Akhlak

Karakter Zuhud: Bukan Anti Dunia, Tapi Hidup Sederhana

16 Mins read

Ketika mengkaji tentang zuhud, terkadang ada yang kurang setuju. Sebab, dalam pandangan umum, zuhud selalu diasosiasikan dengan ‘fakir’. Karena melupakan dimensi keduniawian serta menafikan segala bentuk kedigdayaan diri.

Padahal zuhud bukanlah melupakan dunia secara total, sebab manusia hidup di dunia tentu memerlukan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Namun, segala asesoris hidup jangan sampai dimasukkan ke hati; jangan sampai ‘melekat’ kepada diri; jangan ‘terikat’ dan ‘terbelenggu’ oleh ‘pernak-pernik’ simbolisme; jangan ‘dibudak’ dunia; serta jangan sampai dunia menjadi ‘penjara’ kehidupan, yang menawan hati hingga terhijab dari kedekatan pada Ilahi: Dunia di jari, akhirat di hati!

Seseorang yang ingin mendaki tangga hakikat, maka ia harus terlebih dahulu menjadi Zahid (orang yang menempuh hidup zuhud). Sikap hidup zuhud ini erat kaitanya dengan taubat dan wara’. Sebab taubat tidak akan berhasil jika hati seorang masih terikat dan terbelenggu oleh kesenangan duniawi.

Zuhud terhadap dunia berarti tidak tertarik atau terpikat terhadap segala sesuatu yang terkait dengan duniawi. Duniawi itu misalnya jabatan, harga diri, harta, dan lain sebagainya. Dalam dunia tasawuf, zuhud dipahami sebagai sikap tidak mencintai dan tidak tertarik kepada dunia atau tidak terlena dan tergiur oleh kesenangan duniawi.

Sikap zuhud terhadap dunia berakar pada pandangan bahwa dunia dan segala kesenangannya lebih rendah nilainya daripada nilai akhirat. Maka sikap hidup itu mengandung pengertian sikap mencintai akhirat atau lebih tertarik kepada Allah ketimbang kepada lainnya.

Rasulullah SAW memang mengajarkan sikap zuhud kepada sahabat-sahabatnya. Mereka hidup dengan sederhana, baik dalam makanan, minuman, dan pakaian, dan lain sebagainya. Mereka sering berpuasa dan berlapar-lapar, menghentikan makan sebelum kenyang dan tidak makan sebelum lapar. Mereka rajin bangun tengah malam untuk ‘mendatangi’ Allah bermunajat, bertafakur dan bertazakur.

Mengejar dan meraih duniawi sebenarnya tidak pernah dilarang oleh Alquran. Bahkan kitab suci ini memerintahkan kepada orang yang percaya kepada-Nya untuk meraih dunia terutama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia serta untuk mencapai cita-cita prestasi terbaik di sisi Allah. Jadi perlu dipahami bahwa zuhud bukan berarti anti duniawi sama sekali. Namun seseorang boleh mencari nafkah buat bekal ibadahnya, buat berinfak, buat pendanaan untuk perjuangan di jalan Allah. (Ar-Rummi, 2007: 125)

Pengertian dan Tujuan Zuhud

Secara umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. (Anwar dan Solihin, 2000: 59)

Lebih khusus, zuhud ialah meninggalkan kesenangan duniawi demi mencari kesenangan untuk akhirat.

Mengenai batas pelepasan diri dari rasa ketergantungan itu, para sufi berlainan berbeda pendapat. Al Ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran.

Sedangkan Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rezeki yang diterimanya. Jika makmur, ia tidak merasa bangga dan gembira. sebaliknya, bila miskin ia pun tidak bersedih karenanya.

Hasan Al-Bisri mengatakan, bahwa zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya, seperti ular, yang licin apabila dipegang, tetapi racunnya dapat membunuh.

Al-Junaid memberi pengertian cukup sederhana, bahwa zuhud adalah melepaskan tangan dari harta benda dan melepaskan hati dari kesenangan hawa nafsu. Meskipun kalimatnya tampak sederhana namun mengandung pemahaman yang cukup dalam.

Dalam pandangan Al-Ghazali, ia mengatakan bahwa, ketahuilah mungkin ada yang mengira bahwa orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan harta, padahal tidaklah demikian. Sebab meninggalkan harta dan menampakkan hidup prihatin sangat mudah bagi orang yang mencintai pujian sebagai orang zuhud.

Betapa banyak rahib yang setiap hari memakan makanan sedikit dan selalu tinggal di biara yang tidak berpintu, tetapi tujuan kesenangan mereka adalah agar keadaan mereka diketahui orang dan mendapat pujian. Hal ini jelas tidak menunjukkan zuhud. Jadi, mengetahui kezuhudan merupakan hal yang mungkin pula keadaan zuhud pada seorang yang zuhud.

Adapun tujuan zuhud adalah tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali. Jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang abadi di hadirat Ilahi.

Internalisasi Zuhud sebagai Karakter secara Psikologis

Ada pula yang berpendapat, zuhud itu menyederhanakan (memperkecil) kehidupan duniawi dan menghilangkan berbagai pengaruh di dalam hati. Pengaruh di dalam hati itu misalnya panjang angan-angan, kikir, sombong, rakus dan sebagainya. Tak mungkin seseorang bisa melatih diri bersikap zuhud jika hatinya menyimpan sifat-sifat buruk itu.

Sifat semacam itu hanya akan memperkuat dorongan hawa nafsu, sehingga seseorang selalu terikat terhadap duniawi. Oleh karena itu, As-Sarry berkata, “Kehidupan yang luhur tidak akan menjadi baik apabila seseorang masih menyibukkan diri.

Demikian juga orang yang makrifat.” Menyibukkan diri artinya seseorang itu tenggelam dalam kesibukan duniawi, misalnya mengejar kedudukan, jabatan, harta benda dan  kesenangan. sedikit sekali atau hampir sama sekali tidak ada waktu buat mendekatkan diri kepada Allah.

Ibnu Jalla’ berpendapat, bahwa zuhud adalah menilai kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai makna dalam pandangan. Oleh karena itu, ia menganggap harta benda, jabatan, apapun bentuknya, adalah sesuatu yang mudah sirna.

Zuhud melatih seseorang menjadi rendah hati di dunia serta memiliki akhlak mulia. karena sikap ini jika benar-benar dimiliki maka seseorang menjadi berlapang dada manakala menemui kehidupan yang sulit. Tetapi ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah, ia tidak sombong tetapi bersyukur.

Ketika zuhud telah sempurna maka seseorang selalu berprasangka baik kepada sesama makhluk maupun kepada Allah SWT. Karena itulah Al-Junaid berkata, “Yang dimaksud zuhud adalah hati yang terhindar dari prasangka.”

Agar seseorang bisa bersikap zuhud maka diperlukan kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dunia yang tidak seberapa dibandingkan dengan nilai akhirat. Sama halnya seseorang pedagang yang melihat nilai barang yang dijual, bukan barang fisiknya. Karena nilainya yang mahal meskipun barangnya sepertinya kurang bagus, tapi membuatnya tertarik untuk memilikinya.

Begitu pula orang yang menyadari dan paham betul bahwa nilai akhirat dan nilai kemuliaan di sisi Allah itu lebih mahal, maka ia akan zuhud terhadap duniawi. Ia lebih tertarik kepada akhirat. Artinya, ia menyadari bahwa kebahagiaan akhirnya itu lebih baik dan kekal bagi dirinya.

Imam Al-Ghazali mengibaratkan, bahwa dunia dan akhirat itu ibarat salju dan mutiara. Jika di dalam salju itu tersimpan mutiara, maka nilainya akan mahal. tetapi ketika salju diletakkan di bawah matahari, ia akan hancur dan tinggallah mutiara yang kekal.

Oleh sebab itu, agar bisa menempuh sikap zuhud, maka seseorang harus memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Meskipun demikian, kadang-kadang orang awam tidak mampu meyakinkan hatinya tentang yang demikian ini.

Hal tersebut mungkin karena mereka tidak mempunyai daya dan kemampuan untuk melepaskan diri dari duniawi. Kadang-kadang dipengaruhi oleh hawa nafsunya tentang was-was dan kekhawatiran nasibnya di masa mendatang.

Kriteria Karakter Zuhud

Dalam pandangan Al-Ghazali ada tiga tanda kezuhudan yang harus ada pada batin seseorang, yakni:

Pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang (tidak ada). Ini menunjukkan ke zuhud dalam harta.

Sebagaimana firman Allah:

Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. (QS. Al-Hadid: 23)

Baca Juga  Titik Temu Gagasan Pluralisme dan Kebebasan Beragama

Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan orang yang mencacinya. Ini merupakan termasuk zuhud dalam kedudukan.

Ketiga, hendaklah ia bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya ketaatan,

Karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta; cinta dunia atau cinta Allah. Kedua cinta ini di dalam hati seperti air dan udara di dalam gelas. Apabila air dimasukkan ke dalam gelas maka udara pun keluar; keduanya tidak dapat bertemu. setiap orang yang ‘akrab’ dengan Allah pasti akan sibuk dengan-Nya dan tidak akan sibuk dengan lain-Nya. Oleh karena itu dikatakan kepada sebagian mereka, “Kepada apa zuhud itu membawa mereka?” Dijawab, “Kepada keakraban yang Allah.” Sedangkan keakraban dengan dunia dan keakraban dengan Allah tidak akan pernah bertemu. (Hawwa, 2005: 329)

Dari pemikiran Al-Ghazali dapat kita ketahui bahwa tanda-tanda zuhud itu adalah: (1) terhadap harta; tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih dengan apa yang hilang; (2) terhadap kedudukan;  tidak gila penghormatan, pemangkat dan jabatan. Baginya sama saja antara celaan dan pujian; dan (3) akrab dengan Allah; hidupnya didominasi ketaatan kepada Allah.

Sedangkan para ahli hikmah mengatakan zuhud itu mengandung 5 hal:

1. Penuh keyakinan kepada Allah.

2. Berbuat baik kepada sesama makhluk.

3. Ikhlas dalam beramal.

4. Tegar atas penganiayaan orang lain.

5. Tidak tergantung kepada orang lain (mandiri).

Hakikat Karakter Zuhud

Ketahuilah, zuhud di dunia merupakan salah satu kedudukan yang mulia bagi orang-orang yang mengikuti jalan kepada Allah. Karakter zuhud merupakan ungkapan tentang mengalihkan keinginan dari suatu kepada sesuatu yang lebih baik lagi.

Apa yang dialihkan itu disyaratkan merupakan sesuatu yang disenangi, seberapapun porsinya. Siapa yang mengalihkan sesuatu yang tidak disenangi dan tidak dituntutnya, maka dia tidak pernah menjadi orang yang meninggalkan kesenangan kepada debu, tidak bisa disebut orang yang zuhud.

Sebagaimana tradisi yang sudah berlaku, istilah zuhud dikhususkan bagi orang yang meninggalkan keduniaan. Siapa yang zuhud dalam segala sesuatu selain Allah, maka dia adalah orang takut yang sempurna. Siapa yang zuhud di dunia akan mengharapkan surga dan kenikmatannya, dia juga disebut orang zuhud. tetapi derajatnya berbeda dengan yang pertama.

Ketahuilah bahwa zuhud itu bukan sekedar meninggalkan harta, menghinakannya sebagai sesuatu yang dihamparkan dan bisa dijadikan kekuatan serta sesuatu yang melelahkan hati, tetapi zuhud ialah meninggalkan keduniaan karena tahu kehinaannya jika dibandingkan dengan ketinggian nilai akhirat. Siapa yang menyadari bahwa dunia ini dilaksanakan yang mencair dan akhirat itulah laksana batu pualam yang awet, yaitu keinginannya menjadi kuat untuk melepas yang pertama lalu dibuka dengan yang kedua. (Qudamah, 2017: 408-409)

Pada hakikatnya zuhud mendidik orang agar bermoral arif dan bijaksana dalam menempuh kehidupan. Orang tidak berjiwa zuhud, tidak akan bangga dan menyombongkan kenikmatan duniawi yang ada di tangannya. Ia juga tidak akan berkeluh-kesah misalnya Kehilangan duniawinya (harta, jabatan, dsb).

Barometer Karakter Zuhud

Tolak ukur karakter zuhud itu ditandai tiga ciri yakni:

Pertama, berbuat tanpa pamrih sedikitpun.

