Oleh: Azaki Khoirudin
Tulisan ini hendak menyandingkan konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar (AMNM) dalam Mu’tazilah dan Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui, Mu’tazilah adalah sebuah aliran teologi abad ke-8M/2 H, yang di pelopori oleh Washil ibn Atha (700-780) yang memisahkan diri dari gurunya, Imam Hasan al Bashri. Mu’tazilah memasukkan AMNM sebagai Rukun Iman yang keenam (Dawam Rahardja, Ensiklopedi Al-Qur’an). Adapun Muhammadiyah dirikan KH. Ahmad Dahlan di Indonesia sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber pada al-Qur’an dan As-Sunnah (ihat AD & ART Pasal 4).
Doktrin Mu’tazilah
Mu’tazilah keras memegang doktrin AMNM sebagai bagian dari keimanan. Doktrin Mu’tazilah, bisa dikemukakan kasus perbedaan pendirian dan sikap tiga aliran teologi islam tentang iman dan dosa.
Menurut Washil ibn Atha, seorang mukmin yang melakukan dosa besar, jika tidak bertobat, statusnya tidak mukmin (beriman), maka fasiq, tetapi belum jatuh kafir. Berbeda Imam Hasan al Bashri berpendapat, bahwa orang tersebut masih mukmin. Pendapat yang diametral datang dari Khawarij bahwa, orang seperti Muawiyah, yang telah melakukan kecurangan dalam berperang dan berebut kekuasaan kekhalifahan dengan Ali bin Abi Talib, telah melakukan dosa besar. Karena itu berhak mendapat status kafir.
Di antara kedua pendapat yang beroposisi itu, Mu’tazilah berada di tengah-tengah. Orang mukmin yang melakukan dosa besar berada pada suatu posisi di antara dua status (al-manzilah bayn-a ‘l-manzilatayn).
Perbedaan pendapat ini berimplikasi pada sikap yang perlu diambil terhadap seorang pendosa. Khawarij akan menghukum pelaku perbuatan dosa. Tetapi Mu’tazilah berjuang amar makruf nahi munkar dengan cara mencegah perbuatan dosa, tentu saja dihukum jika ternyata bersalah melanggar hukum.
Setidaknya Mu’tazilah merumuskan lima ajaran dasar: (1) tauhid (keesaan Tuhan); (2) percaya kepada keadilan Tuhan, bahwa sifat Allah yang paling hakiki adalah keadilan; (3) menempatkan diri di antara dua posisi,yang dapat ditafsirkan sebagai pengambilan sikap moderat; (4) janji baik dan ancaman Tuhan (bashirá wa nazhiran) dan (5) amar makruf nahi munkar.
Sekalipun dalam teologi, Mu’tazilah mengambil sikap moderat, namun ketika mereka berada dalam posisi berkuasa pada masa Khaliífah al-Ma’mun dari Dinasti Abbasyah, ternyata mereka memaksakan pendirian mereka kepada golongan lain. Ini karena mereka bersikap keras dalam menegakan keadilan dan menjalankan amar makruf nahi munkar secara konsekuen kalau perlu dengan kekerasan.
Akibatnya kaum Mu’tazilah banyak ditentang oleh kelompok pendukung Ahl al- Sunah wa al jama’ah, dan ketika Khalifah Mutawakkil berpihak kepada golongan Ahl al- Sunah wa al jama’ah, maka berahirlah kekuasaan meraka hingga 846 M/234 H saja. Bahkan ketika berada diluar kekuasaan, kaum Mu’tazilah menjadi golongan yang di kejar-kejar penguasa, sehingga aliran ini menjadi lemah.
Doktrin Muhammadiyah
Di Indonesia, Muhammadiyah sangat terkenal dengan doktrin amar makruf nahi munkar. Padahal Muhammadiyah tidak mempunyai tradisi oposisi terhadap penguasa, sekalipun terhadap penjajah Belanda. Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM), pokok pikiran keenam menjelaskan tiga tugas pokok gerakan Muhammadiyah, yaitu dakwah Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Maksud dakwah Islam adalah menyeru/ mengajak manusia/ masyarakat kepada ajaran Islam.
Amar ma’ruf ialah menyuruh orang/ masyarakat mengajarkan apa saja yang ma’ruf (dikenal baik), sedangkan nahi munkar yakni mencegah orang/ masyarakat dari apa saja yang munkar (diingkari) oleh ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” merupakan realisasi ajaran (isi) dakwah Islam, yang hakikatnya berupa pengolahan masyarakat.
Dalam pokok pikiran keenam tersebut, dijelaskan dalam melaksanakan perjuangan ideologinya, Muhammadiyah membagi front perjuangannya menjadi dua, yaitu perjuangan politik kenagaraan dan perjuangan bidang kemasyarakatan. Muhammadiyah secara organisasi dengan kesadaran memilih dan menempatkan dirinya berjuang dalam bidang masyarakat”. Untuk perjuangan di bidang politik kenegaraan (perjuangan politik praktis), dilakukan dengan alat perjuangan lain (seperti: partai politik).
Dokumen “Kepribadian Muhammadiyah” disebut bahwa sebagai Muhammadiyah adalah sebuah gerakan Islam. Maksud gerakannya adalah melaksanakan “dakwah amr ma’ruf nahy munkar“. Secara individu bagi yang telah Islam, dakwah bersifat pemurnian ajaran Islam, sedangkan bagi yang belum Islam bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk Islam. Dengan demikian, definisi Muhammadiyah tentang amr AMNM cukup positif.
Corak dakwah Muhammadiyah dapat dijelaskan dengan bahwa dakwah Muhammadiyah itu bersifat bersifat solutif. Muhammadiyah menjadikan agama berfungsi sebagai pemecah problem masyarakat. Jargon “sedikit bicara banyak bekerja” serta “hidup-hidupilah Muhammadiyah” menjadikan Muhammadiyah kokoh mewariskan doktrin amal shaleh atau dakwah amaliah solutif untuk masyarakat. Akan tetapi karena sifatnya yang tengahan, maka dakwah Muhammadiyah itu pelan tapi pasti.
Pelbagai amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan maupun politik dan lain-lainnya itu puluhan tahun baru mapan dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Itu semua tidak instan, tetapi proses jangka panjang yang pasti dampaknya. Hal ini yang menjadikan karakter dakwah Muhammadiyah lebih lembut alias Non-Konfrontatif, baik dengan pihak pemerintah maupun dengan berbagai kelompok.
Bagi Muhammadiyah, AMNM itu untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, amar makruf nahi munkar Muhammadiyah posisinya sebagai gerakan sosial dan gerakan stabilitas. Jadi nahi munkarnya Muhammadiyah itu melalui hukum negara. Karena yang berhak memaksa itu negara. Sebagaimana Kepribadian Muhammadiyah bahwa sifat Muhammadiyah itu “mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah”.
Perbedaan Mu’tazilah dan Muhammadiyah?
Apabila kita menengok kepada doktrin-doktrin dasar Mu’tazilah lainnya, kita melihat persamaan yang mencolok dengan paham Muhammadiyah. Pertama, baik Mu’tazilah maupun Muhamnadiyah merumuskan, dan menonjolkan doktrin pengesaan Tuhan secara keras. Konsekuensinya adalah pemurnian aqidah yang mungkin telah bercampur dengan unsur-unsur paham lain. Kedua, adalah posisinya yang berada di tengah-tengah, dalam persoalan iman dan perbuatan dosa yang mempengaruhi seluruh pola sikap Muhammadiyah yang serba moderat. Dan ketiga, pengambilan doktrin amar makruf nahi munkar itu.
Dalam Muhammadiyah memang tidak diperhatikan konsep basyir-an wa nazhir-an yang bernada eskatologis, dan futuristis. Bagi Mu’tazilah, doktrin keadilan Ilahi itu berada di pusat orientasi diskursus teologi. Diskursus teologi ini sulit dibayangkan dapat dilakukan di lingkungan Muhammadiyah. Sebab doktrin keadilan Ilahi ini merupakan sumber maupun hasil dari cara berpikir rasional.
Pada Mu’tazilah doktrin keadilan ilahi berkaitan dengan kebebasan manusia untuk bertindak. Manusia bebas memilih apakah cenderung kepada perbuatan baik atau jahat. Pilihan itu akan dinilai Tuhan secara adil dalam arti, semua tindakan baik maupun buruk ada ganjaran atau balasannya.
Keistimewaan Muhammadiyah terletak pada pengambilan dan penempatan doktrin AMNM. Namun berbeda dengan Mu’tazilah yang menempatkan doktrin ini dalam diskursus teologi, Muhammadiyah menempatkannya sehagai doktrin aksi. Muhammadiyah lebih memilih dakwah sebagai dasar perjuangan dengan cara damai, toleran dan solutif. Kedekatan pemikiran Muhammadiyah sebagaimana halnya pada Mu’tazilah yang rasional dan menyerap ilmu pengetahuan modern.
Karena karakternya yang bersifat tengahan (moderat, wasathiyah), maka tidak sedikit yang menilai dakwah Muhammadiyah terlalu lembek, tidak tegas, pro-pemerintah, bahkan ini seringkali dinilai kurang nahi munkar.