Opini

Sikap Denial Orang Tua: Antara Cinta, Ego, dan Tanggung Jawab

3 Mins read

Semua orang tua ingin buah hati mereka tumbuh dengan baik. Tidak ada orang tua yang mengharapkan agar anaknya berbuat salah yang fatal. Namun, sering kali keinginan untuk melihat anak selalu “baik” membuat orang tua terjebak pada satu sikap yang diam-diam bisa berbahaya, yaitu denial (penyangkalan).

Sikap ini muncul ketika orang tua menolak laporan negatif tentang anaknya – entah dari guru, tetangga, atau pun teman sebayanya – lalu membela habis-habisan tanpa ada upaya melakukan verifikasi (tabayun). “Ah, mana mungkin anak saya begitu,” begitu salah satu ucapan yang sering dilontarkan orang tua yang denial.

Padahal, dari kalimat yang mungkin dirasa sederhana itu, ada banyak hal penting yang terabaikan: kebenaran, rasa tanggung jawab, kesempatan anak untuk belajar dari kesalahannya, bahkan proses belajar itu sendiri.

Sikap Denial: Cinta yang Salah Arah

Denial merupakan salah satu bentuk pertahanan diri. Penjelasan mengenai denial pertama kali diperkenalkan oleh psikoanalis terkenal Sigmund Freud. Ia menggambarkan denial sebagai penolakan untuk mengakui fakta-fakta yang menyedihkan, baik terhadap peristiwa eksternal mau pun internal, termasuk pikiran, ingatan, dan perasaan (verywellmind, 2025).

Dalam konteks parenting (pengasuhan), denial sering lahir cinta yang berlebihan – cinta yang tidak dapat menerima dan mengakui bahwa anak bisa berbuat salah. Orang tua yang menolak perlakukan negatif anaknya khawatir jika dianggap sebagai orang tua yang gagal.

Padahal, ketika orang tua bersikap denial, anak-anak justru kehilangan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Ia merasa selalu dilindungi walau berbuat salah. Akhirnya, anak akan tumbuh sebagai pribadi yang sulit menerima kritik dan rapuh secara moral bahkan mental.

Tabayyun: Jalan Tengah di Tengah Emosi

Islam mengajarkan keseimbangan dalam hidup, termasuk antara kasih sayang dan kebenaran. Dalam menerima suatu berita penting, seorang mukmin diajari agar tidak langsung percaya, tetapi juga tidak menolak mentah-mentah. Prinsip ini dikenal sebagai tabayyun: meneliti kebenaran sebelum bereaksi. Allah Swt berfirman:

Baca Juga  Mengajarkan Nilai Kasih Sayang pada Anak Sedari Dini

“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. al-Hujurat: 6).

Ayat ini menjelaskan bahwa sikap terburu-buru dalam memercayai–atau justru menolak–sebuah kabar tanpa pemeriksaan, dapat menimbulkan penyesalan. Prinsip tabayun seharusnya menjadi pedoman utama setiap orang tua. Saat seseorang melaporkan sesuatu, langkah pertama bukanlah marah, melainkan mendengar dan memeriksa kebenaran dengan hati dan pikiran yang tenang.

Berkali-kali Rasulullah Saw telah mencontohkan sikap bijaksana ini. Ketika seorang sahabat melapor dan mengakui dosa, Nabi tidak langsung menghakimi, tetapi bertanya, memeriksa, dan memberi kesempatan untuk bertobat. Ini adalah bentuk tabayun yang penuh kasih, bukan kemarahan buta.

Sekolah Bukan Pengganti Rumah

Banyak orang tua yang beranggapan bahwa tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di tangan sekolah. Banyak orang tua yang berlepas tangan dalam pendidikan, terlebih ketika anak memasuki masa remaja. Orang tua abai terhadap tindak-tanduk anak: tidak bertanya anak belajar apa, tidak peduli apa yang dikerjakannya di luar sekolah, membiarkan anak bermain sesuka hati, bahkan memberikan fasilitas yang tidak sesuai kebutuhannya.

Ketika mendapati laporan negatif tentang anak dari sekolah, barulah orang tua bereaksi—bukan reaksi positif, justru menyalahkan pihak sekolah. Padahal, peran utama pembentukan karakter (pendidikan) anak tetap berada di rumah. Sekolah adalah mitra, bukan pengganti.

Dalam pepatah Arab yang terkenal disebutkan bahwa:

Ibu adalah sekolah utama bagi anaknya. Jika ibu telah dipersiapkan dengan baik berarti telah menyiapkan sebuah generasi (penerus) yang baik.

Pepatah lain menyebut:

… dan ayah adalah kepala sekolahnya.

Baca Juga  Sisi Negatif dari Industrialisasi Pendidikan di Sekolah

Dua pepatah di atas menunjukkan betapa pendidikan sejati anak adalah tanggung jawab orang tua. Ketika orang tua menolak kebenaran tentang anak, sejatinya mereka telah menutup ‘madrasah rumahnya’ sendiri. Anak melihat dan belajar bahwa kebenaran bisa dinegosiasikan. Jika telah mengakar karakter demikian, peran sekolah—betapa pun bagusnya kurikulum—tidak akan mampu memperbaiki sepenuhnya.

Fenomena orang tua yang denial akan berdampak juga secara sosial. Guru kehilangan kewibaan, masyarakat kehilangan solidaritas, bahkan nilai-nilai kebenaran menjadi kabur. Dalam beberapa waktu ke belakang, berapa banyak guru yang digruduk orang tua lantaran memberikan hukuman atas kesalahan muridnya. Bahkan, banyak guru yang dilaporkan kepada polisi. Miris.

Menjadi Orang Tua yang Authoritative: Sayang, Namun Tegas

Menjadi orang tua sejati bukan berarti selalu membela anak, melainkan berani menghadapai kenyataan tentang tindak-tanduk mereka. Cinta sejati bukan sekadar melindungi, tetapi juga menuntun. Orang tua yang bijak tidak marah ketika mendengar kabar negatif, tetapi justru berterima kasih karena diberi kesempatan memperbaiki. Ia meneliti, berbicara dengan buah hati dengan tenang, dan mencari solusi bersama.

Tidak ada orang tua yang sempurna, dan tidak ada anak yang tumbuh tanpa kesalahan. Orang tua perlu menyadari bahwa dirinya pun demikian ketika masih anak-anak. Memberikan hukuman terhadap perilaku negatif anak adalah salah satu bentuk pendidikan. Anak yang terlalu dimanjakan akan tumbuh menjadi pribadi yang selalu mencari pembelaan.

Ketika anak berbuat salah, itulah hanyalah kesalahan, bukan aib besar yang harus ditutup-tutupi, apalagi diputarbalikkan sebagai sebuah perilaku yang harus selalu dimaklumi. Ketika anak berbuat salah, itulah salah satu kesempatan untuk melakukan perbaikan—demi tumbuh kembang anak itu sendiri.

Pada akhirnya, denial mungkin terasa seperti perlindungan, tetapi justru penelantaran yang halus. Latih diri untuk senantiasa bersikap tabayun. Karena cinta sejati tidak buta terhadap kebenaran. Sebaliknya, cinta sejati adalah mencari kebenaran agar dapat tumbuh dengan jujur dan penuh tanggung jawab.

Baca Juga  Kisah Abu Nawas Lari dari Rahmat Allah

Editor: Soleh

Avatar
20 posts

About author
Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kotabaru
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *