Feature

Bahtiar Effendy dan Darul Ahdi wasy-Syahadah

2 Mins read

Oleh: Hasnan Bachtiar

Bahtiar Effendy dikenal sebagai teoretisi politik Islam dan keindonesiaan. Doktor ilmu politik dari Ohio State University Amerika Serikat ini, mengajukan tesis mengenai “akomodasi politik”.

Tesis akomodasi politik yang dimaksudkannya adalah konsep jalan tengah antara Islam dan negara modern. Kedua entitas penting tersebut, menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, harus dijembatani. Jangan sampai, keduanya jatuh ke dalam tensi politik, terlebih konflik.

Dalam konteks Indonesia, konsep bernegara yang paling ideal menurutnya adalah akomodasi parsial. Akomodasi ini dimaksudkan untuk mengambil sebagian keunggulan dari konsep bernegara modern dan sebagian lainnya adalah tata aturan bernegara dalam Islam. Kedua keunggulan yang dihasilkan oleh proses sejarah dua peradaban dunia yang berbeda, lantas dielaborasi secara mutualistik.

Di dalam karya briliannya, “Islam dan Negara” (2011), Profesor Bahtiar menyatakan bahwa:

“Dengan demikian, tidak keliru jika dikatakan bahwa akomodasi parsial tampaknya merupakan pilihan yang mungkin diambil agar hubungan antara Islam dan negara dapat menjadi lebih langgeng.” (hal. 446).

Dasar pemikirannya ini, bukan sekedar berpijak pada doktrin-doktrin filosofis politik dan pemerintahan, tetapi juga pertimbangan kontekstual yang realistik. Ia melihat kenyataan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi di saat yang sama, juga menolak jika disebut sebagai negara sekular yang meminggirkan peran agama dalam sistem politik kenegaraan.

Nah, kenyataan ini membawa kepada refleksi intelektual yang menegaskan bahwa,

“Pikiran yang umum dianut bahwa Indonesia bukanlah negara teokratis maupun negara sekular hanya memperlihatkan pentingnya kewajiban negara untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kaum Muslim.” (ibid.).

Artinya, kebijaksanaan diperlukan dalam proses konseptualisasi sistem bernegara. Karena itu, meskipun para tokoh bangsa di awal berdirinya Indonesia tidak menjadikan negara ini sebagai negara Islam, namun mereka mengupayakan bagaimana nilai-nilai Islam menjadi bagian penting di dalam dasar negara Pancasila.

Baca Juga  Mendalami Kajian Ekstremisme di Mesir

Dengan mengapresiasi dan menghormati aspirasi politik kaum Muslim (nilai-nilai Islam dalam Pancasila), dengan demikian akan membawa kepada kondisi-kondisi kompromistik. Dengan kata lain, menjunjung pentingnya nilai kemaslahatan yang luas dengan cara menghindari konfrontasi yang tidak perlu dan berpotensi menimbulkan mafsadah.

Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Menurut aktivis Muhammadiyah garda depan ini,

“Pada saat yang sama, menyadari keanekaragaman latar belakang sosial-keagamaan Indonesia, merupakan tugas setiap Muslim untuk mengartikulasikan dan mengekspresikan kepentingan mereka sepanjang tidak merusak konstruk negara-bangsa Indonesia.” (ibid.).

Akomodasi parsial yang kompromistik ini, sebenarnya juga merupakan cara untuk merayakan multikulturalisme. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar menjadi jargon bersama (common platform), tetapi inspirasi yang menerangi pemikiran dan perilaku politik orang bangsa.

Bahtiar tidak sendirian dalam mengapresiasi konsep elaborasi Islam dan Indonesia. Nurcholish Madjid misalnya, menyebut akomodasi parsial sebagai sekularisasi Islami. Atau dalam bahasa Yudi Latif yang lebih lugas, sekularisme religius. Sedangkan Muhammadiyah, memahaminya sebagai Dar al-Ahd wa al-Syahadah.

Baik Bahtiar, Madjid dan Latif, adalah para intelektual yang cenderung merdeka (independen). Sementara Muhammadiyah, adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki tanggungjawab dakwah secara lebih formal. Karena itu, istilah yang dipakai Muhammadiyah dalam konteks “akomodasi” ini adalah istilah yang secara psikologis dapat diterima oleh kaum Muslim (bukan istilah ilmiah yang tinggi). Istilah yang dipakai Muhammadiyah, adalah istilah di dalam fikih Islam khususnya dalam hukum perang (Siyar).

Dar al-Ahd wa al-Syahadah bermakna Indonesia adalah negara konsensus dan persaksian. Disebut konsensus karena disepakati oleh representasi para tokoh bangsa, sementara disebut persaksian, karena mendorong kaum Muslim bersama-sama turut serta dalam proses pembangunan bangsa dan menyaksikan segala kemajuan yang diraih.

Baca Juga  Salahkah Menuntut Ilmu di Sekolah Muhammadiyah?

Banyak tokoh Muhammadiyah berperan penting dalam proses perumusan gagasan Dar al-Ahd wa al-Syahadah. Terutama Dr Haedar Nashir, Profesor Din Syamsuddin dan Guru Bangsa Ahmad Syafii Maarif. Bagaimana dengan Bahtiar Effendy yang secara akademik memang berhasil memformulasikan teori “akomodasi parsial”, apakah juga memiliki peran penting?

Jelas, saya belum menemukan jawabannya secara historis. Akan tetapi, kita semua patut berterimakasih atas kontribusi yang diberikan sang teoretisi. Saya baru tahu bahwa buku “Islam dan Negara” yang diterjemahkan dari disertasi doktoralnya, secara substantif, ternyata mengandung penjelasan yang luar biasa mengenai konsep Dar al-Ahd wa al-Syahadah, meskipun tidak menggunakan istilah tersebut secara teknis.

Avatar
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *