Parenting

Anak-anak Gen Z dan Suburnya Isu SARA

3 Mins read

Minggu pagi itu, ketika saya lagi asyik mengolah pisang yang akan dijadikan pisang goreng, anak kedua saya yang berumur 5 tahun, Maheera, tiba-tiba menyela, “Bu, anak yang gak pake jilbab itu anak Kristen, kan?”. Tentu saja saya kaget. Dari mana Maheera mendapat pemahaman seperti itu? Siapa yang memberi tahu dia kaitan tentang jilbab dengan agama? Rasanya saya belum pernah mengajarkannya tentang hal itu.

Deg!

Tiba-tiba saya disadarkan, bahwa sepertinya saya melewatkan sebuah bahaya. Apalagi ketika Maheera menjawab bahwa sang kakak, anak pertama saya lah yang mengatakan hal tersebut. Aduuh, sedih pake banget rasanya. Saya yang selama ini mengklaim diri bukan orang yang suka mempermasalahkan SARA. Orang yang tidak membatasi diri bergaul dengan siapa saja tanpa memandang SARA. Orang yang berusaha untuk memahami dan belajar tentang multikukturalisme. Ternyata, anaknya berpikir SARA!

Saya jadi ingat, ada beberapa kali memang anak sulung saya menceritakan hal sensitif berbau SARA. Seperti dia pernah bilang, “Bu, kakak benci deh sama orang Israel yang bunuhin orang-orang Palestina. Orang Palestina itu kan Islam, kalo orang Israel itu Kristen”.

Atau pernah juga dia cerita diolokkin sama teman ngajinya di masjid, karena dia punya keturunan darah suku Buton dari sang Ayah. Ya, saya orang Jawa yang menikah dengan orang Buton. Kami bertemu di Balikpapan dan ternyata berjodoh. Haiyah, kok malah ngomongin jodoh, hehe.

Saya sebenarnya tidak paham sejarah awal mulanya kenapa suku Buton mendapat predikat kurang baik di Balikpapan, atau mungkin malah di beberapa daerah di Kalimantan Timur. Bos saya dulu yang tinggal di Samarinda juga sempat tercengang waktu saya bilang mau menikah dengan orang Buton. Memang sih cuma bilang, “Haa…sama orang Buton?”, tapi mimik wajahnya itu lho seolah-olah mengatakan bahwa saya salah besar jika menikah dengan orang Buton.

Baca Juga  Harun Yahya, Ilmuwan Penggila Wanita yang Dipenjara Seribu Tahun

HUfft, untungnya kekhawatiran bos saya itu tidak terjadi. Alhamdulillah, kami baik-baik saja sejauh ini.

***

Kembali ke anak sulung saya. Ada rasa menyesal di hati, kenapa saat itu saya hanya menyampaikan hal yang normatif untuk menanggapi ceritanya. Saat itu saya berpikir, dia masih kecil, masih SD, nanti seiring bertambahnya usia saya baru akan meluruskan hal salah yang dia pikirkan. Tapi sayangnya, sepertinya pemikiran itu menetap pada anak saya.

Kita, orang dewasa kadang memang menyepelekan pemikiran anak-anak. Hanya karena anak masih dalam pertumbuhan dan perkembangan, kita cenderung menganggap pola pikir anak toh nanti akan berubah juga seiring banyaknya pengetahuan dan pengalaman mereka.

Tapi, bagaimana jika ternyata yang kita anggap sepele ternyata “berkesan” di pikiran anak? Dan celakanya mereka mendapat informasi dan pemahaman yang keliru dari lingkungan luar, hanya karena kita lalai memberi jawaban yang benar. Ingat, pendidikan yang baik berawal dari rumah.

Perundungan di dunia anak sebenarnya sudah ada sejak dulu. Waktu saya kecil, sesama teman juga sudah ada saling mengejek atau menghina antar teman. Sasaran empuk perundungan biasanya seputar body shamming, atau mengejek nama, bahkan nama orang tua. Hahaha, saya kalau ingat ejekan jaman kecil suka ketawa sendiri.

Sayangnya, saya menangkap ada perbedaan jauh tentang topik perundungan zaman saya kecil dengan anak-anak zaman sekarang. Anak-anak sekarang sudah menjadikan SARA sebagai topik perundungan. Why?

Padahal jika dipikir-pikir, anak yang lahir di generasi Z atau Alfa mempunyai orang tua dari generasi Millenial. Dikutip dari buku Generasi Langgas karya Yoris Sebastian, generasi Millenial adalah generasi yang suka berkomunitas dan hidup pada era kebebasan. Mereka mengalami bebas belajar, bebas bekerja, dan bebas berbisnis.

Baca Juga  Mending Pergi Haji atau Menyekolahkan Anak?
***

Artinya, gen Z dan gen Alfa mempunya orangtua yang punya pergaulan luas dan punya pendidikan baik. Jadi, apa sebab anak-anak malah jadi mengalami kemunduran toleransi? Apakah ini dampak dari reformasi?

Nah, sepertinya iya. Generasi millennial adalah generasi yang mengalami perubahan era, yaitu dari era orde baru ke era reformasi. Dampak terbesar dari era reformasi adalah kebebasan, yang ternyata kebebasan yang berakibat luas.

Pada era reformasi ini, kita bebas berpendapat, bebas berekspresi. Kemudian muncul lah macam-macam komunitas sebagai perwujudan ekspresi itu sendiri. Didukung dengan tekonologi digital yang berkembang pesat, yang memudahkan satu komunitas berinteraksi dengan komunitas lain melintasi ruang dan waktu.

Celakanya, menurut saya, kemudian terjadi eksklusivitas komunitas. Alih-alih saling berinteraksi dengan komunitas yang berbeda, komunitas-komunitas ini malah hanya berinteraksi dengan komunitas “sejenis”. Akibatnya, mudah ditebak, akan mudah terjadi konflik ketika antar komunitas ini digesekkan.

Sebagai orang tua dari gen Z dan gen Alfa, sepertinya kita harus lebih berhati-hati menjaga anak-anak dari pengaruh gesekan-gesekan SARA yang memicu konflik. Kenalkan anak-anak dengan komunitas yang berbeda, tekankan dan paparkan pada mereka bahwa perbedaan membentuk harmoni kehidupan yang indah, alih-alih digesekkan menjadi sebuah kekerasan dan perpecahan.

Sebagai keluarga, jangan lupa kita juga harus memberi contoh bahwa kita menghargai perbedaan pendapat atau pilihan. Jangan sampai malah kita dan pasangan gontok-gontokan gara-gara beda pilihan Presiden, misalnya.

Editor: Yahya FR

Elsa Yulianingsih
1 posts

About author
Dosen STIT Balikpapan
Articles
Related posts
Parenting

Generasi Toxic Harus Dididik, Bukan Dihardik!

5 Mins read
Tulisan sederhana ini saya suguhkan, berangkat dari keresahan saya tentang fenomena “generasi toxic“. Ada rasa cemas ketika saya menyadari bahwa generasi muda…
Parenting

Ajarkan Kepada Anak-anak, Masjid Tak Sekedar Tempat Ibadah

3 Mins read
Ibadah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Untuk memastikan agar generasi muda memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai agama…
Parenting

Nasihat Nashih Ulwan untuk Para Pendidik Anak

3 Mins read
Awalan, Abdullah Nashih Ulwan sangat gemar menulis, kertas dan pena senantiasa bersama dimanapun dia berada. Walaupun sibuk dengan kuliah, undangan dan ceramah, dia tetap meluangkan waktu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds