Perkembangan teologi sebagai dasar dan fondasi beragama dari zaman ke zaman memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Pada masa awal perkembangan teologi, interpretasinya bersifat abstrak dan klasik. Berbeda dengan zaman sekarang, teologi bertransformasi ke arah sosial. Fokus kajian teologi yang semula kepada tuhan beralih kepada manusia, bahkan teologi bergerak ke arah pembebasan yang didasarkan makna tauhid sebagai kesatuan manusia dan Tuhan.
Teologi Pembebasan adalah gerakan yang didasarkan untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan, penghapusan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan serta kebebasan dalam berpikir, para teolog seperti Ali Asghar Engineer dari India, Farid Esack dari Afrika dan Ali Syariati dari Iran merupakan pelopor pergerakan pembebasan pada zaman modern, khususnya di kalangan umat Muslim yang sedang berada pada masa kemunduran, karena sifat taqlid, fanatisme terhadap agama dan kebekuan berfikir yang menyebabkan kemunduran dunia Islam.
Abu Dzar Dari Kaca Mata Ali Syariati
Jauh sebelum para pemikir di atas, terdapat sahabat Nabi yang memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan berjuang menyuarakan suara-suara kalangan bawah demi kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan. Ia digambarkan sebagai model dan simbol yang tegar menghadapi penguasa dan otoritas keagamaan untuk menyelamatkan Islam otentik kaum miskin, tertindas dan kaum yang sadar sosial.
Abu Dzar Al-Ghifari, seorang sahabat Nabi yang digambarkan sebagai Muslim yang Committed, tegar, revolusioner, yang menyampaikan persaudaraan, keadilan, persamaan dan pembebasan. Perkenalan Ali Syariati dengan Abu Dzar dimulai dari ayahnya yang sedang membaca buku tentang Abu Dzar, kemudian Ali Syariati tertarik dan membacanya. Abu Dzar memberikan inspirasi kepada Ali Syariati untuk melakukan gerakan pembelaan terhadap kaum tertindas.
Ali Syariati mengungkapkan, walaupun konsep keadilan, persamaan, kebebasan dan sosialisme dipopulerkan oleh intelek Barat, tetapi itu merupakan warisan Islam. kekaguman Ali Syariati terhadap Abu Dzar tertuang dalam buku berjudul Abu Zar-e Qifari; Khoda Parast-i Socialist (Abu Dharr: The God: Worshipping Socialist). Ali Syariati ingin menunjukkan sosok Abu Dzar sebagai seorang sosialis yang membela kaum lemah dan menunjukkan Islam yang sebenarnya.
Islam menurut Ali Syariati, dianalogikan dengan Islam Abu Dzar dan Islam Marwan bin Affan. Islam Abu Dzar yaitu Islam yang peduli terhadap rakyat; mereka yang dieksploitasi, kaum miskin dan tertindas. Sedangkan, Islam Marwan adalah Islam yang terkait dengan penguasa, istana, dan kekuasaan. Islam yang sesungguhnya menurut Ali Syariati adalah Islam yang disimbolkan Abu Dzar Al-Ghifari dengan keberaniannya dan Imam Husain dengan pengorbanannya. Keduanya menjadi simbol perjuangan melawan para penguasa zalim.
Gerakan Pembebasan Abu Dzar Al-Ghifari
Sebagai seorang sahabat Nabi yang digambarkan sebagai Muslim yang Saleh, Abu Dzar merasa gelisah dengan sikap para elit yang menumpuk harta dan mengacuhkan firman Allah Qs. at-Taubah [9]: 35. Sikap beraninya, membawa kepada kesadaran untuk bertanggung jawab untuk berjuang melawan penyimpangan dan menciptakan Islam egaliter dan persaudaraan, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw.
Berbeda dengan masa Nabi yang mengedepankan keadilan. Pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan, nepotisme, polarisasi kekayaan berkembang di kalangan Bani Umayyah sebagai kerabat Utsman. Abu Dzar sebagai sosok yang teguh dalam membela kaum tertindas, berjuang untuk mewujudkan egalitarianisme Islam yang disandarkan pada: “ini adalah (harta benda) yang kamu pendam untuk diri kamu sendiri: rasakan (harta beda) yang kamu pendam tersebut.”
Ali Syariati bahkan menguatkan ucapan Abu Dzar dengan prinsip Nabi “Kesetaraan persaudaraan dikorbankan, Abu Dzar menentang kondisi masyarakat yang cenderung menerima apa adanya yang disebarkan oleh ketakutan pada Khalifah dan meningkatkan sisi egalitarianisme dan revolusi Islam”
Abu Dzar Al-Ghifari melakukan kritik terhadap perilaku elit Arab Muslim pada masanya yang melupakan keteladanan Rasulullah dan para sahabat yang utama. Suatu hari, ketika Rasul berada pada masa akhir hayatnya, ia berpesan untuk menyedekahkan sisa hartanya yang sedikit karena ia merasa khawatir akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak tertarik dalam mengumpulkan harta untuk kepentingan pribadi.
***
Sifat Nabi tersebut diikuti oleh sahabat lainnya, seperti Abu Bakar dan Umar yang mengutamakan sifat dermawan dan menghindari sifat serakah. Abu Bakar pernah menyumbangkan hartanya demi dakwah Nabi dan kepentingan Umat Islam. Umar, meskipun menjabat sebagai khalifah, tetap sederhana dan mengenakan pakaian yang lusuh. Bahkan dalam satu kisah, ia pernah secara sembunyi-sembunyi berkeliling kota, untuk memastikan tidak ada yang kelaparan. Jika ada, ia akan membawa sendiri gandum untuk mereka.
Berbeda dengan Nabi dan para sahabatnya. Muawiyah, Gubernur Damaskus pada masa itu, memiliki kehidupan yang jauh dari kata sederhana. Ia membangun istana megah untuk menyaingi istana Romawi dan kehidupannya penuh dengan gemilang harta. Abu Dzar sebagai seorang yang peduli pada masyarakat kecil mengkritik perilaku Muawiyah yang korupsi dan hanya membuang-buang harta demi kepentingannya sendiri. Karena protes kerasnya terhadap penyelewengan kekuasaan ini, Abu Dzar diasingkan oleh Khalifah Utsman hingga akhir hayatnya.
Tindakan yang dilakukan Abu Dzar pada dasarnya mengikuti keteladanan Rasulullah dalam kesederhanaan dan kedermawanan, dan melawan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Abu Dzar, muncul sebagai penentang terhadap kepemimpinan yang dianggapnya merusak prinsip-prinsip dasar Islam dan membela kaum yang tertindas.
Editor: Soleh