Seseorang yang telah berhasil melatih diri dan jiwanya berzuhud, maka setiap perbuatannya selalu diniatkan rasa ikhlas. Jika menolong, maka disertai dengan hati ridha. Jika beribadah kepada Allah juga tanpa pamrih. Tanpa keinginan untuk mendapatkan pahala dan keinginan terbebas dari neraka. Baginya, surga dan neraka itu urusan Allah. Mendapat pahala atau tidak dalam beribadah, itu pun disandarkan kepada Allah.

Kedua, berbicara tanpa keinginan hawa nafsu.

Begitu pula jika berbicara, ia tak pernah mempunyai keinginan untuk mendapat pujian. Namun nasihatnya mengalir dengan disertai rasa kasih sayang. setiap kata-katanya sejuk karena tidak pernah mengandung pembicaraan yang menyinggung atau menyakiti hati orang lain.

Ketiga, kemuliaan tanpa kekuasaan.

Orang zuhud tidak mengharap kedudukan di mata makhluk. Oleh karena itu, ia menjadi mulia karena sikap dan perilakunya sehingga orang lain merasa hormat. Kemuliaan tidak hanya didapat di dunia, namun Allah pun memuliakannya. Tanpa jabatan tinggi atau kedudukan pun, Ia telah menjadi mulia.

Kemuliaan itu datangnya dari Allah. Sesuai dengan pendapat Abu Usman, “Allah akan memberikan sesuatu kepada orang zuhud melebihi apa yang dikehendaki, memberikan kepada orang yang cinta Allah selain apa yang dia kehendaki, dan memberikan kepada orang yang secara konsisten beribadah sesuai dengan apa yang dia kehendaki.”

Keutamaan Karakter Zuhud

1. Orang yang zuhud memiliki visi masa depan, yakni akhirat.

Seperti firman Allah SWT:

Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. An-Nisa: 77)

2. Orang yang zuhud mengambil apa yang kekal pada sisi Allah.

Seperti firman Allah SWT:

Apa yang ada di sisi kalian akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96)

3. Orang yang zuhud memandang dunia sebagai aksesoris bunga kehidupan, sementara tujuan mereka adalah akhirat yang kekal.

Firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu tunjukkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya.” (QS. Thaha: 131)

4. Pada esensinya orang yang zuhud adalah orang yang ‘kaya’ (merasa cukup)sedangkan orang yang tidak zuhud adalah orang yang ‘fakir’ (haus dan tamak).

Sabda Rasulullah SAW:

Siapa yang hasratnya adalah dunia, maka Allah menceraiberaikan urusannya, membuatnya takut terhadap harta kekayaan, menjadikan kefakiran tampak di depan matanya, dan sebagian dari keduniaan tidak datang kepadanya melainkan yang sudah ditetapkan baginya. Siapa yang hasratnya adalah akhirat, maka Allah menghimpun hasratnya, maka Allah menjaga hartanya, menjadikan kekayaan ada di dalam hatinya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan yang hina. (HR. Ahmad, Ad-Darimi,  Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)

5. Orang yang hidup adalah manusia yang lebih baik.

Sabda Rasulullah SAW:

Seorang sahabat bertanya, Ya Rasul, manakah manusia yang lebih baik? Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Setiap orang mukmin yang terpelihara hatinya dan jujurnya lisannya.’ Seorang sahabat bertanya lagi, ‘Wahai Rasul, siapakah yang terpelihara hatinya? Jawab Rasulullah SAW: ‘Orang yang bertaqwa, orang yang bersih, yang tidak ada belenggu padanya, tidak ada penipuan,  tidak ada kedurhakaan dan tidak ada kedengkian. Ditanya lagi, ‘Siapakah kiranya yang mempunyai tanda-tanda demikian/’ Jawabnya, ‘Yaitu orang yang membenci dunia dan mencintai akhirat.” (HR. Ibnu Majah)

6. Orang yang zuhud dicintai oleh Allah.

Sabda Rasulullah SAW:

Bilamana engkau menginginkan dicintai oleh Allah, maka berzuhudlah di dunia. (HR. Ibnu Majah)

7. Orang yang zuhud hanya mengambil yang diperlukan saja. Sebab takut akan banyaknya pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Sabda Rasulullah SAW:

Suatu ketika datanglah utusan menghadap Rasulullah SAW. Ia mengatakan, ‘Wahai Rasul! Sesungguhnya kami ini orang-orang yang beriman.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah tandanya?’ Para utusan itu menjawab, ‘Kami telah bersabar ketika mendapat cobaan, bersyukur ketika mendapat kenikmatan, merasa ikhlas atas terjadinya qadha, dan meninggalkan makian dengan musibah ketika turun kepada musuh.’ Rasulullah kemudian menambahkan nasihatnya: Jika benar yang kamu katakan, maka janganlah kamu mengumpulkan sesuatu yang sangat tidak memakannya, janganlah kamu membangun sesuatu yang kamu tidak menepatinya,  dan janganlah berlomba-lomba dalam sesuatu yang akan kamu tinggalkan. (HR. Al-Khatib dan Ibnu Azakir)

Baca Juga  Spiritualitas “Mekanik” di Era Industrialisasi

8. Orang yang zuhud dicintai oleh Allah dan dikasihi oleh manusia.

Sabda Rasulullah SAW:

Zuhudlah  kamu terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu, dan zuhurlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka mengasihimu. (HR Ibnu Majah dan Al Hakim)

Derajat Karakter Zuhud

Pertama, di antara manusia ada yang zuhud di dunia sekalipun sebenarnya dia masih ada kesenangan terhadap dunia. Namun dia tetap berusaha untuk zuhud. Orang yang semacam ini dinamakan mutazahhid, yaitu merupakan langkah awal untuk zuhud.

Kedua, zuhud di dunia secara sukarela tanpa memaksakan diri untuk zuhud. Tetapi ketika dia melihat zuhudnya, maka dia justru mulai berpaling, lalu merasa ujub terhadap dirinya ketika ia melihat dirinya telah meninggalkan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar lagi, seperti orang yang meninggalkan satu dirham untuk mendapatkan dua dirham. Ini termasuk zuhud yang kurang.

Ketiga, ini merupakan derajat zuhud yang paling tinggi, yaitu zuhud dengan sukarela, benar-benar zuhud dalam zuhudnya. Dia tidak melihat dunia sebagai sesuatu yang tidak berguna, seperti orang yang meninggalkan sesobek kain perca untuk mendapatkan ganti mutiara. Ia tidak melihatnya sebagai tukar tambah. Dunia yang dibandingkan dengan akhirat,  lebih baik dari sesobekan kain perca jika dibandingkan dengan mutiara. Ini merupakan gambaran kesempurnaan zuhud. (Qudamah, 2017: 410)

Pembagian Karakter Zuhud

Pembagian karakter zuhud jika dikaitkan dengan sesuatu yang disenangi ada tiga yakni:

Pertama, zuhud untuk mendapatkan keselamatan dari siksa, selamat pada waktu hisab dan bencana yang akan dihadapi manusia. ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut.

Kedua, zuhud untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan. ini adalah zuhudnya orang-orang yang berharap. mereka meninggalkan kenikmatan (dunia) untuk mendapatkan kenikmatan akhirat (ukhrawi).

Ketiga, ini zuhud yang tertinggi yaitu tidak cukup untuk membebaskan diri dari penderitaan dan bukan untuk mendapatkan kenikmatan, tetapi untuk dapat bertemu dengan Allah. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang berbuat kebaikan dan orang-orang yang berpengetahuan. kenikmatan memandang Allah jika dibandingkan dengan kenikmatan surga seperti kenikmatan raja di dunia dan memegang kekuasaan, dibandingkan dengan kenikmatan dapat menguasai seekor burung atau mainan. (Qudamah, 2017: 411)

Tingkatan Karakter Zuhud

Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia agar  terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa. (Anwar dan Solihin, 2000: 72)

Ibrahim bin Adham berkata, “Zuhud (mengasingkan diri dari dunia) itu ada tiga tingkatan yaitu: Pertama, zuhud yang bersifat fardhu, yaitu menghindari segala macam yang haram. Kedua, zuhud untuk keselamatan, yaitu dengan meninggalkan syubhat. Ketiga, zuhud keutamaan, yaitu bersikap zuhud dari sesuatu yang halal. Hal ini adalah suatu penafsiran yang baik. (Al-Ghazali, 2000: 391)

Kontekstualisasi Karakter Zuhud dalam Kehidupan

Para ahli makrifat berkata, “Apabila iman terkait dengan zahir hati maka ia akan mencintai dunia dan akhirat dan berusaha untuk keduanya, tetapi apabila iman telah masuk ke dalam lubuk hati maka ia akan membenci dunia.”

Abu Sulaiman berkata, “Barangsiapa sibuk dengan dirinya maka ia akan terhindar dari kesibukan dengan orang, Dan ini merupakan maqam orang yang beramal. Barangsiapa sibuk dengan Tuhannya maka ia akan terhindar dari kesibukan dengan dirinya, dan ini merupakan maqam orang yang arif. Sedangkan orang yang zuhud harus berada pada salah satu dari kedua maqam ini. Adapun maqamnya yang pertama ialah ia menyibukkan diri dengan dirinya sendiri, sehingga pada saat itu akan sama baginya ujian, celaan, keberadaan dan ketiadaan.

Jadi tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi keakraban dengan Allah. Dari tanda-tanda ini tentu muncul beberapa tanda-tanda yang lainnya.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Tanda zuhud adalah kedermawanan dengan apa yang ada.”

Ibnu Hafiz berkata, “Tandanya ialah adanya rasa legal dalam keluar dari kepemilikan.” Ia juga berkata, “Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”

Ahmad bin hambal dan Sofyan ra berkata, “Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”

Sofyan Ats-Tsauri berpendapat, “Zuhud adalah meminimalkan menyederhanakan keinginan, bukan memakan sesuatu yang keras dan bukan pula memakai pakaian kusut.”

As-Sirri berkata, “Allah SWT menghilangkan kenikmatan dunia, melarangnya, dan mengeluarkannya daripada kekasihnya. Allah SWT tidak rela jika mereka menikmati duniawi.”

As-Surri berkata, “Tidak akan baik kehidupan orang yang zuhud apabila ia sibuk dari dirinya, dan tidak akan baik kehidupan orang yang arif apabila ia sibuk dengan dirinya.”

As-Surri berkata lagi, “Aku telah mempraktekkan segala sesuatu dari perkara zuhud lalu aku mendapatkan darinya apa yang aku inginkan kecuali zuhud pada orang;  karena sesungguhnya aku tidak dapat mencapainya dan tidak kuasa mendapatkannya.”

Al-Fudail berkata, “Allah menjadikan segenap keburukan dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.” (Hawwa, 2005: 330)

Al-Hasan berkata, “Manusia dihimpun pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, kecuali orang-orang yang zuhud. Sesungguhnya ada orang-orang yang dihormati dunia, lalu mereka disalip di papan kayu, sehingga mereka menjadi hina karenanya. Maka tenangkanlah hati kalian jika kalian dihinakan hanya karena perkara dunia.”

Di antara orang Salaf Ada yang berkata, “zuhud di dunia ini bisa menenangkan hati dan badan. sedangkan kesenangan kepada dunia memperbanyak kekhawatiran dan kesedihan.”(Qudamah, 2017: 410)

Sebagian orang salaf ditanya, “Kepada apa mereka dimaksudkan zuhud.” Dia menjawab, “Agar bisa bersama Allah.”

Yahya Bin Muadz berkata, “Dunia ini laksana pengantin wanita. Siapa yang mencari dan menemukannya, maka ia akan lengket dengannya. Sedangkan orang yang zuhud ialah yang melumuri wajahnya dengan kotoran, mencabut rambutnya dan membakar pakaiannya. Orang yang berilmu ialah yang menyebukkan diri bersama Allah dan melalaikannya.” (Qudamah, 2017: 416)

Yahya bin Mu’az barkata, “Hendaklah anda menjadikan tatapan pandangan anda di dunia ini, untuk mengambil iktibar (pelajaran), penolakan anda terhadapnya, hendaklah sebagai ikhtiar yang senantiasa diupayakan, usaha anda di dalamnya ada sebuah keterpaksaan, sementara pencarian anda kepada akhirat adalah sebuah kepercayaan.”

Maka hakikat karakter zuhud tidak dapat dicapai secara sempurna kecuali dengan karakter tawakal kepada Allah secara sempurna pula.

Hikmah Karakter Zuhud

1. Yang memiliki karakter zuhud akan diberi kebijaksanaan dalam hidup.

Sabda Rasulullah SAW:

Jika di antara kamu sekalian melihat orang lelaki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang yang mengajar kebijaksanaan itu. (HR. Al Baihaqi)

2. Orang yang zuhud tidak menjual (menukar) dunia dengan akhirat. Artinya ia tidak tergila terhadap duniawi tetapi lebih mementingkan akhirat.

Seperti yang dikiaskan dengan menjual Yusuf dengan harga yang murah. Di dalam Alquran Allah berfirman: Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf. (QS. Yusuf: 20)

3. Orang yang zuhud mementingkan akhirat karena itu lebih kekal dari dunia.

Baca Juga  Amal Saleh yang Diterima: Tanda-tanda yang Terlihat

Firman Allah yang berbunyi:

Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit. (QS. An-Nisa; 77)

4. Allah memberikan imbalan surga bagi orang yang selalu dekat kepada-Nya.

Firman Allah:

Sesungguhnya Allah ta’ala telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan imbalan bagi mereka surga. (QS. At-Taubah: 111)

4. Orang yang zuhud senantiasa mendahulukan kedekatan kepada Allah daripada ‘transaksi’ keduniaan sehingga ‘transaksi’nya bersama Allah akan berbuah kegembiraan.

Firman Allah SWT:

Maka bergembiralah kamu dengan jual beli yang telah kamu lakukan untuk.(QS. At-Taubah 111)

5. Orang yang zuhud tergolong ke dalam orang yang sangat sedikit.

Firman Allah SWT:

Diantara kamu ada orang yang menginginkan duniawi dan diantara kamu ada orang yang menginginkan akhirat. (QS. Ali Imran: 152)

6. Orang yang zuhud terbebas dari sikap kerakusan dan materialisme Qarun dan ambisius kekuasaan ala Firaun.

Firman Allah SWT:

Maka ia (Qarun) keluar menemui kaumnya dengan kemegahannya.  orang-orang yang menghendaki kehidupan duniawi berkata, Semoga kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia telah benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. Orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, ‘Kecelakaan yang sebesar lah bagimu, padahal pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan; dan pahala itu tidak diberikan kecuali orang-orang yang bersabar. (QS. Al-Qashash: 79-80)

7. Allah memberikan dua kali lipat pahala karena kesabaran orang yang hidup di dunia.

Firman Allah SWT:

Mereka itu diberi pahala dua kali lipat karena kesabarannya.” (QS. Qashash: 54)

8. Dalam pandangan orang zuhud dunia hanyalah sekedar ujian dan perhiasan yang tidak kekal.

Firman Allah SWT:

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7)

9. Orang yang zuhud meorientasikan segala ibadahnya kepada Allah untuk masa depannya di akhirat.

Firman Allah SWT:

Barang siapa yang menginginkan keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang mengingatkan keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada bagiannya suatu bagian pun di akhirat. (QS. Asy-Syura: 20)

10. Orang yang zuhud tidak pernah menukar akhirat untuk kepentingan dunia yang sedikit dan sementara.

Firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu arahkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya, dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekat. (QS. Thaha:131)

11. Orang yang zuhud menandang dunia secara sederhana.

Firman Allah SWT:

Orang-orang kafir yang mendapat siksaan amat pedih adalah orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada ketika akhirat.” (QS. Ibrahim: 3)

12. Orang yang zuhud adalah memilik ilmu hikmah.

Sabda Rasulullah SAW:

Apabila kamu melihat seorang hamba yang telah diberinya diam tersebut di dunia maka dekatilah hamba itu. Sesungguhnya ia akan mengajarkan ilmu hikmah. (HR. Ibnu Majah)

Firman Allah SWT:

Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah,  sesungguhnya telah diberi kebaikan yang banyak. (QS. Al-Baqarah: 269)

Nilai Karakter Zuhud bagi Kehidupan dan Kemanusiaan

Pemahaman yang kurang benar, adalah zuhud diartikan sebagai sikap anti duniawi secara total. Sehingga seseorang menempuh hidup yang serba kekurangan. Karena hidup kekurangan, hati dan pikirannya tidak bisa tenang dalam mengingat Allah. Karena itu Alquran juga menolak perilaku dan sikap berlebihan dalam menjauhi duniawi. “Siapakah yang mengharamkan yang baik-baik dari perhiasan yang dijadikan indah manusia memandangnya.” Bukankah perintah jihd disertai dengan menyebut sarana utama, yaitu amwal (harta benda) dan nafs. Bagaimana mungkin seseorang bisa jihad jika secara total meninggalkan duniawi.

Sesungguhnya yang diingatkan oleh Alquran itu ialah agar manusia tidak tergiur oleh kesenangan duniawi tetapi memang menganggap sebagai nikmat Allah dan dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Firman Allah SWT:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS. Al-Qashash: 77)

Harus dipahami bahwa kecintaan terhadap dunia semata akan menimbulkan kemadekan dan bahkan kehancuran. Banyak bencana kemanusiaan timbul akibat kerakusan manusia. Banyak pula keonaran mencuat akibat pemujaan perut, pemujaan wanita atau pemujaan harta dan kedudukan. Seluruh akhlak bejat dan perilaku rendah, seperti berbohong, menjilat, dan berbuat semena-mena, bersumber dari penghambaan diri terhadap dunia. Allah SWT mengancam orang yang hanya mempasrahkan kehidupannya untuk dunia.

Firman Allah SWT:

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan Kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS Yunus: 7-8)

Sikap zuhud, dalam hal ini berarti melihat dunia hanya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Dunia bukan tujuan hidup, tetapi hanya sebatas sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan hidup ialah Tuhan dan Ridha-Nya.

Seorang Zahid (orang yang bersifat zuhud) bukan pribadi yang lemah dan bertekuk lutut di depan para penyembah dunia dan mengharapkan sisa-sisa makanan mereka. Zahid sejati adalah pribadi yang memiliki wibawa yang tinggi, tidak dipermainkan oleh dunia, tidak merasa takut berpisah dengan dunia, kendati akan habis segala yang ada di tangannya. Allah SWT berfirman:

Agar kamu tidak terlalu bersedih terhadap apa yang telah hilang dan tidak terlalu gembira terhadap yang datang. (QS Al Hadid: 23)

Sikap zuhud mengarahkan manusia untuk melihat dunia sebagai lembah yang luas dan lapang. Tidak takut menghadapi bahaya, tidak gentar menghadapi bencana. Bersyukur ketika mendapat karunia dan tidak lupa daratan. Bersabar ketika ditimpa musibah dan tidak terputus asa. Manusia adalah hamba Allah, bukan hamba dunia. Zahid tidak akan meninggalkan dunia. Karena dunia diperlukan. Namun, dunia bukan tujuan hidupnya.

Dengan zuhud, nilai dunia yang bersifat sementara berubah menjadi bernilai abadi yang melampaui ruang dan waktu sebagai sarana untuk meraih ridha Ilahi, sebagaimana ditunjukan oleh Nabi SAW dalam hadisnya: Dunia adalah ladang untuk akhirat.” Di dunia ini kita menyemai dan menanam padi di akhirat kita akan memetik hasilnya. (Ali, 2002: 140-142)

Dari penjelasan diatas, maka dapat dipahami, bahwa zuhud bukan ‘kemelekatan’ dengan yang bersifat asesoris duniawi. Tapi meletakkan posisi dan proporsi duniawi secara sederhana. Harta, kekayaan, popularitas, harta benda, kedudukan, jabatan dan kedigdayaan diri bukanlah tujuan, itu hanya alat dan sarana. Sebab suatu waktu asesoris itu bisa hilang. Namun, tujuan adalah Allah, maka dunia di posisikan di jari bukan di hati. Maka tidak perlu sombong dengan asesoris kedigdayaan diri, baik harta berlimbah, jabatan tinggi, sebutan ‘sultan’, milyader, triliyuner, dsb.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…
Akhlak

Hidup Sehat ala Rasulullah dengan Mengatur Pola Tidur

4 Mins read
Mengatur pola tidur adalah salah satu rahasia sehat Nabi Muhammad Saw. Sebab hidup yang berkualitas itu bukan hanya asupannya saja yang harus…
Akhlak

Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

3 Mins read
Kebahagiaan merupakan hal penting yang menjadi tujuan semua manusia di muka bumi ini. Semua orang rela bekerja keras dan berusaha untuk mencapai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *