Tajdida

Persahabatan Dua Sesepuh Muhammadiyah: Amien Rais dan Syafii Maarif

4 Mins read

Ide yang saling bertolak belakang antara Pak Amien Rais dan Buya Ahmad Syafii Ma’arif tidak asing lagi. Aktifis Muhammadiyah tahu betul bahwa dua tokoh besar Muhammadiyah ini jarang bersepakat dalam banyak hal. Dua figur cendekia muslim modernis ini memang sama-sama menempuh jalan dan sikap politik yang berbeda. Tidak perlu saya sebutkan, tapi orang bisa tahu sedikit permukaannya pada pemilihan presiden tahun 2014. Tapi bukan itu yang akan dibahas.

Lagipula itu cuma bagian kecil dalam anekdot tokoh dan politik organisasi keagamaan terbesar di Asia Tenggara ini. Yang lebih penting, kedua tokoh ini punya pembelaan yang sangat besar terhadap orientasi politik kebangsaan. Tentu dengan menimbang gejolak transisi demokrasi di Indonesia yang sedikit banyak mempengaruhi kiprah keduanya. Kita dapat menimbang respon dan reaksi kedua tokoh ini terhadap perjalanan demokrasi layaknya peran seorang pewicara politik yang tidak akan pernah selesai.

Latar Sosial Keagamaan

Pak Amien tumbuh besar dalam keluarga aktivis Muhammadiyah. Ia lahir pada tahun 1944, bertepatan dengan momen langka tatkala Soekarno jadi model lukisan Memanaholeh Henk Ngantung. Ia lahir empat tahun sebelum meruncingnya ketegangan politik antara Amerika dan Uni Soviet. Pak Amien hidup dalam masa-masa politik kedigdayaan yang dipegang oleh gaya politik ekspansionis yang dipimpin Amerika Serikat dan kekuatan komunis yang dipimpin Uni Soviet.

Adapun Buya Syafii lahir di Sumpurkudus pada tahun 1935, bertepatan dengan peristiwa pengasingan Mohammad Hatta ke Boven Digoel. Ia lahir tiga tahun setelah Marco Kartodikromo mengirim tulisan catatan pengasingan yang dimuat di harian Pewarta Deli, mengabarkan betapa tidak enaknya hidup di pengasingan. Ada banyak peristiwa-peristiwa politik yang menyelimuti tahun-tahun kelahiran dan pertumbuhan dua orang figur ini. Sesuatu yang dapat kita pahami belakangan banyak terhubung secara tidak langsung dengan gaya politik mereka kemudian.

Baca Juga  Surat-menyurat Dua Tokoh Muda NU-Muhammadiyah

Sesuatu yang dapat kita anggap sebagai masa-masa yang menentukan konstelasi kehidupan politik modern di Asia Tenggara. Saat Pak Amien berusia sepuluh tahun, Buya Syafii sudah merantau ke tanah Jawa. Buya sangat suka tengkleng, kuliner khas Solo—kota Pak Amien tumbuh besar—suatu kebetulan kultural! Pada tahun 1968, keduanya menyelesaikan sarjana muda secara bersamaan. Pak Amien lulus dari Fisipol UGM, dan Buya Syafii dari FKIS IKIP Yogyakarta (sekarang UNY).

Rezim Soeharo yang sentralistik sedang berada pada puncaknya ketika dua cendekia muslim ini mulai menggarap agenda reformasi pada dekade 1990an. Semua orang ingat pasca Tanwir Muhammadiyah di Semarang pada tahun 1998, Pak Amien memilih ijtihad politik dengan menggulirkan gagasan suksesi atau reformasi total. Di tangan Pak Amien, isu-isu sensitif kekuasaan Soeharto memperoleh respon luas dari kelompok muslim. Sejauh yang bisa diingat adalah isu Freeport dan Busang, yang menunjukkan pengaruh besar Pak Amien terhadap publik, terutama kelompok Islam menengah.

Sedangkan Buya Syafii menjaga napas Muhammadiyah sebagai kelompok sipil paling aktif dalam mendorong terjadinya pembaruan Islam. Kendati ia pernah diminta oleh Pak Amien untuk jadi ketua partai yang direncanakan akan segera dibentuk, ia menolak tawaran itu. Bagi Buya, ia tidak cocok dengan politik praktis. Di bawah kepemimpinan Buya Syafii, Muhammadiyah bergerak cepat dalam perubahan politik global. Bukan cuma di Asia Tenggara, Muhammadiyah bergerak ke arah internasionalisasi Islam.

