Malam 31 Maret, 47 tahun silam (1973), sosok intelektual muda telah menghembuskan nafas terakhirnya. Seorang wartawan (status magang) di majalah Tempo terlibat insiden tabrak lari di kawasan Senen, Jakarta. Dialah Ahmad Wahib, sosok intelektual muda yang oleh Djohan Effendi disebut sebagai “aktor intelektual” di belakang layar. Tidak banyak orang yang mengetahui sosok intelektual yang satu ini sebelum penerbitan buku catatan hariannya yang monumental: Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES, 1981).
Menurut M. Dawam Rahardjo, sosok Wahib tidak dikenal oleh kalangan publik sebagai cendekiawan pembaru sebelum terbit catatan hariannya (Mu’arif, 2005: xi). Namanya makin diperhitungkan setelah dua akademisi mengangkat pemikiran pembaruannya, yaitu Jhon Echols dari Cornell University dan Greg Barton dari Monash University. Pemikiran Wahib kemudian disetarakan dengan beberapa tokoh nasional, seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan lain-lain.
Wahib memang tidak pernah menulis buku, sehingga gagasan-gagasannya tidak tersusun secara sistematis. Ia hanya menulis catatan harian berisi refleksi persoalan-persoalan keagamaan, politik, budaya, dan lain-lain. Setelah catatan harian itu diterbitkan, banyak kalangan umat Islam yang meresponnya secara serius. Bahkan, beberapa kalangan sempat merekomendasikan “pelarangan” buku sampul hijau dengan gambar tangan mengepal itu. Pemikiran Wahib dinyatakan “terlarang” karena justru dianggap menyesatkan umat.
Meskipun pemikiran Wahib telah dilarang oleh sebagian kalangan umat Islam, namun hasil perenungannya tentang persoalan-persoalan keumatan masih tetap relevan untuk diangkat kembali. Dalam hal ini, penulis tetap memandang butir-butir perenungan Wahib sebagai buah karya intelektual yang patut dihargai.
Ahmad Wahib di Antara Universalitas dan Kondisionalitas
Ahmad Wahib memetakan wilayah pemahaman Islam dalam dua kategori, yaitu antara “Universalitas”—Yang Mutlak—Tuhan dan “Kondisionalitas”—Profanitas—Makhluk. Dalam konteks pertama, Wahib menyebut sebagai das sollen yang merupakan wilayah tak terjangkau, kekal-abadi, karena memang hanya Tuhan yang memiliki otoritas tersebut. Sementara konteks kedua, ia menyebutnya sebagai das sein yang merupakan dimensi spatio-temporal (meruang dan mewaktu) (Ahmad Wahib, 1981: 19).
Universalitas ialah wilayah pemahaman yang hanya menjadi otoritas Tuhan. Bersifat kekal abadi, tidak meruang dan mewaktu, dan transenden. Secara hakiki, wilayah ini merupakan rahasia-Nya. Manusia tidak memiliki otoritas penuh untuk memahaminya lebih lanjut. Hanya sedikit saja yang bisa terjangkau, itupun masih sangat abstrak, tidak kongkrit. Sementara Kondisionalitas merupakan dunia temporal ini, termasuk manusia di dalamnya. Sifatnya dinamis, meruang, mewaktu, dan profan. Dengan kemampuan manusia, dunia temporal dapat dipahami, baik secara empiris maupun secara intuitif.
Titik temu antara dimensi Universalitas dan Kondisionalitas terletak pada wahyu (pesan Tuhan). Agama, terutama agama Islam, yang bersumber dari wahyu pada dasarnya merupakan titik temu antara Kehendak (Iradah) Tuhan dan realitas dunia yang temporer. Karena itulah, agama, di samping mengandung “kebenaran mutlak”, juga memiliki sisi relativitas.
***
Meminjam alur pikir Moeslim Abdurrahman dalam artikelnya, “Memperebutkan Kebenaran Firman” (Kompas, 1/8/2005), penulis mencoba memahami jalan pikiran Wahib yang melihat keterlibatan Tuhan dalam sejarah. Maksudnya, peristiwa pewahyuan, di samping mendapat legitimasi tertinggi dari Tuhan, juga melibatkan aspek kesejarahan yang temporer dan profan. Otomatis, tafsir terhadap firman Tuhan pun mengandung dua unsur sekaligus, yaitu antara “kebenaran mutlak” dan “kebenaran profan.” Namun, karena manusia itu bagian dari Kondisionalitas yang profan, maka pesan kebenaran mutlak itu menjadi samar, atau jauh dari jangkauan kemampuannya.
Ahmad Wahib memahami pesan-pesan universal (Universalitas) menyepakati metode menterjemahkan kembali wahyu ke dalam wilayah Kondisionalitas dengan memahami setting sosio-kulturalnya. Usaha menterjemahkan Universalitas ke dalam wilayah Kondisionalitas disebut sebagai ijtihad. Wahib meyakini bahwa Universalitas (Islam) pada dasarnya tidak berbentuk. Karena itu, ia menghendaki kontekstualisasi pesan-pesan wahyu (Universalitas) ke dalam suatu bentuk Kondisionalitas (realitas budaya) tertentu. Ia meyakini, bahwa bentuk-bentuk itu sendiri bukanlah agama (lihat Catatan…13 Juli 1971).
Artinya, tafsir, pemahaman, atau kontekstualisasi pesan wahyu ke dalam realitas sosial tertentu bukan sebagai “kebenaran mutlak”, karena Kondisionalitas itu bersifat profan (nisbi). Wahib menyatakan bahwa Masyarakat Madinah di zaman Nabi saw adalah sebaik-baik sistem sosial untuk zamannya saja. Namun akan lain ketika zaman telah banyak berubah, seiring dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi serta kemajemukan kultur yang ada. Tentu, konteks Masyarakat Madinah tidak tepat dijadikan sebagai cermin.
Prinsip ijtihad dalam perspektif Ahmad Wahib adalah bagaimana membentuk suatu paradigma (tafsir) baru yang relevan dengan suatu setting sosio-kultural suatu masyarakat. Atas dasar inilah, ijtihad yang dimaksud oleh Wahib harus bersifat kontekstual. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ijtihad kontekstual versus Ahmad Wahib (Mu’arif, 2003: 74). Menurutnya, ijtihad kontekstual adalah ijtihad yang peka terhadap “konteks“ dan ”teks“ (Greg Barton, 1999: 309).
Ijtihad Kontekstual
Sebenarnya, ijtihad kontekstual sebagaimana telah digagas oleh Ahmad Wahib lebih bersesuaian dengan suatu metode kajian Islam kontemporer, yaitu metode hermeneutika. Drs. Chumaidi Syarif Romas, M.Si., memberikan pernyataan afirmatif bahwa Wahib telah mewacanakan metode hermeneutika waktu itu. Hanya saja istilah yang ia pakai ijtihad kontekstual, bukan metode hermeneutika, meskipun secara subtantif adalah sama (Mu’arif, 2003: 9).
Jika menurut Wahib, ijtihad kontekstual adalah kepekan terhadap konteks (kondisi sosio-sistoris) dengan teks-teks (wahyu). Dari situlah kemudian ditemukan maksud sebenarnya (maqasid al-syari’ah?) dari pesan-pesan universal itu. Ijtihad kontekstual kemudian lebih membuka seluas-luasnya pemahaman secara subtantif dari suatu redaksi teks-teks wahyu.
Keharusan ijtihad kontekstual didasarkan atas pertemuan Kondisionalitas dan Universalitas (wahyu). Ketika suatu pesan (wahyu) diturunkan oleh Tuhan dengan mengambil setting sosio-kultural tertentu, misal bangsa Arab dengan budayanya, maka Universalitas mesti diterjemahkan dalam bentuk-bentuk yang lebih spesifik. Dan sekali lagi, bentuk-bentuk spesifik itu bukanlah agama (pada subtansinya), melainkan tafsir, perspektif, atau konstruksi sosial yang jelas-jelas relatif (profan: nisbi).
Misalkan saja pesan Tuhan berupa tuntutan berbuat adil (keadilan), konsekuensinya kita harus memperhatikan secara cermat, seperti apakah keadilan yang dipandang sesuai konstruksi sosial kultur Arab? Bisa jadi dianggap benar ketika bangsa Arab menetapkan 1 banding 2 untuk urusan warisan keluarga antara perempuan dan laki-laki. Sebab, konstruksi sosial bangsa Arab memang menganut sistem patriarkhi. Kemudian, apakah tafsir ketentuan hukum waris itu bisa dipandang adil ketika kita mengambil setting sosio-kultural masyarakat Indonesia?
Konsep Keadilan yang Beragam
Secara kondisional, konsep keadilan itu beragam. Tetapi, secara subtantif, konsep keadilan itu berlaku universal. Inilah yang kemudian oleh Wahib dipahami bahwa das sollen Islam itu kekal-abadi, namun das sein; selalu berubah-ubah yang menunjukkan bahwa konsep praktis (kondisionalitasnya) masih belum sempurna, perlu usaha menafsiri ulang pesan-pesan universal wahyu.
Wilayah Kondisionalitas yang dinamis itu kemudian menjadi argumentasi kuat bahwa pada dasarnya setiap hasil interpretasi (tafsir) tidak berlaku mutlak. Tidak ada klaim-klaim “kebenaran mutlak” (ultimate truth) dalam hal ini, karena di samping akal yang nisbi dan realitas yang bersifat profane, sehingga setiap interpretasi bersifat profan dan nisbi juga.
Atas dasar inilah, penulis memandang bahwa umat beragama, khususnya umat Islam, perlu mencermati kembali gagasan-gagasan Ahmad Wahib yang mengajak untuk terbuka (inklusif) kepada pihak lain dan tidak mengklaim paling benar (truth claim).
Eksklusivisme dalam beragama yang kemudian berbuah fundamentalisme yang anarkhis dan nuansa truth claim sering berbuah konflik kekerasan atas nama agama merupakan kekeliruan umat dalam memahami pesan-pesan suci (wahyu) dari Tuhan. Mestinya, wahyu menebarkan janji kedamaian, namun justru oleh umat dipahami secara keliru, sehingga berbuah petaka bagi kemanusiaan.
Editor: Yahya FR