Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam agama Islam yang menggunakan pendekatan rasional dalam memahami konsep keagamaan. Kehadirannya, dari dulu hingga sekarang, sering dianggap menjadi penyebab sesatnya umat Islam dari ajaran yang benar.
Atau setidaknya yang dianggap benar oleh mayoritas umat Islam. Harun Nasution adalah contoh sarjana muslim kontemporer yang secara terang-terangan mengaku bahwa ia terinspirasi oleh pemikiran Mu’tazilah. Ia mengikuti pemikiran Mu’tazilah. Maka, tidak heran jika banyak orang yang mencaci pemikiran-pemikiran Harun Nasution.
Salah satu peletak dasar teologi Mu’tazilah -selain Washil bin Atha’- adalah An-Nazzam. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani Al-Bashri. An-Nazzam adalah nama yang diberikan orang lain karena kepandaiannya menyusun kalimat-kalimat yang indah dan puitis.
Para pengagum An-Nazzam mengatakan bahwa nama itu diberikan karena kepandaiannya menyusun kalimat-kalimat indah dan puitis. Menurut Abudullah Mushafa Al-Maraghi, ia lahir pada tahun 800 M, dan meninggal pada tahun 836 M. Sumber lain mengatakan bahwa ia hidup pada tahun 755 – 845 M.
Kontroversi Pemikiran An-Nazzam
Sejak muda ia sudah dikenal sebagai orang yang cerdas dan tangkas. Ia merupakan seorang teolog dan penyair Mu’tazilah. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh pamannya Abu al-Hudayl al-‘Allaf yang juga seorang teolog Mu’tazilah.
Al-Allaf adalah murid Washil bin Atha’, pendiri Mu’tazilah. Al-Allaf adalah seorang pendiri madrasah Mu’tazilah pertama di Basrah. An-Nazzam merupakan seorang yang dekat dengan dunia filsafat. Di tangannya, ajaran filsafat masuk kedalam teologi Mu’tazilah.
Pemikiran An-Nazzam yang cukup populer adalah tentang kemukjizatan Al-Qur’an. Ia meyakini bahwa kemukjizatan Al-Qur’an bukan dari watak Al-Qur’an itu sendiri, namun dari “ketidakmampuan” orang-orang Arab pada waktu itu untuk melayani tantangan Allah, dengan membuat Al-Qur’an atau yang semisal dengannya.
Al-Qur’an dalam beberapa ayat menantang masyarakat waktu itu untuk membuat Al-Qur’an tandingan. Dan faktanya, mereka tidak mampu melakukan hal tersebut, karena mereka dilemahkan (I’jaz) oleh Allah. Seandainya masyarakat waktu itu dibiarkan dengan kemampuan mereka sendiri, mereka akan dapat membuat satu surat yang sepadan dengan Al-Qur’an. Baik dari segi balaghah, tata Bahasa, dan lain-lain.
Karena pendapatnya ini, An-Nazzam dianggap telah menolak kemukjizatan Al-Qur’an. An-Nazzam menginterpretasikan kemukjizatan di luar kerangka hubungan teks dengan teks lain. Ia menafsirkan kemukjizatan dengan intervensi kekuasaan Allah terhadap kemampuan masyarakat agar tidak mampu melayani tantangan untuk membuat Al-Qur’an tandingan.
Selain itu, An-Nazzam juga meyakini kemukjizatan Al-Qur’an dalam hal berita-berita gaib tentang masa depan yang terkandung dalam Al-Qur’an, yang tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu. Seperti firman Allah tentang menjadikan manusia sebagai khalifah, berita kekalahan Rum, dan seterusnya. Dan ini menjadi salah satu bukti kuat kenabian.
An-Nazzam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang hadits (baru), bukan qadim (kekal), dan diciptakan oleh Allah. Menurutnya, kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru, bukan kekal.
Mengakal Tuhan, Menolak Ijma’ dan Qiyas
Pandangannya yang lain adalah bahwa mengetahui adanya Tuhan adalah keharusan akal. Dengan kata lain, akal secara esensial pasti dapat mengetahui adanya Tuhan bahkan tanpa bantuan agama, meskipun dalam peribadatan manusia tetap membutuhkan panduan wahyu. Pandangan ini adalah pandangan khas Mu’tazilah.
Ia juga menolak ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi) sebagai salah dua sumber hukum Islam. Ini berarti bahwa ijma’ dan qiyas bukanlah sumber hukum Islam yang disepakati oleh seluruh ulama sebagaimana yang sering diajarkan di pesantren-pesantren.
Faktanya, ada sebagian ulama yang tidak sepakat dengan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum. Salah satunya adalah An-Nazzam itu sendiri. Sehingga, sumber hukum yang disepakati sebenarnya hanyalah Al-Qur’an dan Hadis. Jika tokoh-tokoh di Inkar as-Sunnah dimasukkan sebagai ulama, maka hanya Al-Qur’an-lah yang menjadi sumber hukum yang disepakati. Sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati ada ijma’, qiyas, masalih al-mursalah, ‘urf, istihsan, sad adz-dzariah, dan masih banyak lagi.
Karya dan Akhir Hayat An-Nazzam
An-Nazzam sebagai seorang sarjana muslim telah menulis sejumlah buku. Di antaranya adalah An-Nukat. Buku ini membicarakan penolakannya terhadap argumen ijma’. Melalui buku ini, ia mengkritik sahabat-sahabat Nabi yang dikatannya sebagai orang-orang yang memiliki fanatisme suku.
Menjelang kematiannya, An-Nazzam sempat berdoa: “Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa aku tidak main-main dalam membela ketauhidan-Mu atau aku tidak bermazahab kepada siapa pun, maka hal itu justru karena aku ingin mengesakan-Mu. Andai kata ada hal-hal yang bertentangan dengan tauhid, maka aku sama sekali tidak terlibat. Ya Allah, jika Engkau Maha Tahu bahwa aku demikian, maka ampunilah dosa-dosaku dan mudahkan aku dalam sakaratul maut ini.” Setelah itu ia meninggal dunia. Doa ini wajar diucapkan mengingat Mu’tazilah, terlepas dari segala kontroversi tentangnya, merupakan kelompok yang gigih memperjuangkan nilai tauhid. Maka, orang-orang Mu’tazilah lebih senang menyebut dirinya dengan Ahl al-‘Adl wa at-Tauhid.