Dampak  Kiprah Amien Rais dan Ahmad Syafii Ma’arif Kepada Muhammadiyah

Mungkin tidak berlebihan, tapi setelah era dua tokoh ini, dan besarnya perubahan konstelasi politik berdampak pada Muhammadiyah, kecenderungan untuk merevitalisasi konsep pembaruan Muhammadiyah tampak semakin jelas. Memang, pada akhirnya, kekuatan oligarki Orbais yang masih begitu dominan jusru mencuatkan kekuatan Islam politik yang selama ini dihambat selama tiga dasawarsa serta membangkitkan gelombang ultra-nasionalisme pada kelompok elit sosial dan kalangan santri. Dan, sedikit banyak akan terkait dengan perjalanan Pak Amien dan Buya Syafii.

Baca Juga  Di Timur Fajar Cerah Gemerlapan , Mengusir Kabut Hitam

Pak Amien dan Buya Syafii adalah generasi pertama dan mungkin terakhir cendekia muslim yang mewarisi pertanyaan sejarah pada perubahan milenium baru. Sebagai dua intelektual yang lahir pada pertengahan abad XX, keduanya didorong oleh semangat etika politik, kebutuhan baru masyarakat sipil merefleksikan dirinya terhadap demokrasi dan konsolidasi negara-bangsa. Mereka adalah cendekia penting yang paham betul apa arti mensirkulasi kehidupan bangsa melalui ruang publik.

Keduanya pernah merasakan gemuruh gelombang demokrasi dan perayaan atas liberasi humanisme di pusaran politik liberal dunia. Ketika kuliah di Amerika, Buya Syafii mengaku dirinya banyak dipengaruhi oleh Fazlur Rahman, intelektual muslim asal Pakistan yang brilian dan produktif. Ia juga intensif berbincang masalah politik sipil dan gagasan-gagasan modern Fazlur Rahman bersama Pak Amien dan Nurcholish Madjid atau yang disebut Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai “Tiga Pendekar dari Chicago.” Sebagaimana dicatat oleh Gus Dur, ketiga cendekia muslim ini punya persamaan dalam mempromosikan politik moral.

Sosok Pemimpin Intelektual

Pak Amien dan Buya Syafii adalah paduan karakter pemimpin dan intelektual yang jarang kita temui. Saya tidak akan menyebut berapa karya dua orang ini. Tapi yang tidak bisa saya abaikan adalah peran mereka sebagai seorang aktivis, penerjemah, penulis buku, dan pembicara publik berpengaruh. Intelektual tidak bekerja dengan idenya sendiri. Pak Amien tidak bekerja dengan gagasan “Tauhid Sosial” atau Buya Syafii dengan “Islam Keindonesiaan”. Tapi mereka bekerja untuk peradaban yang lebih luas. Pak Amien pernah menerjemahkan Tugas Cendekiawan Muslim karya Ali Shariati. Buya Syafii memperkenalkan pendekatan kesejarahan untuk memahami jalan baru tanggungjawab kaum muslim.

Peran yang dimainkan oleh dua orang ini, tak pelak lagi adalah kekuatan baru muslim modernis yang sempat mengalami masa-masa pahit pada pemerintahan Soekarno, dan pemerintahan Soeharto. Kita bisa melihat sumbangan pemikiran politik mereka sangat terkait dengan konteks pencarian rumusan baru identitas politik kaum muslim. Tanpa melupakan banyak peran tokoh yang lebih senior dari kalangan Masyumi atau rekan sejawat di ICMI, baik Pak Amien dan Buya Syafii telah mengisi kekosongan yang terputus dalam merumuskan model keislaman yang relevan dengan gelombang demokrasi.

Baca Juga  Jangan Setengah-Setengah Melihat Muhammadiyah

Setelah percobaan awal pada perdebatan Majelis Konstituante tahun 1959, tidak ada lagi upaya yang cukup menonjol dalam merumuskan konsepsi yang lebih matang. Momentumnya memang harus menunggu selama proses transisi politik mengantarkan Orde Baru tumbang. Tapi itu adalah waktu yang tepat dengan bangkitnya pengaruh Islam secara global, salah satunya dipicu oleh Revolusi Iran, yang disebut Asef bayat sebagai gelombang pasca-Islamisme.

Pak Amien dan Buya Syafii adalah dua sepuh Muhammadiyah. Perubahan politik tidak menghentikan kerja-kerja publik yang mereka lakukan. Dengan beragam cara, mereka seringkali disalahpahami, diredam, ditolak, dan diperlakukan tidak adil. Tapi sejarah tidak akan pernah sepenuhnya dimiliki si pemenang. Karena sejarah selalu punya kesempatan menjelaskan dirinya sendiri. Itu terjadi ketika Pak Amien menjenguk Buya yang berbaring sakit. Pertemuan yang sentimentil.

Sebab, setelah Cak Nur wafat, dua pendekar Chicago kita tinggal Pak Amien dan Buya Syafii. Sebab, setelah Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman, dan Dawam Rahadrjo tiada, merekalah satu-satunya simbol perlawanan tirani yang masih dimiliki Muhammadiyah.

50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds