Tafsir

Al-Musâwah, Kesetaraan Derajat Manusia: Tafsir QS al-Hujurat ayat 13

4 Mins read

Salah satu pemikiran penting dari doktrin tauhid adalah bahwa kesadaran tauhid bukan hanya melahirkan kesadaran akan keesaan atau kesatuan ketuhanan (united of God). Melainkan juga harus melahirkan kesadaran akan kesatuan kemanusiaan (united of mankind). Jika Tuhan adalah Esa, maka ummatnya pun adalah esa. Dalam arti bahwa manusia merupakan ummat yang satu dan karena itu, memiliki derajat yang sama.

Doktrin persamaan atau kesetaraan (al-musâwah, equality) ini mengandung pemahaman bahwa: pertama, manusia adalah setara secara sosial dan politik. Kedua, karena semua manusia setara secara sosial dan poitik, maka setiap orang harus diperlakukan dengan pertimbangan dan perhatian yang sama (tidak diskriminatif).Baik dalam memperoleh keadilan hukum dan kesempatan, maupun dalam hal-hal pendidikan dan pemenuhan kebutuhan manusiawi. Doktrin kesetaraan ini dapat dirujuk pada ajaran Al-Quran dalam surat al-Hujurat [49]: 13, yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia! Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber-taqwâ”.

***

Pada era tertentu dalam sejarah sosial Islam, ayat di atas pernah dijadikan rujukan dan dasar legitimasi supremasi kesukuan (syu’ûbiyat). Yang man, menyamakan kebangsawanan dengan ke-taqwâ-an. Interpretasi semacam itu dapat dipahami, karena sepintas lalu memang teks tersebut tampaknya lebih memperhatikan masalah kesukuan dibandingkan perbedaan sosial.

Di samping itu, dalam kultur masyarakat Islam pasca Rasul dan Kekhalifahan al-Rasyidîn telah berkembang semacam idiologi hierarkis. Hal itu sangat berpengaruh terhadap interpretasi teks-teks keagamaan. Idiologi hierarkis tersebut adalah ide atau gagasan mengenai bentuk tatanan sosial yang ideal, yaitu tatanan sosial yang dibedakan antara golongan ningrat dengan kelas sosial rendah.

Baca Juga  Meluruskan Makna Jihad

Ideologi hierarkis ini berkembang, terutama pasca penaklukan Arab yang melahirkan perbedaan status sosial, di mana orang-orang Arab tidak menerima manfaat secara merata dari sumber yang melimpah. Ketidaksetaraan ini tampak lebih jelas pada awal periode Ummayah, di mana persaudaraan dijadikan kriteria inti untuk pengankatan dan kepala suku (asyrâf al-qabâil) berperan sebagai perantara dalam struktur kekuasaan resmi.

Kecenderungan tersebut, tampak jelas dalam tafsir-tafsir generasi awal ketika menafsirkan teks di atas, yang lebih banyak memberikan perhatian terhadap masalah keturunan atau kesukuan dibanding dengan masalah perbedaan sosial. Lihat, Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, terj. Nina Nurmila, (Bandung: Mizan, 1999), 28.

***

Meskipun demikian, tafsir-tafsir generasi awal sesungguhnya memuat berbagai visi kesetaraan (egalitarianisme) yang dapat dikembangkan sebagai landasan etis dalam penciptaan tatanan sosial yang adil, khususnya dalam konteks pembelaan dan pembebasan kaum tertindas. Al-Thabari misalnya, ketika menafsirkan teks “inna akramakum ‘inda al-Allâhi atqâkum” (sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa), mengemukakan bahwa yang termulia di antara kamu dihadapan Tuhan adalah orang yang paling giat dalam menjalankan perintah Tuhannya dan menghindari segala larangan-Nya, bukan orang yang memiliki keluarga termulia dan kerabat terbanyak.

Al-Thabari kemudian mengutif hadits bahwa “Manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, seakan-akan mereka keluar dari satu cetakan (ka thaf al-sha’lam yamla’ûhu). Pada hari kiamat, Tuhan tidak akan bertanya tentang jasad dan keturunanmu, orang termulia di antara kamu dihadapan Tuhan adalah yang paling taqwâ. Lihat Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jil. XI, hal. 399.

***

Al-Baidhawi menulis, “(Kami telah menciptakanmu) dari Adam dan Hawa, atau Kami telah menciptakan kamu masing-masing dari seorang ayah dan seorang ibu. Oleh karena itu, kamu sekalian adalah setara, tidak ada sesuatu yang dapat dibanggakan dari keturunan seseorang. Hanya ketaqwaanlah yang menjadikan kesempurnaan dan membedakan kemuliaan seseorang. Oleh karena itu, barang siapa menginginkan kemuliaan, maka hendaklah mencarinya dalam ketaqwaan. Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1958), jil. II, hal. 276.

Baca Juga  Humanisme Alquran: Refleksi Nuzul Alquran di Masa Pandemi

Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir bahwa “seluruh manusia setara kemuliaannya dalam hal kekerabatannya dengan Adam dan Hawa; mereka berbeda dihadapan Tuhan hanya karena ketaqwaannya, yaitu dalam ketaatannya kepada Tuhan dan kepatuhannya kepada Rasul, Saw”.

Lebih lanjut Ibnu Katsir mengatakan bahwa “manusia berbeda kemuliaannya dihadapan Tuhan hanya dalam ketaqwaannya, bukan karena kebaikan garis keturunannya”. Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, (Riyad: Maktabah Dar al-Fiha), 1994), jil. IV, hal. 277. Dengan begitu ayat 13 surat al-Hujurat memberikan wawasan atau visi mengenai prinsip egalitarianisme, yaitu bahwa harkat dan martabat manusia ditentukan oleh kualitas ketaqwaannya.

***

Visi egalitarianisme atau kesetaraan dalam ayat tersebut, dapat dipahami lebih jelas lagi jika melihat latar historis (asbâb nuzûl)nya. Setidaknya, terdapat dua riwayat yang menjelaskan latar historis turunya ayat di atas, yaitu riwayat pertama dilaporkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah. Riwayat ini menjelaskan bahwa ketika fathu Makkah, Bilal naik ke atas ka’bah untuk adzan. Beberapa orang yang ada di sekitarnya mempertanyakan secara sinis “apakah pantas budak hitam adzan di atas ka’bah? Maka yang lainnya menjawab, “sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Kemudian ayat ini (QS. Al-Hujurat [49]: 13) turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling taqwâ.

Riwayat kedua, menjelaskan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan Abi Hindun yang akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadhah. Orang-orang Bani Bayadhah berkata “wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan putri-putri kami kepada budak-budak kami”. Kemudian ayat ini turun untuk menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhammat yang ditulis tangan oleh Ibnu Basykual) yang bersumber dari Abu Bakar bin Abi Dawud di dalam tafsirnya). Lihat K.H. Qamaruddin Shaleh, (et.al.), Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turungnya Ayat-ayat Al-Quran, (Bandung: CV. Diponogoro, 1995), 475.

Baca Juga  Corak Tafsir Adabi Ijtima'i Menjawab Tantangan Zaman

Dengan demikian, teks di atas sekali lagi, jelas mengandung visi dan prinsip kesetaraan atau egalitarianisme kemanusiaan yang tentunya dapat dan harus menjadi basis etis dalam setiap hubungan interaksi sosial. Karena itu, seharusnya tidak lagi ada diskrimisai, penindasan atau exploitation of man by human being (eksploitasi manusia atas manusia).

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *