Inspiring

Abdullah Thufail, Mubalig Pendiri Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA)

8 Mins read

Abdullah Thufail Saputro lahir di Pacitan Jawa Timur pada tanggal 19 September 1927. Ayahnya bernama Thufail Muhammad, (seorang pedagang migran asal Pakistan), sedangkan ibunya bernama Fatimah (putri seorang wedana/camat asal Pacitan, Jawa Timur). Tidak banyak diketahui dari latar belakang keluarga garis keturunan ibu, hanya pernah disebut bahwa Fatimah masih keturunan salah seorang ulama terkemuka di Pesantren Termas.

Abdullah Thufail adalah anak pertama dari dua bersaudara seayah dan seibu, saudara perempuannya bernama Khadijah. Setelah lahir anak kedua ibunda Abdullah Thufail meninggal dunia, kehidupan selanjutnya dilalui bersama ibu tiri dan 10 saudara tirinya. Naluri sebagai pedagang mendorong keluarga Thufail berpindah dari satu daerah ke daerah lain, dan pada tahun 1950 keluarga Thufail Muhammad pindah ke Solo, menetap di Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon.

Arti Nama Thufail dan Saputro

Nama asli yang tertulis dalam surat kelahiran pemberian ayahnya, sebagaimana yang ditunjukkan kepada penulis, adalah Abdullah (tanpa Thufail Saputro). Hingga usia remaja, nama ini digunakan tanpa tambahan nama belakang. Nama ”Thufail” diambil dari nama ayahnya dan ditambahkan sendiri oleh Abdullah Thufail pada usia menginjak dewasa dengan tujuan untuk menghormati ayahanda. Nama ini diperkenalkan kepada publik terutama setelah Abdullah Thufail Saputro mulai aktif berdakwah dan bersentuhan langsung dengan masyarakat di berbagai daerah.

Sedangkan nama ”Saputro” disertakan pada saat situasi di Surakarta sangat genting setelah pemberontakan PKI tahun 1967-an. Tidak diketahui dengan pasti alasan menggunakan nama yang bernuansa Jawa ini dalam hubungannya dengan gerakan dan penumpasan PKI. Namun, ada dugaan nama ini dipilih untuk mengelabuhi mantan anggota PKI yang masih sangat dendam pada sejumlah aktivis Islam di Solo, yang terkenal waktu itu Abdullah Sungkar, Abdullah Thufail Saputro, dan Abu Bakar Ba’asyir.

Nama ”Saputro” digunakan setelah pulang dari Bali, karena di Solo namanya sering diplesetkan menjadi Dollah Pethel (kapak), panggilan yang sarat dengan ejekan, kebencian, dan dendam dari kalangan eks-PKI.

Masa Kecil dan Remaja

Masa kecil hingga remaja dihabiskan untuk belajar agama Islam. Penanaman ajaran agama Islam sangat ditekankan oleh orang tuanya sejak dini dan dididik sendirinya oleh ayahnya sebagai penganut Tarekat Naqsyabandiyah. Pendidikan formalnya sejak sekolah dasar sudah diarahkan untuk sekolah yang bernafaskan Islam.

Pendidikan formal dimulai pada usia 10 tahun ketika itu Abdullah Thufail belajar di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Batu hingga selesai. Kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas di Al-Irsyad di Surakarta. Selepas SMA, Abdullah Thufail sempat mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Cokroaminoto Surakarta, tetapi tidak tamat karena mengembangkan bisnis dan dakwah di masyarakat.

Masa remaja lebih banyak memanfaatkan waktunya untuk menuntut ilmu, baik pendidikan formal maupun informal. Selain pendidikan formal sebagaimana tersebut, ia juga menekuni Islam melalui pendidikan informal di beberapa pondok pesantren antara lain Pondok Tremas di Pacitan berguru dengan Kyai Dimyati (pendiri Pondok Tremas) dan Kyai Abdurrazak, Kyai Hamid, Kyai Habib dan Kyai Haris. Bersama ayahanda beliau juga belajar di Pondok Popongan di Delanggu Klaten, berguru Kyai Mansyur dengan tarekat Naqsyabandiyah Silsilah Qadiriyah.

Abdullah Thufail dan Kepribadiannya

Abdullah Thufail juga belajar pada Kyai Ali Darokah, ulama berpengaruh pada tahun 1970-an hingga 1990-an di Pondok Jamsaren dan Mambaul Ulum Surakarta. Hubungannya dengan Kyai Ali Darokah berlangsung cukup lama dan cukup dekat, sejak Abdullah Thufail masih muda belajar menjadi mubalig hingga mendirikan dan menjadi ketua MTA.

Baca Juga  Asy-Syahrastani (1): Ulama yang Dikenal Cerdas dan Gemar Meneliti

Di sela-sela kesibukan dakwahnya di kalangan warga, ia masih sering berkunjung ke Jamsaren dan berdiskusi dengan Kyai Ali Darokah tentang berbagai persoalan masyarakat, utamanya pesoalan yang terkait langsung dengan masyarakat Muslim.

Gairah dan minat mendalami Islam semakin kuat, ketika ia berguru kepada ustaz Habib Hud, Asegaf Yun, dan Alwi Al-Habsy di Masjid Al-Khoir di Semanggi Pasar Kliwon Surakarta. Ketiganya dikenal sebagai ulama habaib dan penganut Syiah berpengaruh di kalangan masyarakat Arab di Surakarta. Dari merekalah pemikiran Abdullah tentang imamah diperoleh yang kemudian menjadi fondasi dasar gerakan dakwah MTA.

Bersama tiga ulama ini, Abdullah Thufail mengkhususkan diri mengasah kemampuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu alat seperti ulumul qur’an, ulumul hadis, nahwu, sharaf dan balaghah. Bahasa dan ilmu-ilmu alat itu sangat penting untuk mempelajari kitab-kitab tafsir dan kitab hadis.

Karakter dan kepribadiannya yang tegas dalam beragama sangat dipengaruhi oleh guru-guru yang berasal dari Hadramaut, Saudi Arabia ini. Tampaknya pendidikan informal di pesantren dan di Masjid lebih berpengaruh dalam kepribadian Abdullah Thufail dari pada pendidikan formalnya.

Kegigihan Abdullah Thufail Saputro belajar menjadikannya cepat memahami segala ilmu yang diterimanya dari para gurunya. Tidak berlebihan bila dalam usia yang relatif muda, ia sudah fasih membaca kitab gundul atau kitab kuning, seperti kitab-kitab tafsir, hadis, fiqh dan sebagainya.

Kepribadian dalam hal akhlak dan sikap hidup sehari-hari ia peroleh dari ayahnya sendiri, Thufail Muhammad, seorang penganut Tarekat Naqsyabandiyah, yang juga seorang pengamal zikir dan tahlil sebagaimana yang diamalkan para pengikut tarekat.

Abdullah Thufail Mulai Berkeluarga dan Berdakwah

Masih dalam usia yang relatif muda sekira 24 tahun, Abdullah Thufail menikah dengan Salmah Bibi (20 tahun). Pasangan ini hidup bersama selama 40 tahun dikaruniai sepuluh orang anak, tujuh perempuan dan tiga laki-laki.

Bersamaan dengan upayanya membina keluarga, Dia terus merintis dakwah dan bisnis batu permata. Dengan modal pengetahuan yang cukup, sejak usia muda ia aktif berdakwah di wilayah Surakarta, Karanganyar, Wonogiri, Pacitan dan daerah-daerah sekitarnya.

Abdullah Thufail dikenal sebagai mubalig yang memiliki kemampuan orasi memukau para pendengarnya dan sanggup menyampaikan materi pengajian 2-3 jam. Kepiawaiannya dalam berdakwah atau berceramah menarik minat sejumlah organisasi Islam di Surakarta untuk memberinya jadwal ceramah pengajian secara rutin. Diantaranya ia pernah aktif mengisi ceramah zuhur seminggu sekali di gedung Balai Muhammadiyah Surakarta.

Di Muhammadiyah, pernah aktif selama beberapa tahun dan menjadi mubalig yang sangat diminati oleh peserta pengajian. Namun Abdullah Thufail tidak pernah menjadi pengurus secara formal dalam jajaran kepengurusan Muhammadiyah, karena memilih independen tidak terikat oleh satu ormas apapun.

Keterlibatannya di Muhammadiyah turut membentuk corak pemahaman keagamaan yang puritan dan menjadi ruh gerakan MTA di kemudian hari. Di Ormas ini gagasan-gagasan puritan mendapat peneguhan sehingga ia pernah lebih dikenal sebagai mubalig yang militan sebelum menyatakan diri mundur dari Muhammadiyah.

Abdullah Thufail Menyebarkan Islam

Sejak muda Abdullah Thufail menekuni bisnis batu permata di tengah kesibukannya sebagai mubalig. Perjalanan dagangnya menyisir kota-kota di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Bali. Dari berbagai kota yang dikunjungi kota Bali adalah yang paling lama disinggahi dan membuka toko batu permata. Bahkan pernah berdakwah dan tinggal di Denpasar selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnisnya dan menyebarkan Islam di Bali.

Baca Juga  Peristirahatan Terakhir Sang Anak Baik, Emmeril Kahn Mumtadz

Sambil mengembangkan bisnis ia melancarkan dakwah dan aktif dalam gerakan dakwah, sehingga pernah selama dua tahun memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Bali. Di kota ini, Abdullah Thufail pernah jatuh sakit dan ditolong oleh seorang naib yang bernama Abdurrahman, yang kemudian menikahkannya dengan salah satu putrinya yang bernama Muawanah. Dari pernikahan ini, ia memperoleh tiga orang anak, dua laki dan seorang perempuan (Sidiq, Lilik, dan Saleh).

Untuk menjaga keadilan keluarga di Surakarta dan Bali, keluarga di Surakarta diboyong ke Bangil Jawa Timur selama kurang lebih tiga tahun supaya lebih dekat dan mudah dalam melakukan silaturrahmi keluarga. Dakwah di Bali berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat Hindu. Namun karena persaingan bisnis dan sejumlah penipuan yang menimpanya, bisnis di Bali pelan-pelan mengalami kemunduran.

Dalam waktu yang sama, ayahnya menegur dan mengingatkan bahwa kepergiannya ke Bali sebenarnya meninggalkan tugas dakwah di Solo yang sudah dirintisnya. Sehingga banyak jamaah yang merasa kehilangan siraman rohaninya.

Meski sebelum berangkat ke Bali sudah diamanahkan kepada seseorang, tetapi orang yang bersangkutan tidak sanggup mengemban amanah dengan baik sehingga jamaah pengajian di Solo lebih terlihat kurang terurus.

Pulang dari Bali, Kembali ke Solo

Seiring dengan kemunduran bisnis batu permata yang telah dijalani selama kurang lebih 15 tahun, Bali menjadi daerah terakhir yang dikunjungi dalam profesinya sebagai pedagang.

Kondisi ini mendorongnya untuk membulatkan tekad kembali dan menetap di Solo serta melanjutkan dakwah dan bisnisnya. Di antara usaha yang dirintisnya adalah reparasi jam dan batu permata di Pasar Klewer dan di sejumlah tempat di kota Solo.

Sepulang dari Bali, dakwah melalui pengajian terus dikembangkan dan merintis pengajian di sejumlah tempat, antara lain di Nahdhatul Muslimat Kauman dan merintis Pengajian Tauhid pada setiap Ahad pagi di Kemlayan, Serengan, Surakarta. Pengajian Tauhid menjadi cikal bakal pengajian umum MTA setiap Ahad Pagi yang berlangsung hingga sekarang.

Selain itu, juga aktif di pengajian Majelis Pengajian Islam (MPI). Ia diajak oleh Abdullah Marzuki untuk bergabung di MPI, khususnya memberi ceramah pada pengajian umum di gedung dakwah MPI. Di MPI, Abdullah Thufail bertanggung jawab untuk menangani pengajian rutin karyawan yang juga diikuti umat Islam setiap minggu sekali. Abdullah Marzuki adalah seorang pengusaha percetakan Tiga Serangkai yang sukses dan sangat besar minatnya terhadap dakwah dan pendidikan Islam.

Seringnya terjadi perbedaan pandangan dengan sejumlah ulama dan kawan sesama da’i membuat ia memilih merintis jalan baru dalam berdakwah. Ia mendirikan kelompok pengajian di Masjid Marwah di Semanggi, lambat tapi pasti pengajian ini mendapatkan banyak pengikut hingga kelak menjadi modal sosial terbentuknya MTA.

Berdagang dan Berdakwah

Berdagang dan berdakwah dilakukan oleh Abdullah Thufail secara bersamaan sepanjang perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia, yang berlangsung tahun 1958-1967.

Rihlah perdagangan ke berbagai kota dan wilayah di Indonesia turut menginspirasi untuk menegakkan Islam yang murni sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah. Aktivitas dakwahnya tidak hanya dalam bentuk pengajian dan ceramah dari masjid ke masjid, tetapi juga terlibat dalam aktivitas yang berkaitan langsung dengan perkembangan situasi politik di tanah air.

Menurut Dahlan Hardjotaruno, salah seorang sahabat dekat dan pengikut setia, karir aktivisnya menonjol ketika meletus pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, yang menyulut kalangan muda Islam Surakarta melakukan gerakan, Abdullah Thufail aktif bersama pemuda-pemuda dan organisasi di Surakarta, seperti Muhammadiyah, Pemuda Al-Irsyad, Pemuda Anshor, Pemuda Persatuan Syarikat Islam Indonesia, dan Himpunan Mahasiswa Islam.

Baca Juga  Memoar Giri Kedaton: Kerajaan Para Ulama di Pulau Jawa

Ia diserahi untuk memimpin posko-posko kewaspadaan terhadap PKI sampai pada apel siaga terhadap bahaya komunis. Perjuangannya memerangi PKI semata-mata untuk menjaga umat Islam dari paham komunis (PKI).

Pada tahun 1966, ia diangkat menjadi ketua Koordinasi Kesatuan Pemuda Indonesia Cabang Surakarta Periode 1966-1967. Pada saat munculnya Supersemar 1966, ia mengirim “buku putih” kepada Presiden Soeharto, yang isinya menolak kepemimpinan Presiden Soekarno dan menuntut dibubarkannya PKI atau Tritura, sehingga ia sangat dikenal masyarakat di Surakarta dan sekitarnya.

Aktivitas lain yang perlu mendapat penjelasan adalah keterlibatanya dalam politik praktis di Golkar. Keterlibatannya di Golkar merupakan bentuk ketidakberdayaan Abdullah Thufail Saputro dalam menghadapi tekanan kekuasaan Orde Baru yang hegemonik dan sedang memulai menata stabilitas politik dan keamanan.

Ideolog Majelis Tafsir Al-Qur’an

Majelis Tafsir Al-Qur’an, MTA berdiri pada waktu negara sedang dalam posisi yang kuat berhadapan dengan umat Islam. Tidak seperti ulama lain yang mengajak umat Islam bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP.

Justru Abdullah Thufail Saputro mengambil sikap berbeda dengan masuk ke Golkar sebagai anggota dewan penasehat di DPD Golkar Surakarta. Abdullah Thufail Saputro meyakinkan para kerabat dan mitra dakwahnya bahwa di Golkar juga masih tetap bisa berdakwah, karena warga Golkar juga umat Islam yang perlu mendapat siraman ajaran Islam.

Beberapa pokok pemikirannya yang menjiwai gerakan MTA hingga sekarang ini adalah sebagai berikut. Pertama, konsep mengenai imāmah dan jamā’ah. Baginya, suatu perkumpulan Islam atau jamaah umat Islam harus disatukan oleh baiat. Imam merupakan pemimpin yang wajib diiukuti oleh para jamaah. Anggota jamaah harus membaiatkan diri kepada sang imam, dilakukan secara sukarela atas kehendak sendiri tanpa ada tekananan dari pihak manapun.

Kedua, hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan umat Islam dari keterbelakangan, yakni kembali mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an dan sunah. Ketiga, untuk mengembangkan dakwah Islam agar Islam bertahan hidup sampai akhir zaman harus dilakukan dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan harta.

***

Abdullah Thufail pendiri MTA merupakan pedagang, pendakwah, dan aktivispergerakan. Ketiga atribut tersebut merupakan perpaduan tiga lokus latarbelakang kultural yaitu Pakistan, Pacitan, dan Pasar Kliwon.

Lokus Pakistan,sebagai putra seorang migran yang dapat bertahan hidup dengan berdagangsebagaimana yang melekat dalam diri Thufail Muhammad, yang disinyalirsebagai seorang pedagang dan penganut tarekat.

Lokus Pacitan sebagai symbolpenanaman ghirah keagamaan dengan berguru pada ulama atau kyai di PondokTremas yang kemudian berlanjut pada ulama-ulama di Surakarta. Sedangkanlokus Pasar Kliwon merupakan simbol “kawasan merah” yang menumbuhkansemangat sebagai aktivis pergerakan bersama eksponen lain di Surakarta.

Abdullah Thufail Saputro meninggal dunia pada usia 65 tahun pada tanggal 15 September 1992 di Rumah Sakit Kasih Ibu Surakarta. Beberapa hari sebelum meninggal, saat sedang di-opname, ia meminta diantar untuk mengisi pengajian Ahad Pagi di Kemlayan, padahal sebenarnya tidak diijinkan oleh dokter yang merawatnya. Malam hari masih menerima tamu sampai jam 24.00 WIB sebelum pagi hari Jum’at jam 05.00 WIB menghembuskan nafas terakhir.

Selengkapnya: Journal Walisongo
Editor: Azaki Kh & Yahya FR
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds