Pendahuluan
Tidak banyak yang tahu bahwa sebuah cara pandang bisa menentukan segalanya. Dulu bumi dipandang berbentuk datar dan membuat orang-orang takut menjelajahinya; takut kalau tiba-tiba mereka sampai di ujung bumi dan terjatuh. Ketika orang sudah mengetahui fakta bahwa bumi itu bulat, penjelajahan justru menyenangkan, karena bumi bisa dikelilingi tanpa henti (Sinek 2019, 15).
Dulu orang mengira agama adalah sumber pengetahuan dan kebenaran tertinggi; membuat orang takut melakukan kritik atasnya. Ketika orang sudah mengetahui fakta bahwa agama itu hasil ciptaan manusia (Aslan 2015, 51), kita tak lagi ragu untuk meluruskan apa yang bengkok di dalamnya.
Akan tetapi, hikmah paling agung dalam kehidupan makhluk mulia bernama manusia adalah bahwa fakta-fakta tidak selalu bisa diterima begitu saja. Barangkali berjuta-berjuta orang masih meyakini bumi itu datar, dan bermilyar-milyar manusia masih percaya bahwa kebenaran agama yang tertulis dalam kitab sucinya lebih unggul dari pengetahuan mana pun.
Meskipun secara statistik dunia modern kita didominasi oleh sistem pendidikan, keuangan, dan politik modern; namun gerakan-gerakan signifikan untuk menciptakan sebuah dunia berbasis ideologi sebuah agama tetap tumbuh (Ansary 2015, 561-562).
Di dunia Islam hari ini, seperti Indonesia dan Malaysia, proyek bernama Islamisasi pengetahuan masih dipercaya dan diajarkan secara serius oleh para professor. Gerakan Islamisasi pengetahuan, dengan menggunakan lembaga-lembaga pendidikan terutama universitas Islam, berusaha mengubah sains modern menjadi sains Islam. Naquib Al-Attas, Ismail al-Faruqi, Ziauddin Sardar, dan Hossein Nasr adalah tokoh-tokoh pencetus Islamisasi pengetahuan (Musa 2021, 14).
Cara Pandang Islamisasi
Cara pandang yang digunakan pendukung Islamisasi dalam melihat dunia adalah binary; hitam dan putih, kawan dan lawan. Secara psikologis mereka yakin bahwa di luar sana sedang ada konspirasi global untuk menghancurkan sendi-sendi keimanan kaum Muslim. Jika Anda membaca satu saja penelitian yang berusaha mendukung Islamisasi ini (entah itu ekonomi Islam, sains Islam, kedokteran Islam), dengan mudah bisa Anda temukan keyakinan bahwa dunia modern berjalan di atas rel yang salah karena telah meninggalkan rel yang Islami.
Al-Attas dalam Islam and Secularism (1978) dan Nasr dalam Man and Nature (1968) mengalamatkan tuduhan itu kepada sekularisme dan desakralisasi yang mendasari logika sains modern. Mereka melihat prestasi-prestasi ilmiah umat manusia sejak Renaisans dan Pencerahan dengan pandangan sebelah mata. Kritik mereka atas sekularisme didasarkan pada pandangan bahwa sekularisme lahir untuk menjauhkan manusia dari Tuhan dan ajaran para Nabi.
Bagaimana jika kita tawarkan sebuah sudut pandang alternatif: Bahwa sekularisme lahir untuk menjelaskan bahwa agama-agama yang selama ini diluhurkan ternyata mengandung nilai-nilai penindasan atas akal dan kemanusiaan universal (Harari 2018, 220). Menurut Harari (2018) sekularisme bukan sebuah keyakinan anti-agama. Ia semata-mata naluri manusia untuk mengatakan kebenaran sebagai benar dari mana pun datangnya. Tentu saja, ukuran bagi kebenaran itu adalah fakta.
Sebelum lebih jauh berbicara, ada baiknya kita dengarkan saran yang bijak dari Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind (2021). Katanya, dalam soal agama dan keyakinan, jangan berharap banyak Anda akan memenangkan debat. Apa yang Haidt simpulkan dari penelitian puluhan tahunnya itu ada benarnya. Al-Attas dan Nasr akan selamanya yakin bahwa sains modern itu sekuler dan berbahaya, meskipun kita sajikan pada mereka beragam pencapaian yang diraih umat manusia sejak kita mengalami revolusi saintifik.
***
Steven Pinker dalam Enlightenment Now (2018) dan Hans Rosling dalam Factfulness (2018) menyodorkan kita data dan fakta tentang: Umat manusia yang semakin terdidik dan melek informasi ketimbang sebelumnya; kekerasan yang jauh menurun selama abad ini; dan rasisme, seksisme, diskriminasi, serta kekerasan pada perempuan yang berada di titik terendah sepanjang sejarah.
Fakta selanjutnya: Manusia memperoleh lebih banyak hak dan kebebasan; separuh planet sudah memiliki akses internet; kemiskinan ekstrim menyentuh level paling rendah di semua negara; perang hanya terjadi di skala terkecilnya sepanjang sejarah; jumlah kematian anak berkurang; angka harapan hidup memanjang; dan penyakit yang semakin mudah diobati. Apakah Anda tidak kaget dengan cepatnya penemuan vaksin corona?
Demikian itulah fakta yang ada; tapi bukan fakta yang cukup berguna untuk mengubah keyakinan pendukung Islamisasi. Al-Attas begitu gigih menyerang sekularisme karena berpendapat bahwa modernisme sekuler sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penjajahan terhadap bangsa-bangsa Muslim dan kemerosotan moral mereka (Al-Attas 2001 [1972], xvii).
Professor asal Malaysia tersebut akan terus percaya demikian, meski kita tahu kolonialisme sudah selesai puluhan tahun lalu; sementara moral kita adalah tanggung jawab kita. Anda pasti tidak asing dengan koruptor tapi saleh dan beragama, bukan?
Yang juga menarik dari sudut pandang Islamisasi adalah mereka begitu yakin bahwa dasar-dasar filosofis sains dan dunia modern itulah penyebab kerusakan alam, lingkungan, dan moral kita (Nasr 1968, 3-4).
Siapa pun bisa melihat bahwa kerusakan alam masih terjadi, dan kita menuntut pihak-pihak yang berkuasa untuk menggunakan kekuasaan mereka secara lebih bijak. Kita juga menuntut konglomerasi dan kapitalisme global untuk menekan hasrat mereka menggali keuntungan dari alam. Itu saja. Kita tak harus sampai menuduh bahwa dunia ini kacau karena sains dan sekularisme sengaja menciptakannya.
Titik Temu Islamisasi dan Islam Politik
Jika Islamisasi berniat menciptakan sains dan dunia modern yang Islami dan berdasarkan ajaran-ajaran moral Islam; maka Islam politik berusaha menegakkan supremasi syariat Islam sebagai undang-undang negara. Bisakah Anda melihat titik temu di antara keduanya?
Keduanya sama-sama yakin bahwa tanpa dibimbing oleh syariat Islam dunia akan menuju kerusakan dan kehancuran. Keduanya juga yakin bahwa hanya Islam yang bisa menyelamatkan dunia. Keduanya akan berkata kepada Anda: “Kami ini Muslim, wajar kalau kami yakin bahwa Islam adalah jalan yang terbaik.” Saya juga Muslim, tapi saya tidak yakin demikian.
Kurang dari satu dekade ini, kita di Indonesia menyaksikan dengan jelas rebut-rebutan kursi kepala pemerintahan yang disokong dengan gigih oleh banyak gerakan Islam politik. Gerakan ini bisa saja sudah menjadi sebuah partai politik, atau masih sekadar organisasi kemasyarakatan.
Dalam sudut pandang politik sektarian, dunia terbelah antara kawan dan lawan; sekutu dan penyamun. Kita bisa curiga bahwa dalam Islamisasi – yang juga membagi dunia menjadi dua – telah hidup dengan subur pola pikir sektarian ini. Tapi, kita bisa yakin bahwa Islam politik memang secara sadar berpandangan demikian.
Salah satu tokoh panutan dalam Islam politik adalah Sayyid Qutb. Qutb percaya bahwa dunia tidak seharusnya dibiarkan berada di bawah kendali manusia-manusia modern yang sudah ter-westernisasi (Shepard 1996, xx). Di ruangan sebelah, Al-Attas dan Nasr percaya bahwa dunia ter-westernisasi dengan sistematis disebabkan oleh gencarnya pendidikan sains sekuler dan “membebeknya” umat Islam pada mereka.
***
Qutb, Al-Attas, dan Nasr sama-sama menyasar satu musuh yang sama: Barat yang sekuler. Ketiga-tiganya menghabiskan masa muda berapi-api di dunia pasca-kolonialisme; sehingga perasaan benci pada Barat itu masih tertanam kuat.
Berkenaan dengan sikap pasca-kolonialisme, Indonesia punya pengalaman yang cukup berharga. Bisa dibilang bangsa ini pantas menjadi yang paling marah atas Barat disebabkan perbudakan ratusan tahun oleh penjajah Belanda.
Namun, ketika kemerdekaan itu sudah kita raih, bapak dan ibu pendiri bangsa ini tidak membuang warisan intelektual modern dan mengatakan: “Ayo kembali pada ajaran Islam, syariat Tuhan yang paling benar!” Mereka justru sepakat untuk menyusun struktur negara ini di atas nilai-nilai modern: pluralisme, kemanusiaan, dan kebebasan. Singkat cerita: Mereka yakin pada kebenaran modernisme dan mengadopsi nilai dan pemikirannya untuk membangun Indonesia.
Hari ini, dalam kondisi didominasi pemeluk agama Islam, Indonesia bukanlah sebuah negara yang dikuasai oleh partai politik Islam; atau menjalankan negara berdasarkan undang-undang Islam seperti Saudi, Iran, dan Pakistan.
Jika diukur dengan standar Islamisasi dan Islam politik, jelas Indonesia adalah negara yang sama sekali tidak Islami; karena justru hidup dengan nilai-nilai modernisme. Untungnya Qutb, Al-Attas, dan Nasr bukanlah utusan Tuhan dan nabi yang harus dipercaya begitu saja. Para ibu dan bapak pendiri bangsa ini tidak pernah mengajarkan kepada kita bahwa Islam bertentangan dengan akal, sains, dan modernitas.
Penutup
Sebaiknya kita mulai membiasakan diri untuk bisa membaca dasar-dasar pemikiran yang sama dari banyak tokoh, meskipun mereka ini berasal dari negara, mazhab, dan gerbong yang berbeda-beda. Qutb bisa saja ada di gerbong Islam politik, dan Al-Attas serta Nasr di gerbong Islamisasi. Namun, gerbong-gerbong itu ditarik oleh satu lokomotif yang sama: Pemikiran konservatif.
Dalam sebuah penelitian oleh Faizal Musa (2021) mengenai dampak ajaran Islamisasi pengetahuan terhadap kehidupan beragama di Indonesia dan Malaysia, ia melihat peran Islamisasi terhadap penguatan konservatisme beragama masyarakat.
Wacana seputar kejayaan Islam, kemenangan Islam, dan kekuasaan Islam menjadi semakin ramai dengan sokongan intelektualisme dalam ajaran Islamisasi. Dalam soal meng-konservatif-kan pemikiran masyarakat Muslim, Islamisasi berjalan beriringan dengan Islam politik dan bahkan Wahhabisme (Musa, 2021).
Jadi, apakah ada masa depan dalam Islamisasi dan Islam politik? Tentu saja siapa pun berhak memiliki masa depannya. Menguatnya populisme Islam dan konservatisme dalam sepuluh tahun belakangan barangkali bisa dibaca sebagai permulaan bagi kemenangan mereka.
Akan tetapi, itu semua terjadi hanya apabila masyarakat Muslim terus mempercayai mereka. Seandainya kita mau lebih melek pada fakta dan lebih woles dalam beragama, barangkali ada harapan untuk mulai melihat dunia sebagai milik bersama dan mengakui agama-agama lain sebagai saudara dalam kemanusiaan. Semuanya bergantung pada cara kita memandang dunia.
Referensi
Al-Attas, Syed Naquib. 2001 [1972]. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Attas, Syed Naquib. 1978. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM Publishing.
Ansary, Tamim. 2015 [2009]. Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta: Penerbit Zaman.
Aslan, Reza. 2015. God: A Human History. London: Bantam Press.
Haidt, Jonathan. 2021 [2012]. The Righteous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah karena Politik dan Agama. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad 21. Manado: Globalindo Publisher.
Musa, Mohd Faizal. 2021. Naquib Al-Attas’ Islamization of Knowledge: Its Impact on Malay Religious Life, Literature, Language, and Culture. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Nasr, Seyyed Hossein. 1968. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Mandala Unwin Paperbacks.
Pinker, Steven. 2018. Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress. New York: Viking.
Rosling, Hans. 2018. Factfulness: Ten Reasons We’re Wrong About the World and Why Things Are Better Than You Think. New York: Flatiron Books.
Shepard, William. 1996. Sayyid Qutb and Islamic Activism: A Translation and Critical Analysis of Social Justice in Islam. Leiden: E.J. Brill.
Sinek, Simon. 2019 [2009]. Start with Why: Cara Pemimpin Besar Menginspirasi Orang untuk Bertindak. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Editor: Yahya FR