Perspektif

Meluruskan Makna Al-Wala’ wa Al-Bara’

3 Mins read

Di tengah derasnya arus informasi dan konflik identitas global, Islam kerap menjadi sasaran misinterpretasi. Salah satu konsep yang paling sering disalahpahami adalah al-Wala’ wa al-Bara‘. Sebuah istilah Arab yang secara sederhana berarti “loyalitas dan penolakan.” Sayangnya, banyak yang memaknainya secara sempit. Seolah Islam mengajarkan untuk hanya setia kepada sesama Muslim dan memusuhi semua yang berbeda keyakinan.

Padahal, bila ditelusuri lebih dalam, makna al-Walā’ wa al-Barā’ jauh dari ajaran kebencian. Ia adalah bagian dari ajaran spiritual yang menekankan bagaimana seorang Muslim menjaga identitas keimanannya. Tanpa menutup pintu bagi hidup damai dan adil bersama orang lain.

Mengenal al-Wala’ wa al-Bara’

Secara etimologis, al-Wala’ mengandung makna kedekatan, loyalitas, atau solidaritas terhadap orang-orang beriman. Sementara al-Bara’ bermakna menjauh dari segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti kezaliman, kekerasan, atau kemusyrikan.

Konsep ini bukan panggilan untuk memusuhi non-Muslim. Bahkan dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad pernah mengirim sebagian sahabatnya untuk mencari perlindungan kepada Raja Najasyi di Abisinia. Seorang Kristen yang dikenal adil. Ini membuktikan bahwa nilai loyalitas dalam Islam tidak dibatasi oleh identitas agama, melainkan oleh keadilan dan ketakwaan.

Dalam hadis, Nabi juga bersabda, “Janganlah berteman kecuali dengan orang beriman, dan jangan memberi makan kecuali kepada orang bertakwa.” (HR. Abū Dāwūd). Namun, ini bukan ajakan untuk mengisolasi diri, melainkan bentuk kehati-hatian dalam membangun kedekatan spiritual.

Ketika Tafsir Disalahpahami

Sayangnya, konsep ini sering diseret dalam narasi ekstrem, baik oleh sebagian kelompok radikal maupun oleh para pengkritik Islam garis keras. Beberapa tokoh Islamofobia seperti David Bukay dan Bat Ye’or menuduh bahwa al-Wala’ wa al-Bara’ adalah bukti bahwa Islam tidak bisa bertoleransi. Mereka mengutip ayat-ayat Al-Qur’an secara sepotong-sepotong, tanpa melihat konteks sejarah, sosial, maupun metode penafsiran yang berlaku dalam tradisi Islam.

Baca Juga  Gus Baha: Cara Mudah Menjadi Waliyullah

Contoh paling sering digunakan adalah kutipan dari Surah At-Taubah ayat 5, yang berbunyi “Perangilah mereka di mana pun kamu jumpai mereka.” Tanpa memahami bahwa ayat ini turun dalam konteks pengkhianatan perjanjian oleh kaum musyrik Mekah. Tafsir semacam ini berpotensi menyesatkan dan menstigma seluruh umat Islam.

Kesalahan Terjemahan al-Wala’ wa al-Bara’

Salah satu penyebab utama kesalahpahaman terhadap al-Wala’ wa al-Bara’ adalah penerjemahan istilah Qur’an ke bahasa asing yang terlalu harfiah. Misalnya, kata auliyā’ sering diterjemahkan menjadi “teman”, padahal bisa juga berarti “sekutu” dalam konteks politik atau militer. Kesalahan semantik seperti ini sering dimanfaatkan untuk membangun narasi negatif tentang Islam.

Ditambah lagi, banyak orang yang membaca Al-Qur’an terjemahan tanpa memahami kekayaan bahasa Arab klasik—yang penuh dengan retorika, ironi, dan konteks gramatikal khas. Tanpa bekal tersebut, sangat mudah tersesat dalam penafsiran yang keliru.

Islamofobia: Ketika Kritik Berubah Jadi Stigma

Kritik terhadap agama, termasuk Islam, adalah bagian dari kebebasan berpikir. Namun, ketika kritik berubah menjadi generalisasi dan penyudutan terhadap seluruh komunitas Muslim, itulah yang disebut sebagai Islamofobia. Konsep al-Wala’ wa al-Bara’ seringkali dijadikan alat untuk memperkuat stereotip bahwa Islam adalah agama kekerasan. Padahal, seperti kata Imam al-Syāfi‘ī, kesalahan seorang Muslim tidak bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan Islam itu sendiri.

Islamofobia bukan sekadar ketidaksukaan terhadap ajaran tertentu, tetapi merupakan bentuk diskriminasi sistematis yang bisa berdampak pada hak-hak sipil, sosial, bahkan keamanan umat Muslim di berbagai negara. Ketika konsep seperti al-Wala’ wa al-Bara’ dipelintir dan dipakai untuk menjustifikasi ketakutan kolektif terhadap Islam, yang terjadi bukanlah perdebatan intelektual, melainkan pembentukan opini publik yang bias dan merugikan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—baik Muslim maupun non-Muslim—untuk mengedepankan literasi keagamaan yang adil dan bertanggung jawab, agar perbedaan tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan kekayaan bersama dalam masyarakat yang plural.

Baca Juga  Jaringan Ulama dan Akar Pembaruan Islam Indonesia

Relevansi di Konteks Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang sangat majemuk justru memberikan ruang unik bagi reinterpretasi konsep al-Wala’ wa al-Bara’. Dalam konteks ini, al-Wala’ bisa dipahami sebagai loyalitas terhadap nilai keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas sosial. Sementara al-Bara’ menjadi sikap penolakan terhadap kekerasan, korupsi, dan ketidakadilan, tak peduli dari mana sumbernya.

Dengan pemaknaan seperti ini, konsep tersebut justru bisa menjadi kekuatan moral untuk membangun kohesi sosial antarumat beragama. Spirit amar ma‘rūf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan) tidak hanya untuk sesama Muslim, tetapi bisa ditransformasikan menjadi etos kewarganegaraan yang inklusif.

Menuju Pemahaman yang Lebih Seimbang

Agar tidak terjebak dalam ekstremisme atau Islamofobia, ada tiga kesadaran penting yang perlu dibangun:

  1. Kesadaran kontekstual – Memahami ayat dan hadis tidak hanya secara literal, tapi juga dengan melihat latar belakang sejarah, sosial, dan budaya.
  2. Kesadaran global – Menyadari bahwa kita hidup di dunia yang terhubung, di mana nilai hak asasi manusia, toleransi, dan keadilan menjadi fondasi bersama.
  3. Kesadaran bahasa – Memahami kekayaan bahasa Arab agar tidak terjebak dalam kesalahan tafsir yang bisa berujung pada stigmatisasi atau kekeliruan dalam praktik keagamaan.

Al-Wala’ wa Al-Bara’ bukan Hanya Slogan

Pada akhirnya, al-Wala’ wa al-Bara’ bukanlah slogan untuk membangun tembok pemisah, melainkan cermin dari kedalaman iman yang mengajarkan cinta karena Allah dan penolakan terhadap kebatilan demi keadilan. Islam tidak mengajarkan kebencian, tetapi mengajarkan keberanian untuk mengatakan “tidak” pada ketidakadilan dan “ya” pada kebenaran—dengan cara yang bermartabat.

Dengan pemahaman yang benar, al-Wala’ wa al-Bara’ justru dapat menjadi prinsip moral yang mendorong umat Islam untuk aktif membela nilai-nilai universal seperti perdamaian, solidaritas, dan kemanusiaan. Loyalitas tidak lagi terbatas pada kelompok eksklusif, tetapi meluas pada siapa saja yang memperjuangkan kebaikan bersama. Sementara penolakan tidak diarahkan pada identitas orang lain, melainkan pada tindakan yang mencederai keadilan. Inilah wajah Islam yang seharusnya ditampilkan di tengah dunia yang penuh polarisasi: teguh dalam prinsip, tetapi terbuka dalam dialog dan kerja sama.

Baca Juga  KH. Abdul Halim Mahfudz: Pemukiman Khusus Muslim Membuat Masyarakat Ekslusif

Editor: Assalimi

Hamdan Maghribi
7 posts

About author
Dosen Akhlak dan Tasawuf IAIN Surakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tiga Model Pembacaan Tafsir Gender Modern Menurut Hadia Mubarak

2 Mins read
Isu teologis menjadi salah satu unsur yang paling mendesak bagi umat Muslim di era modern. Salah satunya adalah aspek penafsiran ayat-ayat al-Qur’an…
Perspektif

Etika Islam dan Semangat Filantropisme (3): Filantropi Sebagai Kritik

2 Mins read
Transformasi konsep-konsep kesalehan dalam Islam yang diterjemahkan dalam gerakan sosial dan filantropi yang saat ini berkembang tentu memiliki makna tersirat yang kuat….
Perspektif

Etika Islam dan Semangat Filantropisme (2): Etika Islam, Dimensi Ekonomi, dan Semangat Filantropisme

9 Mins read
Seiring dengan berbagai perkembangan dan masalah sosial, ekonomi dan politik yang kompleks dewasa ini yang mempengaruhi perilaku altruistik secara individual maupun kolektif,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *