibn Taimiyyah seorang anti-rasional yang membenci filsafat? Justru sebaliknya. Meski ia mengkritik keras Aristoteles serta para filsuf Muslim seperti Ibn Sīnā dan Ibn Rusyd, kritiknya bukan penolakan terhadap akal, melainkan pembelaan terhadap akal sehat yang bersumber dari pengalaman dan fiṭrah manusia. Baginya, wahyu yang benar tidak akan pernah bertentangan dengan rasio yang lurus.
Aktivis yang Tak Gentar pada Penjara
Kehidupan Ibn Taimiyyah adalah kisah panjang perlawanan—baik terhadap penjajahan Mongol maupun terhadap penyimpangan teologis dan bid‘ah dalam praktik keagamaan (Syaḥātah 2021; Yāsīn 2020; Aigle 2015). Sejak kecil, ia telah terbiasa dengan lingkungan keilmuan dan menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala madrasah Ḥanbalī di Damaskus (Al-‘Imrān 2019). Namun jalan hidupnya jauh dari nyaman. Ia berkali-kali dipenjara karena pandangan kerasnya terhadap teologi Asy‘ariyyah, kultus terhadap wali, dan praktik sufistik yang dianggap menyimpang dari syariat. Baginya, agama harus dimurnikan dari takhayul, meski itu berarti berhadapan dengan penguasa.
Dalam dekade terakhir hidupnya, ia menulis karya-karya monumental seperti Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql (Menyingkap Konflik antara Akal dan Wahyu) dan al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn (Sanggahan terhadap Para Ahli Logika). Karya-karya ini bukan hanya kritik, melainkan deklarasi bahwa Islam dapat dan harus dibela dengan nalar yang jernih.
Filsafat dalam Bingkai Wahyu
Bagi Ibn Taimiyyah, pengetahuan sejati bersumber dari empat jalan: pancaindra, kabar (terutama wahyu), akal sehat, dan fiṭrah manusia. Ia bukanlah seorang skeptis mutlak. Ia percaya manusia mampu mengenal Tuhan bahkan tanpa wahyu eksplisit, karena tanda-tanda keberadaan-Nya tertanam dalam realitas itu sendiri. Ia menolak logika Aristotelian, termasuk pembagian ilmu dalam taṣawwur (konseptualisasi) dan taṣdīq (asersi), karena dianggap hanya menghasilkan kesepakatan linguistik belaka, bukan kebenaran sejati.
Ia juga menolak konsep universalia—seperti “kemanusiaan”—sebagai entitas eksternal. Ibn Taimiyyah menganut nominalisme, atau lebih tepatnya konseptualisme: hanya individu konkret yang sungguh ada. Pemahaman terhadap realitas, menurutnya, harus dimulai dari yang partikular.
Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Logika Yunani
Salah satu kritik tajam Ibn Taimiyyah adalah terhadap logika silogistik Aristotelian yang dikembangkan kembali oleh Ibn Sīnā. Bagi para logikawan, kepastian dicapai lewat silogisme: jika A adalah B dan B adalah C, maka A adalah C. Namun bagi Ibn Taimiyyah, metode ini seperti daging unta kurus di puncak gunung—sulit dijangkau, dan jika berhasil pun hasilnya tak seberapa.
Ia menilai silogisme tidak akan sahih jika premisnya sendiri tidak pasti. Dalam hal empiris seperti “semua api membakar,” ia berargumen bahwa cukup menyaksikan satu peristiwa pembakaran untuk memahami hakikat api. Pengetahuan berasal dari pengalaman, bukan logika deduktif.
Ia menyetarakan silogisme dengan analogi (qiyās) dalam fikih. Contohnya, arak dari kurma (nabīḍ) disamakan hukumnya dengan arak dari anggur karena sama-sama memabukkan—analogi ini sama sahihnya dengan silogisme: “semua yang memabukkan haram; nabīḍ memabukkan; maka nabīḍ haram.”
Namun, baginya, sumber pengetahuan yang paling otoritatif tetap wahyu ilahi. Logika hanya sah jika berdiri di atas premis yang benar—dan satu-satunya sumber kebenaran mutlak adalah Tuhan.
Tuhan yang Nyata dan Dekat
Pandangan Ibn Taimiyyah tentang Tuhan juga menuai kontroversi. Ia menolak posisi kalām klasik yang menyatakan bahwa Tuhan “tidak di dalam alam, tidak pula di luarnya,” karena dianggap tidak masuk akal. Tuhan, menurutnya, adalah entitas nyata yang eksistensinya berada “di atas” semesta.
Apakah ini berarti Tuhan berbadan? Ia berhati-hati. Istilah seperti “jism” (badan) tidak digunakan karena tidak disebut dalam wahyu. Namun, ia tidak menolak sifat-sifat Tuhan seperti tangan, duduk di atas ‘Arsy, atau tertawa—semuanya dipahami tanpa menyerupakan dengan makhluk.
Ia juga menolak pandangan bahwa Tuhan berada “di luar ruang dan waktu.” Sebaliknya, Tuhan adalah sebab dari ruang dan waktu, karena senantiasa mencipta sejak zaman azali. Keabadian Tuhan bukanlah keheningan metafisis, melainkan dinamika kreatif yang tiada henti.
Akal dan Wahyu: Tidak Pernah Bertentangan
Dalam magnum opus-nya Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa-l-Naql, Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa kontradiksi antara akal dan wahyu muncul bukan karena keduanya bertentangan, melainkan karena akal disalahgunakan. Baginya, rasionalitas wahyu jauh lebih kuat dan konsisten dibanding spekulasi filsafat.
Kebenaran wahyu adalah cermin dari fiṭrah. Ketika akal digunakan secara lurus, ia akan berpadu harmonis dengan wahyu. Sebagai contoh, eksistensi Tuhan tidak memerlukan argumentasi kosmologis yang rumit. Bagi manusia waras, keberadaan Tuhan terbukti dari keberadaan dirinya sendiri: “Segala yang mungkin butuh sebab; karena kita ada, maka pasti ada Pencipta”.
Agama sebagai Cinta, Tujuan, dan Sistem Sosial
Uniknya, Ibn Taimiyyah memandang agama secara sangat humanistik. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang mencintai dan menyembah sesuatu. Maka setiap orang pasti memiliki “agama”, yakni sesuatu yang ia cintai dan patuhi—entah itu Tuhan, kekuasaan, harta, atau dirinya sendiri.
Agama adalah sistem hidup yang mengatur cinta dan kepatuhan manusia, baik secara personal maupun sosial. Islam, dalam pandangannya, adalah agama paling sempurna karena menyatukan antara tujuan akhir (ibadah kepada Allah) dan jalan menuju tujuan itu (syariat).
Tauhid, menurut Ibn Taimiyyah, bukan hanya pengakuan bahwa Allah satu dalam penciptaan (rubūbiyyah), tetapi yang lebih penting adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang layak disembah (ulūhiyyah). Ini merupakan kritik terhadap teologi Asy‘ariyyah yang dinilai hanya menekankan aspek rubūbiyyah.
Ibn Taimiyyah: Syariat Jalan Menuju Kemaslahatan
Syariat, dalam pandangan Ibn Taimiyyah, bukan sekadar seperangkat hukum, melainkan jalan menuju kemaslahatan tertinggi—baik dunia maupun akhirat. Meski menolak metode maqāṣid al-Ghazālī yang membuka ruang bagi maslahat mursalah tanpa dalil tekstual, Ibn Taimiyyah tetap menekankan pentingnya maslahat, selama berakar pada wahyu.
Dalam kondisi tertentu, ia bahkan membolehkan pelanggaran hukum demi menghindari kerusakan yang lebih besar. Misalnya, jika melarang raja mabuk justru membuatnya murtad, maka lebih baik ia tetap dibiarkan mabuk. Prinsipnya adalah memilih mudarat terkecil demi kemaslahatan terbesar.
Etika dan Kehendak Tuhan
Dalam etika, Ibn Taimiyyah mengambil posisi tengah antara rasionalisme Mu‘tazilah dan voluntarisme ekstrem Asy‘ariyyah. Ia menawarkan pendekatan berbasis maslahat: kebaikan adalah segala yang mendekatkan manusia kepada Tuhan dan menghindarkan dari mudarat.
Namun berbeda dari utilitarianisme Barat yang sekuler, manfaat menurut Ibn Taimiyyah selalu dikaitkan dengan keselamatan akhirat. Hukum Tuhan bukan hanya mengatur perilaku, tetapi membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati.
Ibn Taimiyyah: Rasionalitas dalam Bingkai Wahyu
Di era kini, Ibn Taimiyyah kerap dicitrakan sebagai tokoh literalis bahkan fundamentalis. Namun jika ditelaah secara menyeluruh, ia justru tampil sebagai sosok yang kompleks: ulama Hanbali yang rasionalis, teolog tradisionalis yang progresif, dan filsuf yang justru sangat filosofis meskipun anti-filsafat.
Ia menolak kesombongan akal, namun tidak pernah menafikan rasionalitas. Ia menolak spekulasi tanpa dasar, namun membangun sistem pemikiran yang kokoh, argumentatif, dan relevan lintas zaman.
Di tengah dunia yang gamang antara dogma membuta dan relativisme nihilistik, warisan Ibn Taimiyyah mengingatkan kita bahwa kebenaran layak diperjuangkan—dengan akal sehat, cinta, dan keberanian untuk mengatakan tidak pada penyimpangan, meski seluruh dunia menentangnya.
Editor: Assalimi