Oleh: Abdul Rasyid*
Akhir-akhir ini, kata radikal dan toleransi tidak asing di telinga kita. Pada Negara Indonesia yang memiliki 1.331 kelompok suku di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2010. Kategori tersebut merupakan kode untuk nama suku, nama lain/alias suatu suku, nama subsuku, bahkan nama sub dari subsuku. Selain itu, Indonesia juga memiliki banyak sekali bahasa daerah yang berbeda-beda yang jumlahnya sebanyak 652.
Jumlah tersebut telah dipetakan dan diverifikasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Badan Bahasa. Kemudian dalam hal kepercayaan agama, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi hanya mengakui enam agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Di luar itu tentunya masih banyak lagi kepercayaan agama yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Indonesia dan Keberagaman
Kita semua paham tentang Indonesia dan keberagamannya. Tapi hari ini, itu semua seakan-akan hanya terhenti pada tataran kata dan pengetahuan semata, jauh dari kata tindakan dan praktik nyata menghargai keberagaman yang ada. Belakangan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara kita seolah-olah semakin mencekam dan semestinya hal itu sama sekali tidak perlu terjadi.
Melihat kondisi bangsa Indonesia sejak pertama kali berdiri, keberagaman adalah sesuatu yang sudah selesai dan tidak perlu untuk diperdebatkan kembali. Bukankah para pendahulu kita sudah mencontohkan dengan sebaik-baik teladan dalam memaknai perbedaan, keberagamaan, kesatuan dan persatuan?
Mustahil para pendiri negara ini tidak mengetahui bahwa negara ini memiliki banyak perbedaan, mulai dari bahasa, suku, ras, agama, dan golongan. Atas dasar itulah kemudian Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. Sebuah negara yang berdiri di atas keberagaman yang ada dan satu sama lainnya saling menguatkan.
Sungguh aneh ketika hari ini kita diributkan dengan perbedaan yang dari duhulu kala tidak menjadi soal. Boleh jadi akar pemicu keributan disebabkan oleh dua hal. Pertama, hal yang menyebabkan terjadinya gejolak di tengah-tengah masyarakat yang beragam adalah kegagalan dalam memahami sejarah bangsa dan negara ini, boleh jadi sama sekali tidak mengetahui akar sejarah dari bangsa dan negara ini sehingga missed (gagal) dalam memahami bangsa dan negaranya.
Kedua, boleh jadi ada pihak yang sengaja ingin memecah belah persatuan dan kesatuan antar warga negara. Oleh karena itu, isu tentang SARA seringkali dijadikan sebagai senjata paling ampuh untuk meretakkan hubungan antar umat beragama, suku, ras, dan antar golongan.
Tidak dapat dipungkiri memang, keberagaman ini bagai dua bilah mata pisau. Di sisi lain keberagaman bisa menjadi kekuatan yang menyatukan, namun di lain hal keberagaman bisa saja menjadi alat pemecah belah keberagaman itu sendiri.
Jebakan Radikal dan Toleransi
Belakangan ini santer isu radikal dan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Narasi yang dibangun seolah-olah ingin mengatakan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang tidak baik-baik saja. Umat Islam berada di tengah pusaran persoalan itu, sebab bagaimana pun umat Islam sebagai mayoritas. Anehnya kata radikal selalu disematkan pada Islam.
Padahal kalau kita berbicara Islam pun banyak sekali wajahnya, sebut saja Muhammadiyah, NU, Persis, Perti, Nahdatul Wathan, HTI, FPI, Laskar Jundullah, Mujahidin, dan lain-lain. Meskipun banyak dan beragam, situasi di Indonesia tidak sampai ada kejadian brutal seperti di Timur Tengah. Lalu Islam radikal yang dimaksud Islam yang mana?
Jelas, Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Islam for all. Apabila ada narasi Islam radikal sebenarnya yang radikal adalah orangnya, itupun hanya oknum, sebab Islam senantiasa menebarkan kebaikan dan perdamaian di belahan bumi manapun. Lagi pula Muhammadiyah dan NU sudah cukup merepresentasikan wajah Islam Indonesia yang senantiasa menebar kemaslahatan untuk umat dan bangsa dengan pandangan keislamannya, yakni Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara.
Terkait isu radikalisme, menurut Amin Abdullah (2019) proyek meredam radikalisme agama santer dipropagandakan akhir-akhir ini. Paham Wahhabi yang mengusung semangat puritanisme (pemurnian) Islam dituduh sebagai sumber paham radikalisme. Dengan karakteristik yang radikal, paham Wahhabi disinyalir, menjadi salah satu sumber inspirasi gerakan terorisme di tanah air.
Memahami permasalahan terkait “radikal” dan “toleransi” sebenarnya sangat kompleks. Satu faktor tidak bisa dijadikan sebagai sumber untuk memberikan penilaian. Persoalan ini melibatkan banyak faktor, seperti faktor politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Persoalan bermuara pada keadilan, jika problem ini belum ada solusi atau keadilan belum dapat ditegakkan, orang akan dengan mudah menjadikan agama sebagai legitimasi untuk meruntuhkan rezim.
Oleh karena itu baik pemerintah atau siapapun jangan sampai terjebak pada kata-kata radikal dalam menghadapi gejolak demokrasi dan politik di Indonesia. Apalagi sampai menyematkan kata “radikal” pada Islam. Bagaimana pun umat Islam di Indonesia ini mayoritas, perlu kiranya dijaga perasaannya. Jangan sampai tindakan yang dilakukan oleh oknum kemudian dijadikan dasar penilaian secara umum.
Salam dan Toleransi
Sungguh aneh dan miris yang melempar radikalisme justru Menteri Agama yang baru, kemudian mengaitkannya dengan pakaian cingkrang dan cadar. Harusnya Menteri Agama fokus saja pada program kerja yang substansial, jangan asal mengeluarkan statemen yang justru manyakitkan umat Islam.
Yang tak kalah heboh adalah soal mengucapkan salam lintas agama. Kenapa akhir-akhir ini menjadi heboh, padahal sebelumnya sama sekali tidak pernah dipermasalahkan. Apa barangkali kita belum selesai dalam memahami makna “toleransi” atau berbeda dalam memaknai “toleransi”? Boleh jadi seperti itu.
Fatwa MUI Jawa Timur dalam surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin menyatakan bahwa mengucapkan salam semua agama merupakan bidah, mengandung nilai syubhat, dan patut dihindari oleh umat Islam. MUI menyatakan bahwa imbauan agar masyarakat dan pejabat muslim tidak mengucapkan salam pembuka semua agama sesuai dengan ketentuan Alquran dan hadits. Fatwa itu juga dinilai tidak mengandung intoleransi.
Alasannya setiap agama memiliki ajaran dan sistem kepercayaannya masing-masing. Berbeda dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menilai bahwa mengucapkan salam agama lain oleh pejabat muslim dalam pidato resmi adalah sebuah budaya, bukan penistaan atau bahkan melecehkan. PBNU menilai budaya itu sebagai bentuk persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathoniyyah.
***
Nampaknya kita memang terjebak dalam kata toleransi yang maknanya tidaklah tunggal. Dalam kasus tersebut sebenarnya tujuannya sama yaitu menjaga keyakinan dan perasaan antar umat beragama, hanya berbeda dalam cara. Baiknya disesuaikan dengan keyakinan masing-masing. Mau mengucapkan salam dengan cara agamanya saja silakan, apabila yang demikian itu membuat nyaman, tidak perlu dipaksakan.
Tak perlu takut dibilang intoleran hanya karena tidak mengucapkan salam semua agama, padahal setiap agama memiliki caranya sendiri dalam menjawab salam. Pun juga dengan mereka yang mengucapkan salam semua agama. Tidak perlu mengatakan mereka yang tidak mengucapkan salam semua agama itu intoleransi. Sebab mengucapkan salam bukanlah parameter seseorang itu toleransi atau intoleransi.
Hendaknya antar umat beragama memahami perbedaan ini dan tidak perlu menjadikannya sebagai masalah yang serius. Jangan sampai kita terjebak pada kata toleransi yang kemudian dengan mudah kita mengatakan orang lain intoleransi karena berbeda prinsip dengan kita. Toleransi tidak cukup dengan kata-kata, namun harus dibuktikan dengan tindakan dan tingkah laku yang nyata dalam menghargai perbedaan keyakinan yang ada.
* Ketua Umum IMM IPB 2016-2018