Al-Baqillani (w. 403 H) diakui sebagai pioner dan peletak dasar paradigma aliran Asy’ariyah. Karena, ia tak sekadar menyampaikan pesan-pesan warisan intelektual kaum Asy’ariyah dari generasi klasik. Tetapi, juga dikenal sebagai tokoh yang sanggup memberikan penjelasan-penjelasan lebih sempurna dan lebih tegas tentang beragam persoalan. Serta, batasan-batasan definitif berbagai istilah yang digunakan di kalangan Asy’ariyah.
Al-Baqillani mempunyai andil besar dalam menyebarluaskan paham Asy’ariyyah. Ia termasuk tiga ulama besar mazhab Asy’ari bersama Imam Al-Juwaini dan Hujjatul Islam Imam Ghazali. Atas jasanya merumuskan kembali paham Asy’ariyah, menjadikan paham Asy’ariyyah yang notabenenya sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tetap eksis sampai sekarang.
Ulama yang memiliki nama lengkap Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim al-Baqillani ini lahir di Basrah dan wafat di di tanah Qin tahun 403 H.
Salah satu karya al-Baqillani dalam aspek Ilmu Kalam (Teologi Islam) yang sekarang kita dapatkan ialah kitab yang berjudul “Al-Inshaf” (الإنصاف).
Selain itu ia menulis beberapa kitab lain, seperti I’jazul Qur’an, karya pertamanya. Lalu at-Tamhid fi ar-Raddi ‘ala al-Mulhidah wa al-Mu’aththilah wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilah.
Ada juga kitab al-Ibanah fi Ibthal Madzhab Ahlil Kufri wa Adh-Dhalal. Terdapat pula Risalah al-Hurrah, al-Bayan bainal Mu’jizat wal Karamat wal Hiyal wal Kahanah was-Sihri wa Nairinjat, dan masih banyak lagi yang lain.
Netralisasi tentang Usaha Manusia
Dalam Menalar Firman Tuhan: Wacana Majaz dalam Al-Quran menurut Mu’tazilah (2003), Nasr Hamid Abu Zaid,menjelaskan faktor terpenting dari pemikiran Al-Baqillani. Faktor tersebut adalah upayanya dalam melakukan netralisasi paradigma Asy’ariyah tentang “pemikiran usaha manusia” (al-kasb) serta kekuatan yang muncul dari manusia.
Sebagaimana diketahui, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan muncul dari upaya manusia melalui kekuatan yang diciptakan Allah Swt tidak memberikan manusia daya-cipta untuk melakukan suatu perbuatan dengan sendirinya. Tetapi Allah memberlakukan ketentuan-Nya bahwa suatu perbuatan akan terealisasi -seiring atau mengikuti kekuatan yang diciptakan-Nya– jika manusia mengendaki.
Perbuatan yang muncul dari keinginan itulah yang disebut usaha manusia. Yaitu perbuatan yang lahir dan diciptakan Allah pada mulanya dan merupakan hasil daya manusia setelah memperolah kekuatan yang diciptakan Allah pada dirinya (Nasr, 37).
Al-Baqillani –sedikit banyak terpangaruh aliran pemikiran Mu’tazilah– menegaskan bahwa daya yang diciptakan oleh Allah untuk manusia memiliki bobot pengaruh nyata saat berlangsungnya sesuatu aktivitas (perbuatan) manusia.
Artinya, aktivitas yang dilakukan manusia merupakan perbuatan yang bersumber dari Allah yang dimanifestasikan oleh manusia melalui daya-pemberian Allah yang ada pada dirinya.
Jadi, daya yang ada pada diri manusia itulah yang membawa pengaruh saat berlangsungnya aktivitas, seperti duduk, sujud, atau berdiri. Dengan kata lain, beralihnya aktivitas yang diciptakan Allah dan dimanifestasikan oleh manusia dapat melahirkan perbuatan yang mengarah pada maksiat atau ketaatan.
Dua kemungkinan itu merupakan perkara yang timbul dari perbuatan manusia melalui pendayagunaan kekuatan yang diciptakan Allah pada dirinya.
***
Faktor inilah yang berfungsi sebagai penentu, apakah suatu perbuatan manusia akan memerolah balasan pahala atau siksa. Sesungguhnya kapasitas suatu perbuatan tidaklah membawa implikasi bagi datangnya pahala atau siksa, lebih-lebih dalam pemikiran Mu’tazilah– tetapi menentukan apakah suatu perbuatan berhak memperolah pahala atau siksa adalah pada sisi baik-buruknya suara masalah. Kedua sifat baik-buruk merupakan dua hal yang melekat pada tiap-tiap perbuatan. Dengan demikian, suatu tindakan tidak dengan sendirinya dapat dikatakan baik atau buruk (Nasr, 84).
Begitulah penjelasan Al-Baqillani yang meletakkan tanggung jawab baik buruknya suatu perbuatan di pundak manusia, bukan pada Allah. Dengan begitu, Al-Baqillani berhasil menjembatani kesenjangan yang muncul antara konsep “Keadilan Tuhan” dan konsep “Tauhid”, dan segala sesuatu yang terjadi di alam raya tunduk di bawah kekuatan serta kehendak Allah secara menyeluruh.
Kesemuanya itu, memosisikan aliran Asy’ariyah pada tingkat yang lebih seimbang –dalam beberapa hal– dan mendekati pemikiran kaum rasionalis Mu’tazilah.
Editor: Yahya FR