Subuh belum selesai menari di ufuk timur, tetapi layar-layar gawai telah menampilkan wajah-wajah yang merasa suci. Seorang ustadz muda, dengan gamis berlogo merek luar negeri, menyunggingkan senyum di antara latte art dan red velvet. Caption-nya tajam: “Ngopi syar’i, berbagi energi ilahi.” Apakah ini sebuah dakwah yang tulus atau hanya mimbar dakwah yang terperangkap dalam citra dan narsisme?
Kolom komentarnya riuh: “Ustadz kece.” “Gus idola.” “Kiai zaman now.” “Subhanallah, sehat selalu ustadz.” “Mantab.” Namun dalam lanskap spiritual yang dikemas glamor dan konten siap berbagi ini, muncul pertanyaan yang lebih sunyi dari doa malam: Apakah ini dakwah atau narsisme berjubah? Apakah yang kita saksikan adalah zikir atau pencitraan yang lapar tepuk tangan?
Ketika Mimbar Dakwah Tergelincir Konten Narsisme
Mari kita hadapi kenyataan dengan mata terbuka: Narsisme kini bukan hanya penyakit para selebritas dan politikus. Ia juga menyusup ke dalam surban dan jubah. Ia menjalar di balik kalimat “jamaah fillah” dan caption “syar’i” yang dibumbui produk endorse para “antum”.
Banyak ustadz, gus, dan kiai milenial berubah menjadi spiritual influencer, sibuk membangun merek, membentuk komunitas pengikut fanatik, bukan membentuk akhlak karimah. Gaya hidup religius dikemas seperti reality show; fashion, skincare, hingga kuliner menjadi alat dakwah, atau lebih tepatnya, “alat tampil”. Sebagian dari mereka membangun majelis bukan sebagai ruang ilmu, melainkan sebagai panggung pemujaan pribadi, alat mobilitas diri.
Ironisnya, mereka juga menjadi aktor utama dalam drama sektarian. Mengklaim kebenaran tunggal, menyalahkan kelompok lain dengan kemasan teologis dan narasi murka. Bahkan sampai melarang jamaah mendengar ceramah ustadz lain. Sungguh, ini bukan sekadar khilaf, tetapi penyakit dalam jiwa yang menggerogoti fondasi rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana bisa seorang faqih membangun kebencian dengan bumbu agama, menyeret ketaqlidan dengan topeng kebenaran?
Mimbar Dakwah Narsisme Bisa Mengenai Siapa Saja
Dalam ilmu psikologi, perilaku ini disebut sebagai NPD (Narcissistic Personality Disorder), sebuah penyakit kejiwaan akut yang menggerogoti hati secara pelan dan pasti. Naifnya, penyakit ini tidak hanya menyerang artis atau penguasa. Ia bisa menjangkiti siapa pun, termasuk mereka yang membawa kitab dan berdiri di mimbar dakwah. Bahkan, semakin tinggi panggung sosial dan spiritual yang diinjak, semakin besar godaan untuk merasa menjadi pusat semesta.
NPD pada ustadz selebriti ini biasanya ditandai dengan perasaan diri sangat penting, fantasi tentang kehebatan, kejayaan, keunikan absolut. Hasrat dipuja dan dipuji tiada henti, minim empati, alergi terhadap kritik. Mengaku dizalimi saat dikritik, tetapi lihai menyerang pihak lain. Merasa diri selalu benar, bahkan mewakili kebenaran Tuhan itu sendiri. Mereka hanya penikmat riuh tepuk tangan dan pujian dari jamaah fanatiknya. Begitulah, di tangan seorang pendakwah yang tak terkendali ruhani, ilmu berubah menjadi alat pembenaran ego, bukan pembimbing menuju Tuhan.
Play Victim dan Kultur Toxic: Ketika Kritik Disebut Fitnah
Ustadz semacam ini tidak hanya narsis. Mereka juga pandai memainkan peran korban. Ketika dikritik, mereka menjerit: “Saya dizalimi!” Padahal rekam jejak digitalnya penuh ujaran kebencian kepada kelompok lain. Mereka memaki, menuding, menuduh kafir, sesat, bid’ah, tetapi ketika disorot balik, mereka lari ke tameng “tabayyun, akhlaq, toleransi.” Mereka membangun kultur toxic dengan bungkus syari, memecah belah umat dengan bungkus menegakkan persatuan. Ironi yang pahit, tetapi nyata.
Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut kita hidup di era “identitas cair“, di mana simbol lebih penting daripada isi. Dan sayangnya, agama pun jadi bagian dari estetika digital: fashion Islami jadi status spiritual, kosmetik halal jadi identitas kesalehan, staycation syar’i jadi konten dakwah, banyolan jadi tuntunan, makian jadi kebiasaan lumrah. Semua bisa dijual dengan filter, tetapi kesalehan sejati tak terbeli. Dan saat gaya mengalahkan isi, kita masuk zona berbahaya: narsisme religius.
Editor: Assalimi


Terkadang orang yang menuduh orang lain keras, tidak sadar bahwa justru dirinyalah yang keras.
Apa saja potensi dampak jangka panjang dari fenomena dakwah narsis ini terhadap kepercayaan umat terhadap ajaran agama itu sendiri, serta bagaimana dampaknya terhadap kohesi sosial dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia?