Di antara kita kadang berbuat bodoh di dunia ini. Kebodohan ini sering kali terjadi bukan karena kita tidak berilmu, namun karena karakter yang sombong dan ingin mendominasi. Dalam sebuah kanal Youtube, Helmi Yahya menyampaikan tiga tanda utama kebodohan, yaitu: suka memotong pembicaraan, menjawab sebelum pertanyaan selesai dilontarkan, dan menghakimi sebelum mengerti.
Ketiga tanda ini tidak hanya mencerminkan kurangnya kedewasaan dalam berkomunikasi, tetapi juga menunjukkan ketidaksabaran dan kurangnya penghormatan terhadap orang lain. Dalam Islam, sikap-sikap seperti ini sangat dilarang karena bertentangan dengan nilai-nilai akhlak mulia yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadis.
Memotong pembicaraan orang lain adalah tanda kurangnya kesabaran dan penghormatan. Al-Quran mengajarkan umat Islam untuk mendengarkan dengan baik sebelum berbicara. Allah SWT berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”* (QS. Al-A’raf: 204)
Ayat ini mengajarkan pentingnya mendengarkan dengan seksama sebelum memberikan tanggapan. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mendengarkan dengan baik adalah bentuk penghormatan terhadap pembicara dan tanda ketaatan kepada Allah SWT. Meskipun kita sebetulnya mengetahui arah pembicaraan seseorang, akan sangat melegakan yang berbicara ketika kita memberi kesempatan baginya untuk menyelesaikan apa yang ingin disampaikan. Boleh jadi apa yang kita sangkakan berbeda dengan apa yang dikehendakinya.
Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Meskipun hadis ini bersifat umum, namun secara implisit juga menegaskan bahwa berdiam dulu mendengarkan orang lain berbicara (tidak memotongnya) adalah bagian dari keimanan. Memotong pembicaraan dapat menyebabkan kesalahpahaman dan merusak hubungan sosial.
Sedangkan, menjawab sebelum pertanyaan selesai adalah tanda ketidaksabaran dan kurangnya pemahaman. Kita tidak mengetahui sedetik pun dari apa yang masih akan terjadi, termasuk apa yang akan disampaikan oleh orang lain. Pertanyaan seseorang biasanya dimulai dengan pemaparan, curhatan, atau hal lainnya.
Tentu kita tidak bisa menerka secara akurat apa yang akan ditanyakan, meskipun kecenderungannya bisa kita duga. Membiarkan orang lain menyelesaikan pertanyaannya juga bagian dari penghormatan kita pada orang lain. Alangkah kecewanya penanya jika jawaban kita yang tergesa-gesa tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Al-Quran mengajarkan kita untuk bersikap sabar dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini mengajarkan pentingnya verifikasi dan kesabaran sebelum mengambil tindakan. Menjawab sebelum pertanyaan selesai dapat menyebabkan kesalahan dalam memahami maksud pembicara. Penting memahami sebuah pertanyaan secara detail dan mendalam agar jawaban yang kita berikan tidak menyesatkan. Apalagi jika menyangkut hukum agama, maka jawaban harus benar-benar akurat.
Rasulullah SAW juga mengajarkan pentingnya mendengarkan dengan sabar:
التَّأَنِّي مِنَ اللَّهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Sikap tenang dan sabar berasal dari Allah, sedangkan tergesa-gesa berasal dari setan. (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa ketidaksabaran dalam berbicara adalah godaan setan yang harus dihindari. Modus operasi setan adalah menggelincirkan lisan manusia agar salah dan bermasalah. Karenanya, ketenangan dan tidak reaksioner menunjukkan kematangan dan kebijaksanaan.
Lebih celaka lagi kalau kita memiliki kebiasaan menghakimi sebelum mengerti. Menghakimi sebelum mengerti adalah tanda kebodohan yang paling berbahaya, karena dapat merugikan orang lain. Sayangnya, prilaku ini banyak menjangkiti para ahli dakwah. Sering sekali kita perhatikan di media sosial seperti Youtube atau TikTok seorang ustadz memvonis, mentahdzir, meghakimi orang lain atau kelompok lain yang berbeda, padahal belum memahami pemikiran kelompok lain dengan baik.
Banyak yang menyindir bahwa prilaku ini dengan ungkapan, mulutnya lebih panjang dari otaknya. Tidak jarang setelah berbicara dengan berapi-api menyesatkan kelompok lain, kemudian melakukan klarifikasi memohon maaf. Hal ini menunjukkan bahwa memang belum memahami dengan baik ketika berbicara dan menghakimi kelompok lain.
Menghakimi tanpa pengetahuan yang baik bukanlah sunah yang diajarkan dalam Islam. Padahal Allah SWT menegaskan dalam Al-Quran, melarang kita untuk berprasangka buruk dan menghakimi tanpa dasar yang jelas. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. (QS. Al-Hujurat: 12)
Meskipun khitob ayat ini adalah orang fasik, namun meneliti dan menginvestigasi sebuah berita agar akurat juga perintah agama. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mudah menghakimi orang lain tanpa mengetahui fakta sebenarnya. Prasangka buruk dan penghakiman yang gegabah dapat merusak hubungan sosial dan menimbulkan permusuhan.
Rasulullah SAW juga bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
Sesungguhnya seseorang mengucapkan suatu kalimat yang dia anggap tidak masalah, tetapi karena kalimat itu dia terjatuh ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun. (HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam berbicara dan tidak menghakimi tanpa dasar yang jelas. Apa lagi jika posisinya adalah seorang pendakwah. Satu perkataan ustadz, kiyai, gus, dan guru jika salah akan menjadi jariyah kesalahan bagi orang banyak, bahkan sampai beberapa generasi setelahnya. Karenanya, status terhormat sebagai seorang publik figure, pendakwah agama, haruslah sangat hati-hati dan bijaksana.
Kebodohan, dalam konteks ini, bukan hanya merujuk pada kurangnya pengetahuan, tetapi juga pada ketidakmampuan menggunakan akal dan hati secara seimbang. Islam mengajarkan bahwa manusia harus mengembangkan dua aspek penting dalam dirinya: spiritualitas (qalb) dan nalar (aql). Keduanya harus dipandu oleh wahyu (Al-Quran dan Hadis) serta logika yang benar.
Kelembutan bicara biasanya didukung oleh tingkat spiritualitas yang tinggi. Spiritualitas dalam Islam berkaitan dengan kesucian hati (qalb) dan kedekatan dengan Allah SWT. Kebodohan sering kali muncul karena hati yang kotor atau jauh dari Allah, meskipun mulutnya selalu mengaku sebagai pengikut sunah. Al-Quran menyebutkan:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (QS. Qaf: 37)
Ayat ini menunjukkan bahwa hati yang hidup (qalbun salim) mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari segala sesuatu. Untuk meningkatkan spiritualitas, kita harus rajin membaca, merenungkan dan mentadzburi Al-Quran.
Al-Quran adalah sumber petunjuk yang dapat membersihkan hati dan meningkatkan kesadaran spiritual. Keluasan pemahaman akan firman tuhan menunjukkan kebijaksanaan dalam semua tindakan. Jika seseorang mengaku sebagai ahli Al-Quran tetapi tindakan dan ucapannya tidak mencerminkan akhlak Al-Quran, bisa jadi dia sebetulnya belumlah mengerti, belum sampai tingkatan ulul albab yang menggunakan potensi pikirannya untuk memahami ayat-ayat Tuhan.
Allah SWT berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Sad: 29)
Selain meningkatkan pemahaman terhadap teks-teks agama secara luas, juga diiringi dengan selalu berdzikir kepada Allah SWT. Zikir dan doa adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan hati dari kotoran spiritual.
Rasulullah SAW bersabda:
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dan orang yang tidak berzikir kepada Tuhannya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati. (HR. Bukhari)
Fikir dan dzikir haruslah berjalan beriringan. Hanya mengandalkan akal saja tanpa dzikir hanya akan menggelincirkan, dzikir tanpa mengasah nalar hanya menjadi jumud. Nalar (aql) adalah anugerah Allah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Namun, nalar harus dipandu oleh wahyu agar tidak tersesat.
