Fikih

Abdullah Saeed: Makna Riba, Tak Boleh Ditafsirkan Secara Tekstual!

4 Mins read

Krisis moneter yang terjadi saat ini berbuntut pada perdebatan penafsiran beberapa pemikir Islam tentang keharaman dan kehalalan bunga bank. Mereka beranggapan bahwa bunga bank yang umumnya berlaku dalam sistem dunia perbankan adalah termasuk riba.

Setidaknya, terdapat dua pendapat mendasar yang membahas tentang riba yaitu penafsiran secara tekstualis dan penafsiran secara kontekstualis. Paham tekstualis dipelopori oleh gerakan neo-revivalisme Islam, sedangkan paham kontekstualis dipelopori oleh kaum neo-modernisme Islam.

Gerakan revivalis kemudian pada abad ke-20 menjelma menjadi gerakan neo-revivalis. Gerakan neo-revivalis ini lah yang telah paling banyak mempengaruhi perkembangan teori perbankan Islam.

Neo-Revivalis: Bunga Bank adalah Riba

Teori ini dikembangkan secara luas guna mempraktikkan interpretasi tradisional riba (yang dianut oleh kaum neo-revivalis) di bidang perbankan dan pembiayaan. Gerakan neo-revivalis menafsirkan bahwa bunga bank merupakan riba.

Candra Muzaffar mengatakan, “Landasan hidup ini sebagaimana yang secara eksplisit telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah secara kafah mengatur jalan kehidupan dengan segala kesucian dan kemurnian-Nya tanpa harus dicampuri oleh penafsiran baru yang dilakukan dengan mempertimbangkan waktu dan keadaan”.

Neo-Modernis: Bunga Bank Belum Tentu Riba

Sedangkan, kaum neo-modernis terkemuka Fazlurrahman memandang bunga bank berbeda dengan riba. Menurutnya, pelarangan riba dalam Al-Qur’an cenderung menekankan pada aspek moral yaitu adanya kezaliman.

Seperti yang dirumuskan dalam Al-Qur’an, “la tazhlimun wa latuzhlamun” yang artinya kalian tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi. Berbeda dengan kaum neo-revivalis yang cenderung menekankan aspek legal formal pada pandangan bahwa semua bentuk bunga adalah riba.

Biografi Abdullah Saeed

Dalam perkembangannya, perbankan Islam bergerak kearah pragmatis. Hal inilah yang memicu respon seorang cendikiawan muslim, Abdullah Saeed.

Saeed merupakan Professor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne Australia, sekaligus menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam Kontemporer di Universitas Melbourne.

Baca Juga  Pentingnya Peran Ahli Waris Pengganti

Abdullah Saeed lahir di Maldives pada tanggal 25 September 1964, dan masa kecil hingga remaja dihabiskan disebuah kota bernama Meedhoo yang merupakan bagian dari kota Addu Atoll.

Ia adalah seorang keturunan suku bangsa Arab Oman yang bermukim di pulau Maldives. Namun kemudian, ia hijrah meninggalkan tanah kelahirannya menuju Saudi Arabia untuk menuntut ilmu di sana.

Pandangan Saaed tentang Bunga Bank

Saeed, melihat bahwa dalam perbankan Islam, terdapat transaksi-transaksi yang unsur-unsur bunganya tidak eksplisit. Atau dikenal dengan suatu nama yang selain dari bunga. Seperti dalam kasus opsi mata uang, operasi-operasi komersial jangka pendek dengan muḍārabah, musyārakah, dan murābaḥah. Sepenuhnya dapat diterima dengan kedok “upah”, dan “laba”.

Hal ini menjadi lengkap dengan memberikan penekanan lebih pada definisi legal atas kontrak dan transaksi dan dengan menekankan pada makna literal teks-teks syariah yang terkait dengan masalah riba.

Al-Maududi menegaskan bahwa riba “merupakan jumlah bunga tetap yang diperoleh kreditur dari debitur”. Namun pemahaman seperti ini, menurut Saeed, tidak mempertimbangkan tujuan moral dari pengharaman riba seperti yang dijelaskan dalam, atau dipahami dari Al-Qur’an dan sunah.

Menurut Saeed, pengecaman dan pengharaman final atas riba dalam Al-Qur’an didahului oleh pelarangan sejumlah bentuk perilaku lain yang secara moral tidak dapat diterima terhadap orang-orang yang secara sosial dan ekonomi tidak beruntung (mustaḍ ̔afin).

Beberapa Hal terkait Riba

Saeed mencoba merumuskan beberapa hal mengenai riba.

Pertama, aspek moral sebagai alasan pengharaman riba. Menurut Saeed, pengharaman riba berdasarkan konteks moral merupakan hal yang paling masuk akal. Hal ini dikarenakan, institusi riba pra-Islam memiliki kecenderungan untuk membuat debitur terjerat utang.

Makanya, ketidakmungkinan untuk melunasi utang adalah kemungkinan untuk menjadi budak atau buruh ikatan. Karena masyarakat Arab pra-Islam tidak ada undang-undang yang mengatur untuk mencegah kreditur dari memaksa debitur untuk menjadi buruh ikatan.

Baca Juga  Benarkah Bank Syariah Lebih Kejam daripada Bank Konvensional?

Berbeda dengan sekarang, para debitur pada umumnya, tidak seperti debitur zaman pra-Islam. Bersandar pada pendapatan masa depan yang bisa diprediksi untuk melunasi utang-utangnya, baik berdasarkan pekerjaan ataupun dari pendapatan yang mendatang yang mungkin dari bisnis atau sumber-sumber lainnya.

Melihat kondisi masyarakat pada masa itu, di mana pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja adalah masalah yang umum. Pekerjaan dan pendapatan tidak menentu. Maka wajar saja Al-Qur’an mengharamkan riba, sebagai respon terhadap kondisi tersebut, agar orang-orang yang lemah secara ekonomi dan sosial tidak beruntung.

Kedua, apa yang diharamkan adalah riba pra-Islam. Melihat apa yang diriwayatkan oleh ath-Thabari menjelaskan bahwa riba yang diharamkan adalah pra-Islam. Dapat disimpulkan darinya bahwa bunga ringan tidak diharamkan. Hal ini menurut Saeed berdasarkan pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abd al-Razaq Sanhuri.

***

Ketiga, kebutuhan sebagai alasan untuk mengizinkan bunga rendah. Menurut Saeed, riba pra-Islam (riba jahiliyyah) merupakan bentuk riba terburuk “serupa dengan bunga berlipat ganda saat ini” adalah haram tanpa pengecualian.

Di lain pihak, karena riba penundaan (nasi’ah), riba penambahan (fadhl), dan riba pinjaman diharamkan untuk mencegah terjadinya riba pra-Islam, maka semua jenis ini mungkin saja dibolehkan untuk sementara, dalam hal ‘kebutuhan’ menurut tingkat kebutuhannya.

Kemudian, hukum harus menetapkan batas-batas bagi suku bunga, metode pembayaran, dan total yang harus dibayar sehingga bisa dibuat estimasi apa yang diperlukan bagi setiap kasus tertentu.

Keempat, pinjaman untuk konsumsi sebagai alasan dibolehkannya bunga. Melihat konteks turunya ayat-ayat pengharaman riba, yaitu untuk membebaskan penderitaan kaum miskin, orang-orang yang melarat, dan mereka yang terjebak hutang, maka pengharaman riba dari sudut pandang ini adalah terkait dengan pinjaman untuk konsumsi.

Baca Juga  Dekonstruksi Hukum untuk Keadilan Gender

Karena tidak terdapat bukti untuk pinjaman untuk tujuan-tujuan produksi dalam sekala yang luas pada zaman pra-Islam. Dari riwayat-riwayat dalam tafsir ath-Thabari, kata Saeed, tidak satu pun menyebut adanya atau komoditas yang dipinjam adalah untuk investasi.   

Riba dalam Al-Qur’an menurut Abdullah Saeed tidak bisa ditafsirkan secara tekstual. Perlu kajian yang mendalam dan komprehensif serta memperhatikan aspek-aspek sosial yang melatarbelakangi turunnya ayat riba. Setelah nilai-nilai moral ayat riba diketemukan kemudian dikontekstualisasikan pada masa kontemporer.

Refrensi

Saeed, Abdullah. Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Saeed, Abdullah. Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Jakarta: Paramadina, 2006.

Saeed, Abdullah. Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual . Bandung: Mizan, 2016.

Rahman, Fazlur, 1964, “Riba and Interest”, dalam Journal of Islamic Studies. No. 3 Vol. 1.

Editor: Yahya FR

Hanna Nur Khasanah
2 posts

About author
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *