Fakta historis tidak bisa lepas dari unsur ruang dan waktu. Ini harus digarisbawahi terlebih dahulu. Kemudian kita coba bertanya dalam hati: Al-Quran adalah kitab suci? menjadi sumber keyakinan dan pengetahuan (episteme) umat Islam? Tapi kenapa cerita-cerita di masa lalu yang termaktub dalam Al-Quran menggunakan istilah qishshah (jamak: qashash)? Bukankah istilah “qishshah” (kisah/cerita) itu sendiri identik dengan tradisi lisan alias bertutur.
Apakah kebenaran kisah-kisah atau cerita-cerita dalam Al-Quran tentang para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu itu faktual atau sekedar fiksi yang cukup diimani saja?
Harap diingat baik-baik bahwa Al-Quran tidak diturunkan dalam ruang kosong. Indikasinya, kalau anda pernah mengenyam pelajaran Ulumul Quran atau matakuliah Studi Al-Quran, ada bahasan tentang asbabun-nuzul. Nah, itulah fakta historis diturunkannya ayat-ayat Al-Quran.
Ia diturunkan dalam ruang historis dan dalam bidang sosio-kultural tertentu. Ruang historis berkaitan dengan rangkaian peristiwa di masa lampau. Bidang sosio-kultural berkaitan dengan tatanan sosial-kemasyarakatan dan sistem kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah kelompok manusia. Dengan demikian, Al-Quran diturunkan dalam konteks historis-sosio-kultural bangsa Arab pada masa kenabian Muhammad SAW.
Konteks Historis-Sosio-Kultural Wahyu
Al-Quran turun pada awal abad 7 M, ketika Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertama (610 M), dan berakhir pasca wafat sang Nabi akhir zaman (632 M) (G.S. Hodgson, 2002: 273-274.). Firman Allah SWT ini turun dalam konteks sosio-kultural bangsa Arab yang memiliki tatanan sosial-kemasyarakat dan sistem kebudayaan tersendiri.
Wahyu beradaptasi dengan konteks historis-sosio-kultural bangsa Arab ketika sang penerima wahyu berasal dari bangsa Arab (Ibrahim [14]: 4) dan bahasa yang digunakan juga bahasa Arab (Q.s. Ar-Ra’d [13]: 13, An-Nahl [16]: 2, Az-Zumar [39]: 28, Asy-Syu’ara [26]: 7 dan 195, Thaha [20]: 113, Az-Zukhruf [43]: 3, Fushshilat [41]: 3).
Al-Quran yang turun dalam konteks ruang historis dan bidang sosial-kemasyarakatan tertentu inilah yang disebut sebagai “wahyu yang menyejarah”—meminjam istilah Kang Moeslim Abdurrahman. Setiap ayat dalam Al-Quran memiliki latar belakang historis-sosio-kultural sehingga wahyu tidak anti-realitas.
Dalam Studi Ilmu al-Qur’an (‘Ulum al-Quran), konteks historis-sosio-kultural inilah yang disebut sebagai asbab nuzul al-Quran. Manna Khalil al-Qattan mendefiniskan asbab nuzul al-Quran sebagai “sesuatu hal yang karenanya Quran diturunkan untuk menerangkan status (hukum)-nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”(Manna Khalil al-Qattan, 1996: 110).
Nenek moyang bangsa Arab adalah bangsa Semit (Ibrani: Hebrew) yang sering dikaitkan dengan sejarah Nabi Ibrahim. Sejarawan Israel Wilson, sebagaimana dikutip Ahmad Syalabi (2006: 12-13), berpendapat bahwa bangsa Arab adalah bangsa Semit. Adapun yang dimaksud dengan bangsa Semit adalah orang-orang keturunan Sam bin Nuh. Dari silsilah inilah kemudian melahirkan bangsa Semit yang tersebar di seantero Jazirah Arab.
Bahasa yang digunakan oleh orang-orang keturunan Sam bin Nuh di kawasan Arab memiliki kesamaan karena memang termasuk dalam satu rumpun bahasa. Steven Olson, dalam buku Mapping Human History, memasukkan bahasa Arab dalam kategori rumpun bahasa Afro-Asiatik.
Rumpun bahasa ini meliputi: bahasa Ibrani (dipakai dalam kitab Perjanjian Lama), bahasa Aramik (dipakai dalam kitab Perjanjian Baru), dan bahasa Arab (dipakai dalam kitab suci al-Quran) (Steven Olson, 2004: 206).
Bangsa Semit yang mendiami Jazirah Arab menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari. Suku Quraisy yang mendiami kawasan Hijaz dengan kondisi alam yang gersang dan tandus menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Sebagai keturunan bangsa nomaden, bahasa yang mereka gunakan tidak banyak berkembang. Pada masa menjelang kenabian Muhammad saw, bahasa ini belum banyak diartikulasikan dalam bentuk tulisan, tetapi masih sebatas bahasa lisan yang digunakan sehari-hari.
Bangsa Arab yang hidup nomaden di kawasan tandus memang dapat dikatakan terbelakang dari segi peradaban jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, misalnya Persia dan Byzantium. Apalagi, budaya tulis belum berkembang pada masa menjelang kenabian Muhammad SAW.
Kemampuan baca tulis hanya dimiliki oleh segelintir orang saja, misalnya dari kaum bangsawan dan kelas pedagang saja. Dalam upaya melacak peristiwa atau hal-hal penting yang terjadi di masa lalu, mereka hanya mengandalkan kekuatan ingatan.
Daya ingatan orang-orang Arab pada masa menjelang kenabian Muhammad saw memang menjadi salah satu ciri khas dari bangsa ini. Salah satu tradisi orang-orang Arab yang masih bertahan hingga kini adalah kebiasan menyebut secara runtut silsilah keluarga hingga beberapa generasi sebelumnya.
Dengan kekuatan daya ingatan, mereka juga dapat mengisahkan peristiwa-peristiwa di masa lalu tanpa menggunakan sumber-sumber atau bukti-bukti empiri. Ciri khas “metode kisah” (Arab: qishshah) lebih mengutamakan aspek subtansi pesan ketimbang validitas sumber atau bukti empiris. Para penutur kisah dalam tradisi Arab disebut ruwat (para pencerita) (Syafiq Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1: Akar dan Awal, 2002: 26).
Sekalipun orang-orang Arab belum melek huruf pada masa menjelang kenabian Muhammad saw, tetapi bangsa ini telah memiliki keluhuran budi bahasa. Seni keindahan dan ketandasan bahasa (al-balaghah) telah berkembang dan menjadi budaya positif yang bernilai tinggi. Satu bukti yang dapat menunjukkan keluhuran budi bahasa orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam adalah tradisi perlombaan sya’ir yang di gelar tahunan di Pasar Ukadz.
Ketika Pasar Ukadz digelar, masing-masing suku Arab berkompetisi dalam kemahiran menggubah dan melantunkan sya’ir. Bagi pemenang kompetisi sastra tersebut, buah karyanya akan dipasang di dinding Ka’bah. Karya sastra terbaik disebut “al-Mu’allaq.” Secara kharfiah, kata al-Mu’allaq artinya “sesuatu yang digantung.” Adapun yang dimaksud adalah buah karya sastra terbaik yang digantung di dinding Ka’bah.
Dalam konteks historis-sosio-kultural semacam inilah al-Quran sebagai wahyu paripurna diturunkan. Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad saw, seorang dari bangsa Arab, diturunkan menggunakan bahasa Arab, dan salah satu metode penyampaian pesan-pesannya menggunakan metode “kisah” (qishshah) yang merupakan bagian dari tradisi bangsa Arab. (Bersambung)
*) Tulisan ini merupakan seri kedua dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif. Baca seri pertama Fikih Peradaban Islam Berkemajuan berjudul Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya di sini.
Editor: Yusuf