Perspektif

Sejak Kapan Umat Beragama Mensakralkan “Suara”?

5 Mins read

Suara bagi pemeluk agama-agama adalah fenomena yang tidak biasa. Ada kesucian, ada kesakralan, bahkan ada kebenaran dalam suara. Sewaktu kesadaran metafisik dan religius mulai muncul di kepala kita, waktu itu pula kita memberi sakralitas pada suara.

Di banyak agama di dunia, inspirasi langit atau wahyu Tuhan selalu mengambil bentuk suara yang turun dari atas sana, dari singgasana Sang Pencipta, yang kemudian menancap di dada sang nabi, dan didengar dengan penuh cinta oleh kaum yang percaya.

Ribuan tahun silam, kala industri belum menciptakan mekanisme kabel-kabel listrik, kaum beriman menggunakan beragam cara untuk mentransmisikan suara wahyu dan panggilan Tuhan.

Kitab-kitab suci dibaca – dalam nyanyian-nyanyian yang indah. Panggilan ibadah dikumandangkan lewat beragam jenis suara; suara manusia, suara gendang, suara bedug, suara terompet, atau suara lonceng.

Kini, menggunakan teknologi modern hasil industri sekuler, nyanyian kitab suci dan panggilan beribadah terus berlanjut, bahkan jauh lebih dahsyat. Hasrat religius manusia tersalurkan dan mengalami improvisasi berkat munculnya mesin-mesin suara yang baru.

Pemandangan ini adalah bukti sementara yang menunjukkan bahwa masyarakat manusia, meski terus dimodernisasi, tidak mengalami sekularisasi – bila sekularisasi itu kita artikan dengan menjauhnya orang-orang dari agama.

Yang terjadi justru komodifikasi agama dan dunia modern, agama dan pasar, atau agama dan industri. Industri musik punya genre musik religi, industri pasar selalu punya jutaan konsumen pencinta produk-produk religi.

Suara sakral itu, dengan demikian, selalu punya tempat di hati manusia-manusia modern. Termasuk kita yang hidup di Indonesia. Rasa hormat kita pada agama diperkuat dan dipertajam oleh ketundukan kita pada beberapa model suara sakral, seperti azan dan pengajian.

Karena ayat-ayat suci itu sakral, karena beribadah itu wajib, maka pembacaan ayat suci harus dilantunkan ke segala penjuru, dan panggilan shalat harus disuarakan sekeras-kerasnya. Semakin keras semakin bagus, karena makin banyak Muslim pemalas yang akan mendengar suara sakral itu.

Tentu saja, itu benar. Siapa yang tak tertarik dan terharu mendengar dari toa-toa masjid suara seorang pembaca Al-Quran profesional membaca ayat suci dengan maqam Nahawand, melantun-lantun sendu, mengajak kita mengingat akan Tuhan, mengingat kematian, atau mengingat jasa-jasa orangtua.

Begitu pula azan – memang harus kita dengarkan, karena begitulah cara Tuhan memanggil kita untuk berkunjung ke masjid, ke rumah-Nya.


Benturan Peradaban

Tapi bagaimana jika saya tidak percaya dengan Tuhannya orang-orang Islam? Bagaimana jika saya lebih terharu mendengar lantunan biola Vivaldi alih-alih pembacaan ayat suci?

Baca Juga  Penjual Menentukan Harga Barang itu Tidak Syariah?

Benturan peradaban pun terjadi. Benturan peradaban ini bukan semata-mata fenomena politik global. Ia adalah fenomena alamiah masyarakat manusia sepanjang sejarah – sebesar apa pun masyarakatnya, atau sekecil apa pun ia.

Suara sakral bagi Muslim, sama sekali tidak sakral bagi Kristen dan Yahudi. Apa yang menjadi wahyu bagi kita, mungkin hanya dianggap akal-akalan aliran sesat oleh agama mereka. Siapa yang mereka sembah sebagai Tuhan, seringkali kita ejek bahkan identikkan dengan setan.

Karena terbiasa menjadi golongan mayoritas, Muslim di Indonesia akan terheran-heran tatkala ada seseorang mengajukan protes karena merasa terganggu oleh bisingnya suara azan, atau bisingnya lantunan kaset Al-Quran.

“Loh, ini kan firman Tuhan, kok kalian merasa terganggu sih?” Begitu kita sering bersikap. Kita lupa, atau tidak mau peduli, bahwa firman Tuhan bagi kita sama sekali bukan firman siapa-siapa bagi mereka.

Akan tetapi, protes serupa tidak mesti datang hanya dari yang bukan Muslim. Sesama Muslim pun bisa merasa terganggu oleh suara bising azan atau pengajian.

Tentu saja, bukankah volume suara azan yang terlalu lantang bisa mengganggu seorang bayi yang mungil, atau menyiksa seorang lansia yang lemah, yang selalu membutuhkan ketenangan? Tak bisakah kita lantunkan azan dengan volume secukupnya saja?
Lagi pula, bukankah tanpa harus diingatkan oleh masjid, kita selalu bisa tahu waktu shalat hanya dengan melihat jadwal shalat di iphone kita?

Oh ya, dan satu hal lagi. Bisa tidak sih muazin yang ditugaskan itu di-training dulu, atau sewalah seorang muazin profesional – yang suaranya indah, yang kalau didengar oleh telinga bikin kita menangis, bukan bikin kita meringis.

Barangkali belum banyak yang tahu bahwa di masa-masa kejayaan Islam dahulu, baik di Timur Tengah maupun di Nusantara, tata masyarakat dibentuk sesuai dengan worldview teosentris.

Tuhan – dengan segala pihak yang mewakilinya: nabi, kitab suci, ulama, pendeta, sultan – berada di pusat hierarki, menjadi pengatur sebenarnya dari kehidupan masyarakat.

Karena harus ada unsur-unsur teologisnya, supaya sesuai dengan worldview Islam, maka seorang penguasa kerajaan – meski ia ini zalimnya minta ampun – tetap harus dianggap khalifah yang sempurna, bayangan Tuhan di muka Bumi, dan pelindung syariah yang suci.

Tata masyarakat ini menular sampai ke tata kota. Atau tata desa. Pusat dari sebuah lingkungan pemukiman – dan pusat dari sebuah peradaban – adalah rumah Tuhan, sebuah masjid besar. Istana sultan akan berada tidak jauh dari situ. Itulah yang terjadi sejak dari Istanbul hingga Sumatera, Jawa, dan Maluku.

Baca Juga  Saat Jamaah Haji Tiba di Tanah Air, Mintalah Doa Ini!

Tata kota yang sangat teosentris ini berhasil membuat masyarakat mengira bahwa Tuhan beserta hukum-hukum-Nya adalah pusat kehidupan kita, yang kalau kita tidak patuhi akan membuat kita dilaknat. Dan semua orang takut dilaknat.
Pola pikir teosentris ini akan terus mengalir ke generasi berikutnya selama masih ada yang mengajarkannya.

Di Indonesia dan di seluruh dunia masih ada yang mengajarkannya. Begitulah, dan kini kita selalu punya masjid di sentral kota-kota kita, perumahan-perumahan kita, desa-desa kita, di gedung perkantoran kita, dan bahkan di pusat perbelanjaan.

Masjid inilah jantung dan paru-paru dunia Islam. Dari masjid mengalir darah dan nafas kehidupan perasaan sakralitas yang dihormati oleh umat Islam. Dan tak ada masjid tanpa suara, karena tak ada masjid tanpa azan, tanpa lantunan ayat suci, tanpa suara-suara sakral.


Lalu, Apa yang Kebangetan dari Ini Semua?

Tidak ada, begitulah tampaknya. Tidak ada yang berlebihan dari keinginan umat Islam dunia untuk terus merawat worldview dan tata kelola kehidupan mereka yang teosentris.

Jika Anda berada di rumah Anda sendiri, Andalah pemilik dan pengaturnya. Anda bebas mengatur-ngatur kondisi dan seisi rumah sesuai dengan keimanan, keyakinan, dan worldview yang Anda sukai.

Sayangnya, yang kita warisi adalah agama-agama yang muncul dan berkembang di zaman pertengahan – sebuah zaman teologi, zaman di mana pusat-pusat peradaban dunia di Asia dan Eropa diselimuti oleh worldview teosentris.

Mereka yang hidup saat itu, yang agamanya saat ini kita peluk, meyakini bahwa seluruh sisi dunia adalah milik Tuhan – dan Tuhan ini haruslah Tuhan milik agama saya, bukan Tuhannya agama Anda.

Dengan demikian mereka pun begitu berhasrat mengatur setiap sisi dunia yang bisa mereka jamah supaya tunduk di bawah hukum Tuhan – lebih tepatnya hukum agama mereka.

Dan hasrat yang sama kini kita warisi. Di mana pun kita berada, kita merasa punya tugas dari Tuhan untuk menyebarkan syiar agama, menyuarakan panggilan Tuhan, dan mengatur kehidupan agar sesuai hukum Tuhan – lebih tepatnya hukum agama kita.

Sayangnya, tidak semua manusia di muka Bumi ini percaya pada agama kita, atau percaya pada Tuhan yang kita sembah.
Sehingga, sewaktu kita ingin mengatur masyarakat agar berjalan sesuai hukum-hukum Islam, kita akan berbenturan dengan mereka yang tidak percaya pada hukum-hukum itu.

Baca Juga  Antara 11 dan 23 Rakaat Tarawih, Manakah yang Sesuai Contoh Nabi?

Kita mengira semua orang harus mendengarkan suara pengajian dari masjid kita. Kita mengira bahwa hanya orang munafik dan kafir yang tidak menyukai suara azan. Kita mengira dunia adalah milik kita yang bisa diatur sekehendak iman kita.
Kita lalu menyimpulkan bahwa hanya jika semua orang menjadi Muslim dan mau mendengar pengajian dan azan barulah tatanan sempurna milik Tuhan bisa diwujudkan.

***

Inilah teosentrisme itu, sebuah warisan pemikiran zaman pertengahan – sewaktu dunia ini belum mengalami pencerahan.
Tatkala sudah diisi oleh filsuf-filsuf pencerahan, barulah dunia mulai sadar bahwa bukan hukum Tuhan, melainkan hukum alam yang mengatur kehidupan; dan bukan tangan besi agamawan yang berhak menentukan baik-tidaknya masyarakat, melainkan akal dan ilmu pengetahuan.


Ada saat-saat di mana Islam toa semakin kebangetan. Biasanya terjadi sewaktu memasuki bulan-bulan ekstra suci, seperti Ramadan ini.

Ghirah Islamiyyah kita memuncak – semangat mengaji kita bertambah, begitu pula bertambah semangat untuk membuat orang lain mendengar suara ngaji kita lewat toa-toa masjid.

Tak kenal gelap dan tak kenal terang, kita gunakan pengeras suara luar untuk, bukan hanya azan, melainkan juga tadarusan, atau shalawatan.

Tak kenal gelap, meski sudah larut malam, atau meski subuh masih sangat jauh, kita tetap memakai toa untuk membuat orang tidak bisa tidur lelap atau tidak bisa bekerja tenang di rumahnya.

Barangkali benar yang dikatakan Steven Pinker bahwa kerja-kerja pencerahan masih harus dilakukan dan dilanjutkan.
Modernisasi memang sudah dan masih terus berjalan, buktinya revolusi teknologi terus berlipat-lipat secara eksponensial. Namun tidak otomatis itu semua membuat masyarakat menjadi semakin rasional.

Di dunia yang semakin mengglobal, masih saja ada sebagian besar dari kita yang menginginkan supremasi satu agama – yaitu agamanya sendiri – dan terus berjuang untuk itu.

Dunia yang faktanya plural, ingin dipaksakan mendengar nyanyian-nyanyian sakral – meski sakralitas itu sendiri tidak nyata dan tidak universal.

Soal sakralitas suara yang Anda anggap sakral, itu tidaklah universal; keinginan merasa nyaman, itulah yang universal.
Tidak semua orang merasa nyaman mendengar suara-suara berisik dari toa tersebut. Namun semua orang butuh dan menginginkan suasana nyaman di rumahnya tanpa diganggu polusi-polusi suara tersebut.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *