Perspektif

Mana yang Lebih Tepat, “Disabilitas” atau “Difabel”?

3 Mins read

Setiap tanggal 3 Desember menjadi peringatan Hari Disabilitas Internasional atau International Day of People with Disability. Peringatan ini berawal ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1992 mendeklarasikan tanggal 3 Desember sebagai Hari Disabilitas Internasional. Dengan maksud untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan saudara kita para penyandang disabilitas, baik itu dalam aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun budaya. Agar mereka mendapatkan apa yang didapatkan masyarakat pada umumnya.

Dipna Videlia Putsanra, dilansir Tirto.id (3/12/2019), menyebutkan bahwa Hari Disabilitas Internasional dideklarasikan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap kelompok difabel. Mengingat masyarakat kita, bahkan instansi negara, selama ini seolah menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang berbeda. Sehingga tak ayal hak-hak para penyandang disabilitas tidak terpenuhi baik sebagai warga negara maupun masyarakat.

Meski begitu, perlahan kesadaran itu kini telah muncul. Misalnya dengan adanya fasilitas remah disabilitas di ruang publik, seperti kantor kecamatan, masjid, hingga trotoar.

Asal Kata

Disabilitas berasal dari bahasa Inggris, disability, yang artinya ketidakmampuan atau keterbatasan karena kondisi tertentu (fisik/mental). Kata disabilitas diserap ke dalam bahasa Indonesia dan digunakan dalam UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Hal itu berdasarkan usulan organisasi penyandang disabilitas.

Konon, proses pembentukan UU 8/2016 menggunakan terminologi disabilitas tidaklah gampang dan memakan waktu yang panjang. “Penggunaan istilah ini secara resmi harus melalui perjuangan aspirasi yang panjang, lebih dari 20 tahun,” ungkap anggota Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI) Mahmud Faza, dilansir Tempo.co (24/1/2019).

Selain disabilitas, ada juga yang menyebutnya dengan istilah difabel. Difabel diambil dari akronim different ability yang artinya memiliki kemampuan yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa penggunaan kata difabel lebih terkesan humanis karena menganggap saudara kita memiliki kemampuan yang sama dengan manusia normal. Meski, ada pula yang menolak penggunaan istilah difabel ini.

Baca Juga  Kemahabijaksanaan dan Kemahaadilan Tuhan dalam Ma’ad

Persoalan Kata Difabel dan Disabilitas

Andhika Duta Bahari, linguis dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengatakan, secara bahasa yang tepat adalah istilah disabilitas. Apalagi, kata dia, dunia internasional juga menggunakan istilah tersebut ketimbang difabel. Di Indonesia, tentu mengacu UU yang berlaku. Namun, meski begitu, Andhika menjelaskan bahwa difabel secara umum memiliki arti lebih halus, secara sosial penggunaan istilah difabel lebih tepat (Beritabaik.id, 3/12/2018).

Meski begitu, istilah difabel tak luput dari persoalan. “Memang difabel terlihat lebih humanis, tapi ini perspektif yang digunakan adalah perspektif sosial dan itu tidak menggambarkan kejelasan makna (jika ditinjau dari segi bahasa dan keilmuan). Ketika didefinisikan difabel itu kemampuan yang berbeda, berbedanya itu dalam hal apa,” ungkap Andhika, dikutip Beritabaik.id (3/12/2018).

KBBI daring termutakhir merekam kedua istilah tersebut. Disabilitas memiliki dua makna, yakni 1) keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang dan 2) keadaan tidak mampu melakukan hal-hal dengan cara yang biasa. Sedangkan difabel dalam KBBI bermakna penyandang cacat.

Di samping soal batasan ‘kondisi yang berbeda’ itu belum jelas, polemik lain pada kata difabel adalah pemaknaan di KBBI yang menyebutkan kata cacat. Pemaknaan itu berujung pada penolakan karena sejak awal munculnya istilah baru adalah untuk mengganti kata cacat yang dinilai terlalu kasar dan rendah. Padahal, difabel memiliki semangat humanis dan egalitarian. Sebaiknya Badan Bahasa segera merevisi makna difabel dalam KBBI.

Seandainya makna difabel pada KBBI diperbarui, kedua istilah tersebut boleh dan sah-sah saja digunakan. Untuk bahasa resmi, menggunakan terminologi “disabilitas” karena istilah itu juga digunakan dalam UU. Sedangkan untuk bahasa sehari-hari, ditinjau dari segi sosial, istilah difabel boleh digunakan. Apalagi, kepada teman dan saudara dekat. Karena bagi mereka, perlakuan humanis dengan mengusung kesetaraan itu lebih menyenangkan hati dan membuat nyaman.

Baca Juga  Benarkah Al-Qur'an Peduli dengan Kesehatan?

Meski begitu, bahasa sebagai suatu yang dinamis, bisa saja berubah dan mengalami pergeseran makna. Sehingga penggunaannya pun bergantung yang bersangkutan, lebih nyaman dengan istilah disabilitas atau difabel. Jika sudah bicara kenyamanan, makna kamus menjadi nomor sekian.

Cacat dan Tuna

Terminologi disabilitas muncul sebagai pengganti istilah cacat dan tuna– (tunanetra, tunarungu, tunawicara, dsb) yang sebelumnya digunakan. Istilah cacat dan tuna– menuai protes dari penyandang dan organisasi disabilitas karena sebutan itu dinilai kasar dan berkonotasi negatif.

Konon, perjuangan para disabilitas memperjuangkan penggantian istilah dari cacat dan tuna- ke disabilitas ini memakan waktu 20 tahun lebih, seperti saya jelaskan di awal. Sejak UU 8/2016 diberlakukan perlahan penyebutan cacat dan tuna– berangsur menghilang. Kemudian berganti jadi disabilitas, diiringi dengan kemunculan sebutan difabel yang entah kapan mulai digunakan.

Meski cacat dan tuna– tidak lagi digunakan untuk menyebut penyandang disabilitas, kedua kata ini tetap hidup dalam wujud penggunaan yang berbeda. Dalam praktiknya, kata cacat sering digunakan, misalnya, untuk menyebut adanya kesalahan dalam logika: cacat logika, kekeliruan dalam proses hokum: cacat hukum, syarat-syarat administrasi yang tidak terpenuhi: cacat administrasi, dll.

Belakangan, kata terikat tuna- juga kembali digunakan. Sebelumnya ada tunasusila dan tunawisma, kini ada ungkapan tunamoral dan tunaadab, yang biasa digunakan Buya Syafii Maarif dalam esainya. Semua kata itu (tunamoral, tunaadab, tunasusila) seolah memberikan kesan negatif kepada penerimanya. Mungkin inilah yang membuat kawan-kawan disabilitas lebih nyaman dengan sebutan disabilitas.

Sehingga, dalam rangka meningkatkan kesadaran akan keberadaan suadara kita para penyandang disabilitas, ada baiknya jika kita menggunakan istilah yang selain mengandung makna yang baik, juga memberikan kenyamanan dan rasa kemanusiaan terhadap mereka. Wallahua’lam.

5 posts

About author
Sekretaris DPP IMM 2018-2021 & Penulis Buku IMM Autentik
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds