Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memerlukan pemahaman yang mendalam. Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengakses bahasa Arab klasik atau memahami kitab-kitab tafsir yang kompleks.
Dalam konteks ini, Tafsir Al-Wadhih karya Muhammad Mahmud Hijazi hadir sebagai solusi. Ia menawarkan penjelasan yang ringkas, mudah dipahami, namun tetap mendalam dan bermakna.
Tafsir ini memudahkan berbagai kalangan—dari pelajar hingga masyarakat umum—untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an melalui pendekatan yang sederhana namun ilmiah, menjadikannya relevan dengan tantangan zaman.
Selayang Pandang tentang Muhammad Mahmud Hijazi
Muhammad Mahmud Hijazi atau lengkapnya Muhammad bin Mahmud bin Muhammad bin Yusuf bin Muhammad Hijazi Asy-Syafi’i, bergelar al-‘Allamah al-Fadhil al-Syaikh al-Duktur. Ia lebih dikenal dengan nama Dr. Muhammad Mahmud Hijazi. Nisbah “Hijazi” merujuk pada nama suku atau marganya. Ia lahir pada 15 Mei 1914 di Syahbarah Minqala, al-Zaqaziq, Provinsi al-Syarqiyah, Mesir, dan wafat dalam usia 58 tahun pada 17 April 1972 di Khartoum, Sudan. Jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya, al-Zaqaziq.
Sejak usia 12 tahun, Hijazi telah menghafal Al-Qur’an di desanya. Ia menempuh pendidikan di beberapa ma’had seperti al-Zaqaziq, Dasuq, dan Tanta. Ia menyelesaikan pendidikan menengah pada 1935, melanjutkan ke Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar dan memperoleh gelar Licence pada 1939 serta ijazah mengajar pada 1941.
Gelar magisternya diraih pada 1966 di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, jurusan Tafsir dan ‘Ulum Al-Qur’an. Disertasinya yang berjudul Al-Wihdah al-Maudhu’iyyah li al-Qur’an al-Karim menjadi salah satu sumbangan penting dalam kajian tema Al-Qur’an. Gelar doktor diraih pada 1968 dengan predikat cumlaude.
Hijazi berguru pada banyak ulama terkemuka, termasuk ayahnya sendiri, Amin Muhammad Hasan, serta Muhammad Abu Zahrah dan Muhammad Musthafa al-Maraghi. Di antara murid-muridnya adalah Ahmad Abbas al-Badawi, Ahmad Ali al-Imam, dan Amin Muhammad al-Amin.
Ia dikenal sebagai mufasir produktif dengan beberapa karya penting seperti Tafsir al-Wadhih, Al-Wihdah al-Maudhu’iyyah fi al-Qur’an al-Karim, Al-Ahadis al-Mukhtarah fi al-Sahihain, Al-Qasas al-Qur’ani fi al-Qur’an al-Karim (masih manuskrip), dan Mashru’iyyat al-Qital fi al-Islam.
Karakteristik Tafsir Al-Wadhih
Penulisan Tafsir al-Wadhih dimulai sejak 1951 saat Hijazi masih belajar di Zaqaziq dan diselesaikan pada juz ke-30 pada 22 Juni 1955. Tafsir ini telah diterbitkan sebanyak 10 kali, mula-mula dalam 48 juz terpisah, lalu disusun ulang menjadi tiga jilid setelah wafatnya. Dalam muqaddimahnya, Hijazi menjelaskan bahwa alasan penyusunan tafsir ini adalah kesulitan memahami tafsir klasik tanpa keahlian, perbedaan penafsiran hukum, dan kebutuhan umat akan pedoman yang jelas dari Al-Qur’an.
Tafsir al-Wadhih mengikuti urutan mushaf Utsmani dan membagi ayat ke dalam kelompok tematik. Sistematika penafsirannya mencakup penjelasan nama surat, kandungan global, klasifikasi Makkiyah atau Madaniyah, penguraian kosa kata sulit, penjelasan mendalam disertai asbabun nuzul dan pendapat ulama, serta penekanan pada relevansi surat terhadap ilmu tafsir.
Pendekatan yang digunakan adalah kombinasi antara tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi, dengan sumber utama Al-Qur’an, hadits, dan ijtihad. Metode yang digunakan bersifat tematik (maudhu’i) dengan pendekatan manhaji serta corak al-hida’i dan adabi ijtima’i. Bahasa yang digunakan sederhana, komunikatif, dan kontekstual.
Kelebihan Tafsir al-Wadhih adalah bahasanya yang mudah dipahami, pendekatan tematik yang memudahkan pembaca, dan relevansinya terhadap isu-isu kontemporer. Namun, kekurangannya terletak pada fokus tematik yang bisa mengabaikan keterkaitan antar ayat, sehingga membutuhkan pemahaman mendalam bagi pembaca awam.
Contoh Penafsiran Hijazi
Contoh penafsiran Hijazi terdapat pada QS. Al-Baqarah [2]:126, yang berisi doa Nabi Ibrahim:
“Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu orang yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari Akhir.” Dia (Allah) berfirman, “Siapa yang kufur akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Al-Baqarah: 126).
Ayat ini mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang doa Nabi Ibrahim a.s. agar Mekkah menjadi negeri yang aman dan diberkahi rezeki. Menurut ulama seperti Thaba’taba’i dan Sya’rawi, keamanan yang dimaksud bukan keamanan mutlak (amn takwiny), tetapi syar’i (amn tasyri’iy), yakni keamanan yang ditetapkan melalui syariat dan mesti dijaga oleh manusia. Doa ini juga menekankan pentingnya memohon rezeki dan keamanan dari Allah SWT sebagai kebutuhan dasar masyarakat.
Kitab Tafsir Kontemporer
Tafsir al-Wadhih karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi merupakan karya tafsir kontemporer yang menggabungkan pendekatan ma’tsur dan ra’yi, disusun dengan metode tematik dan corak adabi ijtima’i. Penafsirannya singkat, jelas, dan menggunakan bahasa populer yang memudahkan masyarakat umum.
Hijazi juga menjelaskan istilah-istilah sulit untuk mencegah kesalahpahaman dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Karya ini menjadi kontribusi besar dalam dunia tafsir yang masih perlu mendapat perhatian lebih luas dari umat Islam.
Selain itu, Tafsir al-Wadhih juga menonjolkan aspek bimbingan praktis (tarbawi) dalam penafsirannya. Dimana Hijazi tidak hanya menjelaskan makna ayat, tetapi juga menyertakan pelajaran hidup (ibrah) dan nilai-nilai akhlak yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadikan tafsirnya tidak sekadar teoretis, tetapi juga fungsional dan transformatif, mendorong pembaca untuk merefleksikan pesan Al-Qur’an dalam konteks sosial dan spiritual.
Editor: Assalimi

