Fatwa tidak menjadi persoalan inti dari tulisan ini. Tapi fokus pada implikasi fenomenologis prilaku keberagamaan umat pasca fatwa.
Pernah disebut fatwa ‘Khalqul Qur’an’. Al-Mu’tashim di bawah pengaruh paham ulama Mutazilah, memaksa para ulama ahlu sunah dan seluruh pengikutnya untuk mengikuti fatwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Imam Ahmad bin Hanbal menolak, dan istiqamah dengan pendapat “Al-Qur’an adalah kalam Allah”. Ia pun dicambuk puluhan kali dan dimasukkan bui karena melawan otoritas keagamaan yang dikuasai ulama-ulama Mutazilah.
Kemudian, siapa yang berhak atas tafsir, lantas menjadi semacam pemegang otoritas keagamaan yang overmacht, yang memiliki daya paksa manentukan halal haram atas sesuatu.
Fatwa haram atas rokok memiliki konsekwensi logis atas akibat hukum. Bagi warga Persyarikatan, merokok menjadi dosa. Sedangkan bagi warga Nahdhiyin, merokok tidaklah mengapa.
Ini menjadi problem kultural yang berdampak teologis. KartaNU dan Nomor Baku Muhammadiyah (NBM), menjadi bahan bukti baru bagi para malaikat pencatat amal, untuk menentukan nasib bagi si perokok. Apakah bakal mendapat dosa karena mengikuti fatwa haram, atau dibiarkan tanpa catatan karena mengikut fatwa makruh.
Memang sangat menarik. Pada sisi lain, akan terjadi perubahan perilaku keberagamaan warga Muhammadiyah karena mengalami banyak revisi dan perubahan signifikan. Fatwa haram atas rokok misalnya berpengaruh kuat terhadap perlakuan internal dan eksternal. Atau lebih spesifik bagaimana (memperlakukan) dan memetakan keberadaan para perokok di persyarikatan.
Belum ‘ngeh’ dengan fatwa haram atas rokok, umat dihadapkan lagi pada sebuah realitas bahwa waktu salat subuh yang sudah dilakukan selama hampir 14 abad itu ternyata ‘kepagian’. Ada indikasi benang merah atas benang putih belum terlihat pasti, jadi waktu salat subuh perlu diubah dan direvisi. Kita juga berselisih apakah 18 derajat atau 15 derajat sebagai patokan menentukan awal waktu salat subuh. Sementara, kalender global belum bisa menjadi jaminan bakal bisa menyatukan.
Jika benar waktu salat subuh ini direvisi, maka kian menarik. Sebab akan berimplikasi luas, karena daya resonansinya yang cukup signifikan terhadap kesatuan umat. Beberapa pertanyaan pun mengemuka? Bagaimana ‘nasib’ salat subuh yang dilakukan sebelum masuk waktu. Apakah sah atau tidak sebagaimana salat subuh yang telah dilakukan ratusan tahun sebelumnya ? Bagaimana dengan umat Islam yang lain yang tetap bersikukuh dengan kebiasaan semula? mungkin akan ada dua waktu salat subuh atau kompromi.
Yang pasti, etno-religion makin mengeras karena perbedaan makin tajam, ini dampak sosialnya. Perbedaan salat subuh yang semula hanya pada ada dan tidak adanya bacaan qunut, kini ditambah dengan perbedaan waktu azan sebagai tanda masuk waktu. Belum ada hitung pasti seberapa menit perbedaan itu ? Tapi urgenkah mengusik kebiasaan dan ketetapan yang sudah berlangsung puluhan abad untuk ditetapkan menjadi sebuah fatwa ?
Tapi siapa saya ? Saya bukan Imam Ahmad bin Hanbal, hanya saya tidak merokok sejak lahir jadi tak masalah ketika rokok difatwakan haram. Pun andai waktu salat shubuh jadi di mundurkan, juga tak masalah. Sejak semula, di masjidku azan juga sudah selalu telat sejak pertama didirikan. Tapi cukupkah jawaban macam begini untuk sebuah urusan yang berdampak teologis?