Buku Ferry Hidayat yang berjudul Antropologi Sakral: Revitalisasi Tradisi Metafisik Masyarakat Indigenous Indonesia, sangatlah menarik untuk dipahami tentang adat dan di mana posisinya dari dulu hingga dewasa ini. Adat merupakan hal yang sudah melekat pada setiap lapisan masyarakat lokal Indonesia. Setiap daerah memiliki tata cara dan hukum adat masing-asing. Namun seiring berjalannya waktu, hukum adat mulai terkikis dengan hadirnya peradaban baru yang secara tidak langsung menghilangkan sisi adat yang penuh dengan kesakralan.
Wacana Adat
Adat dari suatu masyarakat lokal tidak lepas dari kepercayaan yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi. Sejak hadirnya peradaban modern, adat dicaci maki dengan alasan terbelakang, kuno, lawas, dan lagi jauh dari kata kemajuan. Faktor yang menjadi penyebab terkikisnya adat baik dari segi spiritualitasnya maupun dari eksistensinya, yaitu dari faktor internal yang berasal dari anak sendiri, yaitu penduduk lokal sendiri.
Ketika masa kolonial masuk ke wilayah Indonesia dengan mendirikan sekolah-sekolah yang berbasis dan ber-ala Eropa, di situ mereka mendoktrin murid-murid yang berasal dari penduduk lokal Minang kala itu. Dengan mengatakan bahwa adat itu kuno, terbelakang, dibanding dengan Eropa yang kala itu mengalami era modern yang jauh berbeda.
Beberapa pendefinisian tentang adat, ada beberapa tanggapan dari sejumlah antropolog. Pada mulanya, adat dimaknai sebagai kebiasaan asli lokal masyarakat Indonesia. Namun, pemaknaan tersebut mengalami perluasan yang dipaparkan oleh Kontjoroningrat menjadi kebudayaan, yaitu manifestasi dari kebudayaan.
Adat juga dikatakan kebiasaan yang dilakukan masyarakat lokal asli yang dilakukan sebelum datangnya era modern menurut Sutan Takdir. Adat yang sudah melekat di Indonesia sebagai identitas tiap daerah, mendapat cibiran dan makian oleh era modern, yang kala itu menganggap dirinya yang paling benar.
Adat sebagai Identitas dan Perbedaan dengan Hukum Islam
Dahulu terjadi pada suku Minang yang kala itu mempunyai hukum adat sendiri, mengalami masa Islamisasi yang terbilang kasar. Kelompok Islam yang berasal dari Timur Tengah, dengan doktrin Wahhabiyah yang waktu itu cara dakwahnya keras. Semula kelompok tersebut menikahi penduduk lokal dalam menyebarkan agamanya. Seiring berjalannya waktu, mereka menyebarkan doktrin Islam secara lambat laun. Setelah jumlah jemaah meningkat, mereka ingin mengislamkan kawasan tersebut secara total, seperti halnya negara Arab.
Akan tetapi, adat yang melekat dan menjadi identitas masyarakat Indonesia sulit untuk dihilangkan. Dengan begitu, kaum Wahhabi mengalami kesulitan dalam Islamisasi secara total di kawasan tersebut yang akhirnya mengumpulkan raja dan menteri-menteri adat. Ketika itu, siapa pun yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan kelompok ekstrem Wahhabi maka akan dibunuh. Namun, kepala adat atau penghulu di sana masih menjadi panutan dan disegani.
Pengistilahan adat sendiri, oleh orientalis Belanda Cornellis van Vollenhoven, dalam karyanya ia menyebutkan spesifikasi dan pembeda antara hukum adat dengan hukum Islam. Ia menyebutkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan berasal dari penduduk lokal yang sudah biasa dilakukan, merupakan kategori hukum adat. Itulah yang membedakan antara hukum adat dengan hukum Islam.
Dari pernyataan yang diungkapkan oleh orientalis yang membedakan adat dengan hukum Islam adalah menjadi penyebab para penganut Wahhabiyah begitu membenci adat. Namun, ungkapan dari mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa adat merupakan salah satu dari pertimbangan hukum Islam (al-‘adat muhakkamah).
Atas kebenciannya terhadap adat dari Wahhabiyah, justru oleh kaum Syafi’iyah salaf yang membela adat, berpegang teguh terhadapnya serta sebagai prinsip hukum Islam. Maka tidak heran jika Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) memegang teguh dan membela adat/kebiasaan masyarakat pribumi/asli/lokal Indonesia, karena ia beranggapan bagian dari hukum Islam.
Adat dan Modernitas
Dahulu, adat sangatlah memiliki tingkat kesakralan dan spiritualitas yang tinggi. Namun semenjak berjalannya waktu dengan hadirnya modernisasi dan juga masa post-modern, tradisi, adat ataupun budaya asli lokal masyarakat Indonesia perlahan terkikis dan sedikit demi sedikit kehilangan nilai kesakralannya. Hal tersebut yang menjadi penyebabnya yaitu dari masyarakat lokal sendiri, yang mulai tidak tertarik lagi terhadap adat dan lebih memilih larut terhadap era modern.
Adat dahulu merupakan memiliki filosofi tersendiri dari setiap apa yang dilakukan. Terutama filosofi tentang kehidupan tidak dapat dilepaskan dari adat yang berbicara tentang hal itu. Namun semenjak modernitas datang, adat tenggelam dan bungkam atau dibungkamkan oleh kehadiran modernisme. Pada era sekarang, modernisme dan post-modern yang menjadi penguasa, dan justru adat yang menjadi budaknya.
Namun semenjak modern mengalami keruntuhan nasional pada tahun 1998, masyarakat adat mulai memberanikan diri untuk merdeka dari celaan modernitas dan justru berbalik untuk menyerang modernitas dengan tidak menggunakan cara pandang atau logika lama. Masyarakat adat menggunakan logika baru dalam mencibir balik modernitas. Para kaum adat menggunakan logika yang lebih cerdas dari modernitas yang sebelumnya belum pernah dijamah oleh modernitas, yaitu berbicara tentang fisikal dan metafisikal yang berasal dari satu hal yang sama.
Seiring berjalannya waktu, adat/tradisi asli Indonesia mengalami pembelaan. Pembelaan tersebut dilakukan oleh perenialisme, sehingga adat tidak perlu canggung lagi terhadap word theology and word religions. Sebab, yang disebutkan dahulu dengan yang sekarang, posisinya sejajar atau sama.
Editor: Zahra