Pada Kamis, 11 Juni 2020 lalu, Jaksa Penuntut Umum telah membacakan tuntutannya terdahap dua terdakwa kasus penganiayaan Novel Baswedan. Yakni, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis dengan tuntutan pidana penjara selama 1 tahun. Tuntutan tersebut dirasa penuh dengan kejanggalan dan jauh dari rasa keadilan. Terlebih dengan adanya frasa “tidak sengaja” yang dilontarkan oleh terdakwa; yang kemudian dijadikan titik fokus oleh JPU untuk memberikan keringanan dalam tuntutannya, karena dirasa tidak memenuhi unsur direncanakan terlebih dahulu.
Benarkah Terdakwa “Tidak Sengaja”?
Atas hal tersebut, terlebih dahulu kita ketahui makna “kesengajaan” pertama kali digunakan dalam Memorie van Toelichting; bahwa opzettelijk plegen van een misdrijf, atau kesengajaan melakukan suatu kejahatan, sebagai het teweegbrengen van verboden handering “willens en wetens”. Atau sebagai melakukan tindakan yang terlarang secara “dikehendaki dan diketahui”.
Serta dalam Memorie van Antwoord; bahwa opzet atau kesengajaan itu merupakan de bewuste richting van de wil op een bepaald misdrijf. Atau opzet itu merupakan tujuan yang disadari dari kehendak untuk melakukan sesuatu kejahatan tertentu. Sehingga, dapat kita tarik kesimpulan; bahwa seorang pelaku dapat dianggap telah melakukan kejahatannya dengan sengaja apabila ia mememiliki “willens en wetens”. Atau berkehendak melakukan kejahatan tersebut dan mengetahui maksud dari perbuatannya tersebut.
Apabila kemudian dikaitkan dengan kasus a quo, dimana dalam fakta persidangan terdakwa telah mengakui adanya pengintaian; pada beberapa hari sebelum dilakukannya eksekusi penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, menunjukkan adanya kesengajaan dengan direncanakan terlebih dahulu.
Dan fakta bahwa terdakwa membawa air keras pada saat melakukan eksekusi atas apa yang telah direncanakan sebelumnya tersebut; menunjukkan bahwa terdakwa telah jelas merencanakan dan mempersiapkan kejahatannya terlebih dahulu. Atau dengan kata lain, terdakwa telah memenuhi unsur menghendaki dan mengetahui dalam kesengajaan.
Kemudian bagaimana dengan argumen terdakwa yang berniat menyiram badan, namun justru mengenai wajah, khususnya bagian mata Novel Baswedan? Terdahap unsur willens en wetens bukan berarti menghendaki, dan mengetahui atas apa yang dikehendaki itu harus benar-benar dapat dicapai.
Weten atau mengetahui, tidak berkenaan dengan sempurna atau tidaknya objek dari tindakan yang dikehendaki. Melainkan, berkenaan dengan gambaran yang jelas mengenai objek dari kehendak atau berkenaan dengan kesadaran tentang apa yang dikehendaki tersebut.
Detail Penyiraman Air Keras Novel Baswedan
Di sini jelas dari fakta persidangan, bahwa objek dari tindakan terdakwa adalah untuk menyiram badan Novel. Yang kemudian, dalam eksekusinya tidak sempurna dengan apa yang dikehendakinya dan justru mengenai wajah Novel. Khususnya pada bagian mata, yang mana hal tersebut tetaplah tidak menghapus fakta; bahwa terdakwa telah secara sadar mengetahui untuk melakukan apa yang sebelumnya telah dikehendaki. Yakni, melakukan penyiraman air keras kepada Novel Baswedan.
Terhadap apa yang telah dilakukan oleh terdakwa tersebut, masuk ke dalam opzet met zekerheidsbewustzjin. Atau kesengajaan dengan sadar kepastian, yang bahwa menurut Prof. Eddy O.S Hiariej, adakalanya suatu kesengajaan menimbulkan akibat yang tidak pasti terjadi.
Namun merupakan suatu kemungkinan, dimana kesengajaan sebagai kemungkinan dari dalam diri pelaku masih menghendaki adanya suatu akibat yang timbul. Akan tetapi, akibat yang terjadi bukan seperti yang dikehendaki oleh pelaku. Melainkan akibat yang terjadi tersebut timbul dari suatu kemungkinan atas perbuatan tersebut.
Dalam hal ini, terdakwa telah menghendaki penyiraman air keras. Namun perbuatan tersebut bisa saja tidak sempurna; mengingat fakta bahwa terdakwa melakukannya di atas motor yang berjalan dan dalam keadaan gelap. Sehingga, sangat berpotensi untuk mengenai bagian tubuh yang lain.
Namun disini terdakwa juga telah mengetahui dan menghendaki. Bahwa apabila menyiramkan air keras, tentunya akan menyebabkan luka berat terhadap tubuh manusia, terlepas dari bagian tubuh mana yang terkena.
Terlebih apabila melihat bahwa kedua terdakwa merupakan polisi aktif dari satuan Gegana Korps Brimob. Membuktikan bahwa terdakwa tentu mengetahui perbuatannya tersebut akan mengarah kepada penganiayaan berat.
Keputusan yang Janggal
Selanjutnya terhadap penggunaan Pasal 353 ayat (2) KUHP terhadap kasus a quo yang dipakai JPU dalam tuntutannya menunjukkan bahwa atas perbuatannya terdakwa hanya dikenai pasal penganiayaan biasa. Apabila kita kembali kepada unsur kesengajaan, tentunya telah terpenuhi yang mana terlihat dari upaya terdakwa; dalam melakukan pengintaian dan membawa air keras atau dengan kata lain telah direncanakan.
Kemudian, perbuatan terdakwa juga tergolong kedalam penganiayaan berat, dimana menurut R. Soesilo termasuk penganiayaan berat apabila pelaku memiliki niat untuk melukai berat yang berakibat pada luka berat. Sesuai dengan Pasal 90 KUHP bahwa kehilangan salah satu panca indera merupakan salah satu luka berat.
Dengan demikian, alangkah lebih bijaksana apabila JPU menggunakan pasal penganiayaan berat, yakni Pasal 355 ayat (1) KUHP, melihat terpenuhinya unsur-unsur penganiayaan berat dan direncanakan terlebih dahulu yang terdapat dalam pasal tersebut.
Terhadap hal tersebut, peran JPU disini justru terlihat seperti Penasehat Hukum bagi terdakwa. Ketimbang Penuntut Umum yang berusaha membuktikan kebenaran materiil dan mengedepankan keadilan. Hal ini tampak pada Pasal 353 ayat (2) KUHP yang digunakan JPU memberikan opsi maksimal tujuh tahun penjara, namun JPU hanya menuntut dengan satu tahun penjara. Hal ini tentunya dirasa telah mencederai dari tujuan hukum itu sendiri, yakni untuk menciptakan suatu keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Editor: Zahra/Nabhan