Pendahuluan
Dinamika pengetahuan tidak bisa dibendung. Hal itu mengiringi berbagai problematika di beberapa sektor kehidupan, khususnya dalam ranah keagaaman. Keadaan problematis tersebut merupakan konsekuensi logis dari dinamika pengetahuan yang semakin lama semakin meningkat.
Dekonstruksi syari’ah merupakan wacana yang bagi An-Naim solutif bagi terdegradasinya kebijakan hukum, politik, dan hak asasi manusia saat ini. Meskipun begitu, wacana seperti ini akan sangat sulit diterima oleh masyarakat muslim secara luas, terkhusus golongan muslim yang masih memegang erat fundamentalitas agama Islam.
Maka dari itu, untuk memberikan gambaran yang lebih luas terhadap gagasan yang disampaikan oleh An-Naim. Mari kita simak selengkapnya pada tulisan ini.
Sekilas tentang Abdullah Ahmed An-Naim
Abdullah Ahmed An-Naim adalah seorang intelektual muslim kelahiran Sudan, pada tanggal 19 November 1946. Ia terkenal dengan kritik kerasnya yang dilancarkan kepada rezim yang berkuasa saat itu. Ia merintis karir intelektualnya di negaranya sendiri, hingga ia mendapatkan gelar pendidikan yang pertama (S1). Sedangkan, pendidikan Magisternya ia lanjutkan di luar negeri.
Program strata pertamanya ia tempuh di Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan. Minat bakatnya pada hukum memang terlihat sejak An-Naim masih muda.
Pendidikan selanjutnya, yaitu Pascasarjana, ia tempuh di Universitas Cambridge Inggris pada tahun 1971, dengan mengambil spesialisasi pada hak-hak sipil dan hubungannya dengan konstitusi negara-negara berkembang dan hukum internasional (The Law Relating To Civil Libertis, Constitutional Law of Developing Countries and Private International Law).
Selain itu, di waktu yang sama ia juga megambil jurusan kriminologi yang juga di kampus yang sama. Selanjutnya, gelar doktornya (Ph.D) ia dapatkan dari Universita Ediburg, Skotlandia dalam bidang hukum pada tahun 1979 (Adang Jumhur Salikin, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam, Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran al-Na’im, 2004).
Kemudian, ia menapaki dunia kerjanya dengan kembali ke Sudan untuk menjadi ahli hukum dan dosen di Universitas Khartoum. Selain itu, An-Naim juga aktif dalam masalah sosial politik dan keagamaan yang terjadi di negaranya sendiri. An-Naim memilih untuk beroposisi dari pemerintahan yang kala itu dipimpin oleh jendral Muhammad Ja’far Numeiri (1969-1985).
Akar Penyebab Wacana Dekonstruksi Syariah An-Naim
Salah satu yang menjadi penyebab munculnya wacana dekonstruksi syari’ah dari kepala An-Naim adalah keresahan atas kebijakan hukum yang berkedok syari’ah Islam tidak sepenuhnya mampu diimplementasikan oleh negara-negara yang notabene mayoritas penduduknya Islam.
Secara orientatif, An-Naim ingin mengkonsolidasi antara pemikiran Islam dengan pemikiran modern, yang nantinya ingin dijadikan bahan diskusi yang lebih luas bagi umat Islam dalam menentukan kebijakan.
Universalitas Islam, termasuk universalitas hukum syariah, membuka kemungkinan untuk bisa diintepretasikan secara lebih luas dengan pendekatan sosiologis, antropologis, dan ekonomis. Sehingga, hukum syariah mampu diimplikasikan ke dalam konstitusionalisme, hukum pidana, hak-hak asasi manusia, dan hukum internasional. Selain itu, proses untuk merasionalisasikan Islam, juga turut serta daam pembaharuan-pembaharuan hukum yang ada. (Abdullah Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi Syariah, 2011).
Persoalan Hukum Publik dalam Islam
Hukum publik dalam Islam meliputi jinayah, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Siyar, atau tata aturan dalam konsep peperangan dan perdamaian, dan mukhasamat, yaitu pengeturan tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara (Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam, 2017).
An-Naim melihat terdapat persoalan yang serius dalam proses hukum publik dalam Islam. Hukum publik yang masih berlaku hingga sekarang merupakan warisan kultural dari para pendahulu Islam, yang mana pada prosesnya melibatkan antara hak-hak perorangan dan hak-hak kolektif.
Menurut An-Naim, dalam pemberlakukan hak-hak kolektif maupun individual memerlukan pembatasan sehingga hal itu tidak menyalahi dari dua macam hak tersebut. Namun persoalannya, apa batas-batas itu dan bagaimana batas-batas tersebut bisa ditetapkan ditegakkan dalam praktik?
Secara sederhana, dalam gagasannya An-Naim ingin memberikan rumusan dan tinjauan atas persoalan tersebut dengan mereformulasikan hukum-hukum syariah.
Bagi An-Naim merumuskan ulang prinsip-prinsip syariah perlu untuk dilakukan, mengingat banyaknya kendala dalam pelaksanaan syariah dalam realita kehidupan umat muslim. Dengan analisisnya, An-Naim mengatakan bahwa umat Islam dewasa ini lebih suka menjaga keutuhan kesempurnaan syariah dalam teori, kendati hal itu tidak mungkin diterapkan dalam praktiknya.
Pandangan Abdullah Ahmed An-Naim terhadap Sumber Hukum Islam
Jika An-Naim berupaya untuk memodifikasi syariah tertentu, lantas bagaimana dengan sumber-sumber hukum Islam yang selama ini terlegitimasi dan disepakati sebagai rujukan utama kaum muslim? An-Naim memberikan gambaran tersendiri yang bersifat prinsipil terhadap hal tersebut.
Dalam mengambil nilai lihaliyah dalam Al-Qur’an, An-Naim tetap mengakuisis bahwa al-Qur’an merupakan narasi yang sakral yang bersifat universal dan tetap mampu bersaing dengan realitas zaman.
Bedanya, An-Naim berpandangan bahwa al-Qur’an bukanlah kitab hukum yang sepenuhnya mengatur hak dan kewajiban bagi umat. Lebih dari itu, al-Qur’an adalah dasar dalam standarisasi perilaku umat Islam, seperti dalam berperadaban, sifat tenggang rasa, kejujuran, kepercayaan, dan lainnya.
Begitupun dengan Sunnah, An-Naim mengkonsepkan bahwa Sunnah yang diwariskan oleh Nabi pada umat adalah warisan budaya yang relevan dengan zamannya saat itu, yaitu pada abad 2 hijriyah. Premis tersebut merupakan satu celah untuk bagaimana prinsip-prinsip Sunnah tetap ditegakkan akan tetapi dengan mengedapankan kesesuaian dengan realitas sekarang.
Dalam ijma’ pun, pada dasarnya masih terdapat problematika yang belum terselesaikan. Apakah ijma’ yang dimaksud adalah seluruh ulama di dunia? atau konsensus para tokoh agama lokal? Atau justru konsensus para sahabat dan para ulama klasik? Kontroversi tersebut yang bagi An-Naim selalu membayang-bayangi kebijakan hukum Islam.
Pembaharuan Metodologi ala An-Naim
An-Naim mengatakan secara lugas, bahwa selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang. Pemikiran tersebut merupakan kelanjutan dari apa yang pernah dibahas oleh penulis Sudan, Mahmoud Mohammed Taha, yaitu mengajukan metodologi pembaruan yang revolusioner.
Titik temu yang diajukan oleh An-Naim dan Taha adalah sama-sama ingin memberikan perspektif baru dalam penafsiran. Meskipun, dengan upaya metodologi penafsiran yang baru, mereka tetap melandaskan hal tersebut kepada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah.
Kesimpulan
Upaya An-Naim dalam merumuskan tataran syariah yang baru, bukan berarti sebagai doktrin umum bagi seluruh umat Islam. Akan tetapi, An-Naim membuka celah yang luas untuk dijadikan sebagai bahan diskusi demi kebangkitan umat Islam secara umum.
An-Naim juga mengakui bahwa wacana yang ia berikan tidak akan mudah untuk diterima oleh kalangan muslim secara luas, dengan beberapa alasan. Walaupun demikian, usahanya tersebut dilandaskan pada kerapuhan Islam dalam beberapa hal yang bersangkutan dengan kebijakan hukum publik.
Editor: Soleh