Dalam diskursus kajian Islam dan gerakan Islam Indonesia, Prof. Dr. Abdul Mukti Ali, MA (1923-2004) dikenal luas sebagai pencetus Ilmu Perbandingan Agama dan pelopor gerakan dialog antar umat beragama.
Kepeloporannya mendapat pengakuan luas, sehingga tidak sedikit yang menjulukinya sebagai bapak Ilmu Perbandingan Agama (H.A. Ludjito, 1990: 13-18) sekaligus bapak kerukunan hidup beragama, ataupun pluralisme (Ali Munhanif, Studi Islamika 3/1/1996).
Perlu ditambahkan bahwa, gagasan dan terobosan pembaharuan Mukti Ali bukan hanya dalam bidang rintisan Ilmu Perbandingan Agama dan prakarsa dialog antar umat beragama, tetapi juga dalam pendidikan. Esai ringkas ini berupaya menyuguhkan sisi lain kiprah Mukti Ali, yaitu perannya dalam membangun jembatan penghubung Pendidikan Islam dengan Pendidikan Nasional.
Menyiapkan Bekal
Boedjono, nama kecil Abdul Mukti Ali, lahir 23 Agustus 1923 di Cepu, Jawa Tengah, dari pasangan suami isteri H. Abu Ali dengan Muti’ah (Hj. Khadijah). Berasal dari keluarga santri pedagang-saudagar, yang sangat mengutamakan pendidikan dan pertumbuhan keagamaan anak-anaknya.
Perluasan sekolah gubernemen yang dilakukan sejak dikumandangkan Politik Etis tahun 1901 sudah sampai ke daerah Pati, sehingga Boedjono dapat mengenyam sekolah umum.
Sebagaimana anak-anak santri pada masa itu, pagi hari pergi ke sekolah umum dan sore hari belajar ilmu-ilmu agama di Madrasah Diniyah. Selama bersekolah, dia dikenal sebagai anak yang pintar, tekun, dan berpenampilan sederhana. Padahal orang tuanya tergolong kaya dan terpandang.
Kepribadian demikian merupakan modal dasar yang sangat berharga untuk menjadi orang besar. Setelah merampungkan pendidikan dasar di daerah kelahiran, dia melanjutkan belajar ilmu-ilmu agama ke Pondok Pesantren Tremas. Nyantri di termas selama lima tahun, 1940-1945
Pada 1950 berangkat Haji sembari mencari peluang melanjutkan pendidikan di Arab Saudi. Setelah melalui beberapa pertimbangan, dia lebih memilih kuliah di Pakistan, Universitas Karachi, Fakultas Bahasa Arab, dengan keahlian Sejarah Islam.
Dalam waktu lima tahun dia berhasil merampungkan studi Magister (S2) sekaligus Doktor (S3), pada 1955. Meski telah menggondol gelar Doktor, tetapi untuk menjadi seorang intelektual berkelas dunia merasa masih kurang, yakni pada penguasaan teori dan metodologi keilmuan.
Kesadaran itu yang mendorongnya untuk tidak segera pulang. Pengembaraan mencari ilmu dilanjutkan ke McGill University, pada Institut of Islamic Studies. Genap dua tahun nyantri di McGill University, pada 1957 Mukti Ali berhasil meraih gelar Master of Arts (MA) di bawah bimbingan Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli perbandingan agama bertaraf internasional.
Perjumpaan intelektual dengan W.C. Smith demikian membekas pada diri Mukti Ali. Hal ini dapat dilihat dari besarnya perhatian pada perintisasan Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan usahanya tanpa lelah untuk terus menggelorakan dialog antar umat beragama.
Kemelut Dualisme Pendidikan
Kemelut dualisme, ataupun dikotomi pendidikan, menjadi problem serius dan kerikil tajam yang dihadapi negara-negara Muslim seusai menghirup kemerdekaan (Sajjad Husain & Ali Ashraf, 1986).
Sebab, setelah merdeka, para penguasa pribumi yang menggantikan kaum kolonialis lebih memilih sistem pendidikan modern yang diwariskan kaum penjajah sedemikian rupa, sehingga membiarkan Pendidikan Islam (tradisional-pribumi) memilih jalan sendiri. Ringkasnya, di negara-negara Muslim berkembang dua model pendidikan, yaitu Pendidikan Barat-modern di satu sisi, dan Pendidikan Islam (pribumi-tradisional) di sisi lain.
Menghadapi tantangan dualisme pendidikan, negara-negara Muslim memiliki cara
penanganan yang berlainan. Dalam kasus Asia Tenggara, misalnya, keadaan lembaga
Pendidikan Islam di negara-negara yang Islam itu minoritas (Filipina-Tailand)
mengalami kesulitan berintegrasi dengan sistem pendidikan nasional.
Di sebelah lain, di negara yang Muslim mayoritas seperti Malaysia, eksistensi lembaga Pendidikan Islam swasta tersisih oleh kehadiran lembaga Pendidikan Islam yang didirikan pemerintah (William R. Roff, Studi Islamika 11/1/2004).
Keadaan pendidikan di Indonesia tidak berbeda dengan situasi umum di negara-negara Muslim pada umumnya. Masalah terbesar umat Islam dan bangsa Indonesia setelah kemerdekaan adalah tumbuhnya dualisme pendidikan, ditambah dengan kemacetan pendidikan keagamaan (Islam), sebagaimana tercermin pada pondok pesantren dan madrasah. Pendidikan keagamaan merupakan salah unsur pendidikan nasional, namun hingga paruh awal dekade 1970-an, masih terpisah dan belum diterintegrasi dengan Pendidikan Nasional .
Secara umum keadaan pendidikan keagamaan mutunya rendah, sehingga tidak mampu bersaing dengan sekolah umum. Tambahan pula, lulusan dari lembaga pendidikan keagamaan tidak bisa melanjutkan ke sekolah umum pada jenjang di atasnya. Kemacetan inilah yang coba dicarikan jalan keluarnya oleh Abdul Mukti Ali, baik secara konseptual-teoritik maupun secara praktikal-kebijakan.
Gagasan Pembaharuan
Untuk melacak konsepsi/pemikiran yang ditawarkan, dapat dilacak dari artikel-artikel yang membicarakan pendidikan, yakni: “Pembaharuan sistem pendidikan dan pengajaran pada pondok pesantren dalam rangka merealisir tujuan pendidikan nasional (Abdul Mukti Ali, 1971) dan pondok pesantren dalam dalam sistem pendidikan nasional (Abdul Mukti Ali, 1987).
Artikel pertama ditulis beberapa bulan sebelum dia diangkat menjadi Menteri Agama. Artikel pertama pada garis besarnya berisi lima hal, yaitu: mengapa diperlukan pembaharuan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren?, sasaran dan segi apa yang hendak diperbaharui?, kemana pembaharuan itu diarahkan?, bagaimana mengadakan pembaharuan itu?, dan siapa yang harus melaksanakan pembaharuan itu?
Pembaharuan ialah suatu usaha untuk mengganti yang jelek dengan yang baik, dan mengusahakan yang sudah baik menjadi lebih baik, menurut anggapan kita. Mengapa diperlukan pembaharuan?
Ada lima alasan yang dikemukakan, yang intinya adalah praktik pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren belum relevan dengan tujuan pendidikan nasional. Sasaran pembaharuan adalah sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren, agar relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tujuan pendidikan nasional.
Dalam jangka pendek, pembaharuan diarahkan agar pondok pesantren dapat mencukupi kebutuhan tenaga kerja yang cakap pada tingkat menengah dan rendah. Sedangkan dalam jangka panjang agar dapat ikut aktif dalam pembangunan untuk menciptakan masyarakat adil Makmur lahir batin.
Adapat cara melakukan pembaharuan adalah dengan menerapkan “madrasah wajib belajar” atau “sekolah komprehensif” di pondok pesantren, perluasan akses informasi, menanamkan sikap membangun, dan pengalaman lapangan.
Siapakah yang menjadi eksekutor, pelaksana, pembaharuan? Jawabnya ringkas, yaitu kyai. Di pondok pesantren kyai bukan hanya leader, pemimpin, tetapi pada yang sama juga sekaligus seorang owner, pemilik. Oleh karena itu, perubahan sekecil apapun harus atas seijin kyai.
Ringkasnya, eksekutor dan kunci perubahan berada di tangan kyai. Namun demikian tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan pesantren dapat berperan dalam proses pembaharuan sesaui dengan kapasitas yang dimiliki.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pembaharuan pendidikan dan pengajaran pondok pesantren merupakan suatu kebutuhan yang mendesak agar eksistensinya relevan dengan kebutuhan masyarakat dan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional.
Beralih ke artikel kedua, yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari gagasan pembaharuan yang dikemukakan sebelumnya. Hanya saja dalam artikel kedua lebih menekankan pada usaha perluasan mandat pondok pesantren, bukan hanya menyelenggarakan fungsi praktik Pendidikan Islam, tetapi juga dituntut peran aktif dalam upaya pembangunan masyarakat desa dengan jalan mengembangkan koperasi, kewirausahaan, transmigrasi, dan wajib belajar.
Membangun Jembatan
Secara konseptual telah ditemukan rumusan pembaharuan pondok pesantren dan madrasah, dua lembaga pendidikan keagamaan yang penting, dalam konteks perkembangan masyarakat maupun tujuan pembangunan nasional. Memperhatikan dinamika sosial dan perkembangan pendidikan keagamaan, pada tahun 1980-an Abdul Mukti Ali berpandangan bahwa “madrasah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang baik di Indonesia saat ini”.
Sintesis madrasah dan pondok pesantren dinilai paling ideal karena mampu mempertahankan nilai-nilai baik yang ada pada pesantren, dan pada saat bersamaan nilai-nilai kemoderenan dan ilmu-ilmu umum dapat diajarkan secara bersamaan.
Dengan jalan demikian, peserta didik dapat tumbuh dalam suasana religius dan akademik sekaligus, yang pada urutannya dapat tumbuh menjadi seorang ulama intelektual.
Gagasan besar untuk menjembatani hubungan antara alam pendidikan keagamaan dengan alam pendidikan nasional, secara bertahap mulai dibangun pada saat Abdul Mukti Ali menjadi Menteri Agama pada 1971-1979.
Usaha itu diawali dengan penataan lembaga pendidikan keagamaan sedemikian rupa, sehingga secara bertahap dapat meningkatkan mutu pendidikan yang pada urutannya kualitas sejajar dengan sekolah umum.
Sementara itu praktikal-kebijakan dapat dilacak pada keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang “peningkatan mutu pada madrasah”, saat Abdul Mukti Ali menjabat Menteri Agama (1971-1978).
Dalam hal ini, madrasah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Pada tahap awal, perubahan proporsi kurikulum ke arah “ilmu agama” 30% dan “ilmu umum” 70% berlangsung di madrasah negeri yang dikelola pemerintah. Tidak berselang lama, perubahan demikian diikuti madrasah yang dikelola oleh swasta yang diselenggrakan oleh masyarakat.
Tujuan peningkatan madrasah agar mata pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat, sehingga Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara dengan Sekolah Dasar (SD) Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), demikian pula Madrasah Aliyah setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan cara demikian, lulusan dari MI dapat melanjutkan ke SMP, demikian pula lulusan dari SMP dapat pula melanjutkan ke MA.
Dengan keluarnya SKB tiga menteri ini, maka pendidikan di madrasah telah disetarakan sedemikian rupa dengan sekolah umum. Madrasah mengalami perluasan mandate, bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga belajar ilmu-ilmu umum.
Dengan kata lain, madrasah merupakan sekolah dengan ciri khas keagamaan, atau “sekolah plus agama” yang lulusan dapat melanjutkan studi ke jenjang di atas secara luas dan lelusa.
Keberadaan lembaga Pendidikan Islam swasta tidak terganggu dengan kebijakan itu, bahkan dapat bertumbuh lebih cepat, beradaptasi dengan peraturan tersebut. Paska SKB tiga Menteri tidak sedikit lulusan Madrasah Aliyah yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum, seperti UGM, UI, UNPAD dan sebagainya. Ringkasnya, SKB tiga menteri merupakan jembatan penghubung antara pendidikan Islam (keagamaan) dengan Pendidikan Nasional. Arsitek jembatan ini, tidak lain, adalah Abdul Mukti Ali.