Al-Quran menekankan pentingnya menggunakan akal:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 190)
Nalar manusia terbatas, sedangkan wahyu adalah kebenaran mutlak dari Allah. Oleh karena itu, penalaran harus selalu merujuk pada Al-Quran dan Hadis dengan pemahaman atau manhaj yang juga dirumuskan oleh para ulama yang rasihun, bukan hanya pakar namun juga memiliki hati yang bersih. Allah SWT berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Hadis). (QS. An-Nisa: 59)
Kembali kepada Al -Quran dan al-Hadis tidak segampang deklarasi pengakuan. Kembali dari safar saja membutuhkan alat dan biaya. Maka kembali pada Al-Quran dan al-Hadis tidak cukup sebagai semboyan saja, namun harus dengan alat yang baik supaya tidak tersesat. Harus menguasai methodologi dan ilmu alat yang mumpuni. Pakar bahasa arab, ushul fikih, ulumul quran, ulumul hadis, fikih, tafsir, bahkan ilmu-ilmu yang relevan sesuai zamannya, seperti sosiologi, antropologi, eksakta, medis, kimia, fisika dan lain sebagainya.
Sebagai umat Islam, tetu kembali pada Al-Quran dan Al-Sunnah adalah sebuah kewajiban. Tidak ada seorangpun, selain Rasulullah, yang tidak pernah meninggalkan Al-Quran. Seseorang boleh saja mengaku tidak pernah meninggalkannya, makanya tidak butuh jargon kembali pada Al-Quran dan Al-Sunnah. Masa iya? Bukankah dia pernah berghibah, bukannya dia sering bertengkar dengan sesama saudaranya, bukankah mulutnya juga sering ngawur, bukannya dia juga doyan risywah, bukannya dia juga punya ambisi kekuasaan meskipun seorang kiyai? Apakah dia tidak butub kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah.
Salah satu methodologi untuk kembali pada nalar yang lurus adalah qiyas. Qiyas adalah metode penalaran dalam Islam untuk menyelesaikan masalah baru dengan merujuk pada masalah yang sudah ada dalam Al-Quran dan Hadis. Misalnya, mengharamkan narkoba berdasarkan qiyas dari keharaman khamar.
Sepaya terhindar dari kebodohan nalar dan prilaku, maka kita harus berusaha membebaskan diri kita dari banyak prasangka. Penalaran yang benar harus bebas dari prasangka dan emosi.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. (QS. Al-Hujurat: 12)
Spiritualitas dan nalar harus berjalan beriringan. Tanpa spiritualitas, nalar bisa menjadi kering dan cenderung materialistis. Tanpa nalar, spiritualitas bisa menjadi fanatik dan tidak rasional. Rasulullah SAW memberikan contoh terbaik dalam mengintegrasikan keduanya. Misalnya, dalam menghadapi masalah, beliau selalu merujuk pada wahyu dan menggunakan akal secara bijaksana.
Allah SWT berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)
Ayat ini menunjukkan bahwa merenungkan Al-Quran dengan akal dan hati yang terbuka adalah kunci untuk melawan kebodohan. Menjadi Islam harus menjadi cerdas, apa lagi jika menjadi seorang pendakwah yang kata-katanya diikuti oleh jamaah, maka harus lebih berhati-hati.
Sikap bodoh yang ditandai dengan suka memotong pembicaraan, menjawab sebelum pertanyaan selesai, dan menghakimi sebelum mengerti adalah perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap ini sangat jauh dari sunah.
Al-Quran dan Hadis mengajarkan kita untuk bersikap sabar, mendengarkan dengan baik, dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Para ulama juga menekankan pentingnya menjaga akhlak dalam berkomunikasi agar terhindar dari kesalahan dan dosa. Dengan mengikuti petunjuk Al-Quran dan Hadis, kita dapat menghindari sikap bodoh dan menjadi pribadi yang lebih bijaksana.
Melawan kebodohan memerlukan peningkatan spiritualitas dan pengembangan nalar yang dipandu oleh Al-Quran, Hadis, dan logika yang benar. Dengan membersihkan hati dan menggunakan akal secara bijaksana, kita dapat mencapai pemahaman yang mendalam tentang kebenaran dan terhindar dari kesesatan. Integrasi antara spiritualitas dan nalar adalah kunci untuk menjadi manusia yang cerdas, bijaksana, dan dekat dengan Allah SWT.
Editor: Soleh