Saya masih tetap terus sering bertemu sebagaimana Agus juga tetap terus bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Suatu ketika, Agus datang ke rumah saya di Pejaten ketika saya sedang berolah raga treadmill di gazebo lantai atas di depan ruang perpustakaan. Seperti biasanya, dia menyusul saya ke lantai atas. Tapi kali itu saya agak terkejut: Agus terlihat sedikit sesak napas alias menggeh-menggeh hanya karena menaiki tangga yang tidak seberapa tinggi itu.
Sakit Jantung
Saya terkejut oleh karena Agus itu hidupnya sangat sehat: rajin olah raga, bahkan jogging di bawah sinar matahari (agar kulitnya hangus, katanya), tidak minum, tidak pernah, dan pengetahuan umumnya tentang kesehatan luar biasa detil. Dia praktikkan betul pengetahuan kesehatan yang elementer, seperti banyak minum air putih, berapa kali orang mesti mengunyah makanan seperti yang diajarkan Rasulullah SAW, menghindari makanan cepat saji, seminggu hanya boleh makan mie instan maksimal sekali, dan lain-lain resep kesehatan praktis sejenis itu, demi untuk tetap fit dan segar bugar dan pencegahan penyakit.
Sambil ngobrol ngalor ngidul saya meneruskan treadmill. Setelah merasa basah kuyup mandi keringat, saya berhenti, dan Agus iseng-iseng gantian mencobanya. Belum ada dua setengah menit berjalan sedikit cepat di atas treadmill, nafas Agus sudah tersengal-sengal. Dia berhenti dan tidak kuat melanjutkannya lagi. Saya menanyakan apa yang dirasakannya. “Anda harus check up, Gus!”, kata saya. “Iya, kapan-kapan saya mau periksa”, jawab dia. Lalu, kami turun dan makan nasi pecal buatan Mbak Mar, yang sudah ikut keluarga saya lebih dari 25 tahun sehingga dia sudah hapal betul dengan kesukaan Agus.
Setelah itu, kontak-kontak kami melalui telpon atau WhatsApp didominasi oleh soal sakit jantungnya yang menurut diagnose dokter sudah harus di-by pass. Bahkan, pernah sudah dijadwalkan kapan tindakan operasi akan dilakukan. Tetapi karena beberapa alasan teknis dan medis ditunda.
Agus selalu menceritakan bahwa Bang Hariman Siregar yang nota bene seorang dokter selalu mengikuti perkembangannya. Juga banyak teman-teman yang lain. Banyak benar orang yang menyayangi Agus. Untuk sementara dia dipasang beberapa ring di pembuluh jantungnya. Meski demikian, Agus tetap saja ringan kaki: ketika saya menikahkan putri saya pada 1 Desember 2019, dia tetap menjadi panitia walimatu ‘l-ursy. Saya terkekeh menyaksikan Agus mengenakan pakaian tradisional Jawa lengkap dengan keris dan blangkon, juga kaca mata John Lenon-nya!
Pertemuan Terakhir
Demikianlah pertemuan langsung saya dengan Agus berakhir ketika saya mesti berangkat ke Beirut. Dia agak terkejut ketika tahu saya mau menjadi Duta Besar di Lebanon: intinya merasa lucu saja dengan keputusan saya itu. Saya menjelaskan ke Agus tentang Negeri Syam (Arab Levant) yang meliputi Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon.
“Gus, saya ingin tinggal di negeri Syam, sebuah kawasan yang sangat unik dalam Sejarah Islam. Tokoh-tokoh pembaharu seperti Abduh dan Rasyid Ridha konon pernah tinggal di sana. Di sana juga pusatnya pemikir-pemikir kebangkitan nasionalisme Arab. Ibnu Arabi, mistikus Islam ternama, itu malah pernah mengatakan, “Bagi kalian yang memiliki waktu dan kesempatan, tinggallah beberapa tahun di negeri Syam. Di sana ada rahasia-rahasia Tuhan dan barakah-Nya,” demikian kata saya agak kesufi-sufian yang membuat dia nyengir dan kemudian terkekeh. Saya sudah hapal apa arti senyuman, kenyengiran, dan keterkekeh-an dia itu. Keterkekeh-an orang pintar!
Saya memang merasa Agus itu orang pintar: dia sepertinya tahu, setidaknya merasa, ketika hendak meninggalkan dunia yang fana ini. Takdir Allah, kebetulan saja sore itu saya tiba-tiba berada di Jakarta, padahal sehari sebelumnya masih di Beirut, ketika Agus dirawat secara intensif di RS Harapan Kita. Mbak Sukesi, isteri Agus sekarang, memberitahu saya kalau Agus sedang ditidurkan dan mohon doanya.
Meninggal Dunia
Malam itu juga saya berjanji dengan Mas Din Syamsuddin akan menjenguknya ke RS Harapan Kita. Di tengah jalan menuju RS Harapan Kita, Mbak Kesi mengabarkan Agus baru beberapa menit yang lalu berpulang: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Agusmeninggalkan seorang isteri dan empat orang anak: si kembar Latonia Lantang Santoso dan Luna Lukita Santoso, Muhammad Castro Santoso, dan Aisyah Charlotte Santoso.
Benar, saya rasa Agus itu orang pintar. Beberapa orang “dekat”-nya yang menemui saya di rumahnya di Tji Liwoeng Coffe, Jalan Pucung Raya, Balekambang, Condet, di malam meninggalnya Agus itu, menyampaikan beberapa pesan dan wasiatnya yang disampaikan Agus sekitar tiga minggu sebelum meninggalnya. Pesan Agus seperti layaknya orang yang sudah tahu akan pergi jauh: berpamitan dan minta maaf atas segala kesalahannya selama ini. Kepada isterinya, Agus berwasiat minta disegerakan dimakamkan, minta dimakamkan di tanahnya sendiri, dan…jangan kaget…tidak boleh diadakan selamatan tahlilan di rumah: wow…Islam sekali, bahkan Muhammadiyah banget, pesan dan wasiatmu, Gus! Ada-ada saja surprise dari kamu itu!
Agus… Agus… kamu memang orang baik, bahkan baik sekali! Insya Allah kamu khusnul khatimah. Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha dan diridhai. Selamat jalan ya, Gus… (Habis)
Editor: Arif