Inspiring

Abid Jabiri: Klepon dan Kritik Nalar Islam (Arab)

5 Mins read

Abid Jabiri adalah salah seorang filsuf yang tak hanya menjadi konsumsi anak muda di dunia Arab, tapi juga di kalangan intelektual Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Abid Jabiri dikenal dengan pemikiran yang mengawinkan tradisi Arab-Islam dengan modernitas Barat. Salah satu gagasannya adalah yang disebut dengan kritik nalar Islam (Arab).

Fenomena Klepon

Pemberitaan tentang klepon yang viral di media sosial akhir-akhir ini, menjadi perdebatan yang panjang dan menggelikan. Meskipun absurd dan cenderung satire, akan tetapi tetap saja menarik perhatian untuk dibahas lebih lanjut.

Di berbagai media online, semuanya ramai-ramai membahas hal tersebut. Ada yang melihatnya dari perspektif komunikasi media, agama, hingga menggunakan alat analisis filsafat bahasa.

Akan tetapi, yang lebih menjadi sorotan beberapa orang adalah ide kreatif dan etika pemasaran produk yang dijual oleh online shop si pembuat meme tersebutlah yang menjadi permasalahan serius.

Tidak mau ketinggalan dengan mereka, saya pun memiliki pandangan tersendiri dalam melihat fenomena “klepon yang tidak Islami” ini dalam kaca mata “kritik nalar Arab” Abid Jabiri. Di mana melalui “kritik nalar Arab” ini, Abid Jabiri ingin menjelaskan memang ada ketimpangan epistemologis antara “nalar Arab” dan “nalar Islam”.

Nalar Islam (Arab) Abid Jabiri

Dalam pandangan Abid Jabiri, tradisi Islam secara mendasar selalu terkait dengan produk pemikiran dalam peradaban Islam. Mulai ajaran doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat,  tasawuf, hingga kuliner klepon yang tengah viral di media sosial. Di mana semua hal itu berdialektika antara satu sama lainnya dalam hubungan saling mengisi, mengkritik, dan bahkan menegasikan.

Abid Jabiri menawarkan tiga metode dalam menganalisis tradisi Islam atau nalar Arab, yakni: (1) Strukturalis, yang mana kajian-kajian harus didasarkan pada teks sebagaimana adanya; (2) Analisis sejarah, dengan tujuan melihat segenap lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya; (3) Kritik ideologi, digunakan untuk mengungkap peran ideologi yang berkembang yang mempengaruhi fungsi sosial-politik yang terkandung dalam pemikiran tertentu.

Kemudian dari ketiga analisis tersebut, Abid Jabiri menghasilkan tiga pondasi epistemologi atas proyek ini. Ketiganya adalah epistemologi bayani, epistemologi irfani, dan epistemologi burhani.

Epistemologi Bayani

Epistemologi bayani adalah himpunan kaidah dan aturan untuk menafsirkan wacana atau kandungan pemikiran dalam teks (baca: nas). Dengan pola bagaimana mengorientasikan al-far’u (kasus khusus yang tidak ada dalam teks) kepada suatu teks sebagai al-ashlu (induk atau pokoknya).

Baca Juga  Inilah Epistemologi Al-Jabiri Pendobrak Kejumudan Muslim

Epistemologi bayani menjadikan teks sebagai sumber pengetahuannya dan sumber rujukannya. Cara ini dilakukan dengan melibatkan nalar logika untuk mengambil kesimpulan makna tertentu. Meski dalam operasinya posisi logika tidak diberi kebebasan penuh.

Rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan tertentu, kecuali bersandar pada teks. Tujuan utama dalam epistemologi bayani adalah pemahaman syariat, fikih, dan usul fikih. Qiyas atau silogisme merupakan metode paling populer yang digunakan dalam bidang ini.

Bahasa juga menjadi fokus utama dalam epistemologi bayani. Studi tentang tradisi Arab tidak bisa dilepaskan dari studi bahasanya sebagai rujukan sentral, yang melandasi lahirnya sistem pengetahuan atau ideologi apa pun di dalamnya. Karenanya, bahasa dinyatakan memiliki hubungan erat dengan pengetahuan. Sehingga untuk mengetahui dasar-dasar lahirnya pengetahuan apa pun dalam dunia Arab-Islam, harus memasuki wilayah bahasanya.

Dalam fenomena klepon di atas, menurut orang-orang yang memiliki epistemologi bayani ini. Klepon tidak Islami disebabkan karena ia adalah salah satu kuliner yang bukan berasal dari Arab dan tidak menggunakan bahasa Arab. 

Berbeda halnya dengan kurma dan kismis yang dalam beberapa literatur Islam sering sekali dijadikan contoh oleh Allah dan Nabi sebagai makanan yang dikonsumsi di zaman Nabi. Nalar ini digunakan oleh si pembuat meme untuk melegitimasi pengetahuannya tentang “klepon”, yang intinya tidak Arab berarti tidak islami.

Epistemologi Irfani

Epistemologi irfani adalah sistem pengetahuan yang diperoleh berdasarkan cara kasyf. Artinya, tersingkapnya rahasia-rahasia oleh Tuhan kepada seseorang personal melalui olah rohani.

Seseorang yang diyakini memiliki kesucian hati berkat olah rohaninya, bisa memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan. Kata irfan memiliki akar kata yang sama dengan ma’rifat. Yang dalam tasawuf diterjemahkan sebagai pengetahuan tertinggi yang ditanamkan oleh Tuhan dalam hati seseorang melalui cara kasyf (baca: mistik).

Operasi epistemologi irfani ini menggunakan metode qiyas dan syatahat. Qiyas irfani berbeda operasinya dengan qiyas bayani. Di mana qiyas irfani lebih sebagai upaya menyesuaikan antara pengetahuan kasyf yang telah diperoleh dengan teks. Sehingga posisi pengetahuan kasyf lebih tinggi dibanding teks, kasyf sebagai pokok sedangkan teks sebagai cabang.

Baca Juga  Ahmad Syafii Maarif dan Sejarah yang Emansipatoris

Sementara syatahat ialah pengetahuan yang diungkapkan semata-mata atas dasar kasyf tanpa mengikuti kaidah apa pun. Jika qiyas irfani masih melibatkan keselarasan dengan nas, maka syatahat sepenuhnya pengetahuan bebas atas dasar klaim pengetahuan mistik itu.

Ungkapan “Ana al-Haq” al-Hallaj dan “Maha Besar Aku” Abu Yazid al-Bushtami merupakan contoh nyata pengetahuan tersebut.  Kalangan sufi Sunni menolak model pengetahuan irfani syatahat ini. Karena menurut mereka, isyarah tetap harus diungkapkan dalam makna zahir teks nas.

Dalam kasus fenomena “klepon” yang tengah viral, orang-orang yang memiliki pengetahuan irfani ini, bisa saja mengatakan bahwa klepon jauh lebih islami dibandingkan kurma. Karena pengetahuan asal-usul tentang sejarah klepon dan kurma yang kita ketahui terbatas ruang dan waktu. Maka tidak memungkinkan bagi kita untuk mengetahui secara pasti asal-usul klepon itu diciptakan oleh siapa dan di mana.

Melihat dari segi manfaat dan rasanya yang menggoda selera, bisa saja klepon ini diciptakan oleh salah satu Nabi atau wali Allah dalam zaman tertentu, yang memang hanya Allah dan orang-orang tertentu yang memiliki akses pengetahuan tersebut saja yang mengetahuinya. Sehingga ketika ada pernyataan “klepon” ini tidak islami, orang-orang yang memiliki pengetahuan irfani melihatnya tidak demikian.

Epistemologi Burhani

Epistemologi burhani adalah sistem pengetahuan yang dibangun atas dasar kekuatan nalar dan demonstrasinya, eksperimentasinya, serta empirisasinya sekaligus. Secara istilah, burhani disebut sebagai pengetahuan yang definitif dan jelas.

Oleh karenanya, epistemologi burhani membutuhkan keterlibatan intensif nalar di satu sisi dan empiris di sisi lain. Sederhananya, epistemologi ini bercorak rasionalisme dan empirisisme sekaligus, karena memang epistemologi ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Burhani mensyaratkan sebuah pengetahuan dinyatakan benar bila memiliki sifat benar secara logika dan mencapai derajat benar secara empirik.

Peranan nalar dalam epistemologi ini untuk melihat realitas dan memproduksi pengetahuan atasnya dengan menyingkap sebab (idrak al-sabab). Tak pelak, ini menuju pada upaya menemukan hukum kausalitas di balik realitas, yakni menalar esksistensi sesuatu untuk menemukan sebab dan akibatnya.

Baca Juga  Syekh Kemas Ahmad, Ulama Besar dari Palembang

Burhani memang cenderung meletakkan nas dalam posisi ‘spirit (makna substansialnya) belaka, namun tidak berarti burhani menafikan makna teks. Posisi teks di hadapan burhani diletakkan sebagai spirit etik atau religius yang melandasi practical life yang didasarkan pada pengetahuan burhani itu. Dalam artian, pengetahuan yang telah dilahirkan melalui mekanisme nalar logis dan pembuktiannya.

Maka, tak ayal, maqashid syari’ah menjadi “ruh” dari pengetahuan burhani ini. Tetapi penting untuk segera ditegaskan, bahwa burhani sama sekali tidak berhasrat untuk mengukuhkan teks atau nas seperti pada bayani. Burhani bekerja terus-menerus melakukan analisis terhadap realitas dan melahirkan kesimpulan atau pengetahuan baru darinya secara dialektis antara nalar dan empirisisme.

Akal benar-benar memperoleh posisi tertinggi dalam epistemologi burhani. Metode praktis yang dipakai dalam penggalian ilmu burhani ini ialah silogisme (qiyas al-jami’), induksi (al-istiqra’), dan infensia (penyatuan hal-hal yang memicu munculnya sebuah realitas).

Metode tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan, universalitas-universalitas, dan aspek kesejarahan. Dalam posisi terakhir ini, maqashid al-syari’ah menjadi nilai-etiknya bagi umat Islam.

***

Dalam pandangan kalangan pemilik pengetahuan burhani ini, ketika melihat perdebatan klepon dan kurma, yang paling penting hal itu adalah subtansi nilai-nilai Islamnya. Sehingga apapun makanannya, tergantung bagaimana cara mengolah dan memperolehnya.

Bisa saja kurma dan kismis atau makanan yang berasal dari negeri Arab yang lain menjadi makanan yang tidak islami, ketika makanan tersebut diperolehnya dari hasil mencuri, merampok dan dari hasil-hasil perbuatan yang dilarang oleh agama Islam. Atau cara mengolahnya, kurma yang diperoleh dengan cara-cara yang halal bisa saja haram apabila diolah menggunakan minyak babi atau dengan alkhohol misalnya.

Sedangkan klepon, yang notabene bukan makanan dari Arab, bisa saja nilainya lebih islami karena cara memperolehnya dari cara-cara yang dianjurkan oleh agama, serta cara mengolahnya tidak menggunakan bahan-bahan yang tidak dilarang oleh agama Islam.

Sehingga, pada akhirnya, nilai klepon dan kurma itu dapat diperbandingkan atau dinilai kadar keislamannya bukan berasal tempat kelahirannya atau bahasa untuk menamainya. Tetapi dari subtansi nilai-nilai ajaran Islam dalam memperolehnya dan mengolahnya. Wallahua’lam bi Showab.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
7 posts

About author
Peneliti Studi Islam dan Penulis Essai Lepas
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds