Dalam mendiskusikan poligami, sering kali melupakan tema “anak-anak yatim” yang justru menjadi perbincangan penting dalam surat An-Nisa’. Allah Swt memulai surat an-Nisa pada ayat 1 dengan seruan kepada manusia untuk bertakwa kepada Tuhan serta seruan untuk sillaturrahim yang berpangkal pada kemanusiaan universal. Kemudian pada ayat ke-2 beralih pembicaraan tentang anak-anak yatim: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka”.
Baru setelah itu, pada ayat 3 pembicaraan tentang anak-anak yatim dilanjutkan dengan perintah poligami, yakni menikahi perempuan-perempuan yang disenangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, poligami dibatasi hanya pada satu kondisi yaitu “takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim”. Allah berkalam dalam surat An-Nisa ayat 3, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Selanjutnya pada ayat 4, membahas tentang “maskawin” dan “mahar”. Lalu pada ayat ke-5 tentang larangan kepada manusia untuk menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta benda mereka. Selanjutnya ayat ke-6 sekali lagi Allah swt membicarakan anak-anak yatim.
Poligami dan Anak-Anak Yatim
Melihat rangkaian surat An-Nisa ayat 1-6, maka menjadi sebuah keharusan bagi kita semua, secara bijaksana ketika mendiskusikan poligami bisa memperhatikan hubungan sebab-akibat antara poligami dan anak-anak yatim. Di mana kata al-yatim (Arab) bermakna seorang anak yang belum berumur baligh yang kehilangan ayahnya, sementara ibunya masih hidup. Pengertian yatim seperti ini adalah dalam surat an-Nisa’ ayat 6, “Dan ujilah (didiklah) anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”.
Jadi dari sini dapat dilihat bahwa, pokok pembahasan rangkaian ayat-ayat di atas adalah berkisar anak-anak yatim yang kehilangan ayahnya. Sementara ibu mereka dalam kondisi menjanda. Poligami adalah salah satu solusi untuk anak-anak yatim. Di sini letak pentingnya melihat keseluruhan ayat-ayat yang terkait.
Selanjutnya, bila ada pertanyaan, bagaimana dengan anak yatim yang kehilangan kedua orang tuanya (yatim piyatu) atau kehilangan ibunya saja (piatu)? Jawabannya, dengan kematian kedua orang tua, maka gugurlah masalah poligami. Termasuk kematian seorang ibu, sementara sang bapak masih hidup, seorang duda yang menikah lagi “tidak termasuk poligami”.
Sekali lagi, di sinilah kita berhadapan dengan masalah “anak-anak yatim” yang telah kehilangan ayahnya. Di mana Allah swt menghendaki seorang ayah yang poligami untuk berbuat baik dan adil kepada mereka. Selain itu juga menjaga dan memelihara harta mereka dan menyerahkannya kembali ketika anak-anak yatim tersebut telah dewasa. Selain juga supaya mereka tidak terpisah dari ibunya, maka cara terbaik adalah dengan mengawini ibunya.
Dua Syarat Poligami
Dalam keadaan ini, yakni kekhawatiran tidak terwujudknya keadilan pada anak-anak yatim, sesuai dengan yang dimaksud (sebagaimana Kalamullah “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim”, maka ayat ini membolehkan poligami, yakni dengan menikahi ibu-ibu mereka yang menjanda (Allah berkalam: “…maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi…”.
Jadi perintah surah an-Nisa ayat 3 tersebut ditujukan kepada laki-laki yang telah menikah dengan seorang wanita janda dan memiliki anak. “Maka bukanlah termasuk poligami namanya jika lelaki bujangan yang menikahi janda yang memiliki anak yatim.”
Berdasarkan surat an-Nisa ayat 3, “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”.
Di sini sesungguhnya Allah Swt tidak sekedar membolehkan poligami, melainkan sangat menganjurkannya. Namun ada dua syarat penting yang harus dipenuhi: Pertama, bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim.
Kedua, harus memiliki rasa kekhawatian tidak dapat bebuat adil kepada anak-anak yatim. Artinya perintah poligami akan menjadi gugur ketidak tidak terdapat dua syarat ini. Jadi poligami itu dianjurkan, melainkan ada syaratnya.
Anjuran Monogami
Masalahnya, seringkali perhatian manusiawi pada ayat tersebut menimbulkan rasa antusiasme dan menggebu-gebu dalam hati seseorang untuk melakukan poligami. Padahal tak memiliki biaya ataupun kemampuan untuk menghidupi anak-anak dan keluarga pertamanya, ditambah tangungan-tanggungan tambahan dari istri kedua beserta anak-anak yatimnya, sehingga ditakutkan malah jatuh pada “kesulitan”.
Kondisi tersebut ditakutkan hal pembagian atau perhatian antara anak-anaknya dan “anak-anak yatim” bisa menjadi tidak adil. Karena itu dalam an-Nisa ayat 3 dikatakan: “kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih efektif mengantisipasi tindak aniaya”. Di sini datang anjuran untuk tidak berpoligami dan mencukupkan diri dengan seorang istri saja, ketika takut akan tidak bisa bertindak adil.
Selama ini sebagian orang berpendapat bahwa firman Allah Swt: fa in khiftum an laa tak’diluu berarti: tidak berbuat adil di antara para istri dalam berhubungan intim (senggama). Pendapat ini tidaklah tepat, karena konteks ayat tersebut berbicara poligami dalam kaitannya dengan “pemahaman sosial kemasyarakatan”, bukan “konsep biologis (senggama)” dan berkisar pada (masalah) berbuat baik dan berlaku adil anak-anak yatim.
Karena itu, perintah Allah swt agar seorang suami mencukupkan diri seorang istri saja –berangkat dari pertimbangan: “yang demikian itu adalah lebih efektif mengantisipasi tindak aniaya”. Artinya dengan mencukupkan satu istri, seorang dapat menjauhkan diri dari belenggu kesulitan dan tindakkan tidak adil.
Poligami, Suami Tidak Harus Kaya
Oleh karena itu dalam An-Nisa: 127 Allah swt memberikan kemudahan untuk poligami (mengawini ibu dari anak-anak yatim), maka Allah swt memaafkan seorang laki-laki yang tidak memberikan maskawin dan mahar pernikahan dengan maksud mencari ridha Allah swt. Hal ini menampik pendapat selama ini seolah poligami diukur hanya dengan kemampuan ekonomi laki-laki.
Sebagian ada pendapat bahwa yataamaa an-nisaa’i dalam an-Nisa’ ayat 127 tersebut berarti “perempuan-perempuan yatim”. Akan tetapi, kata yataamaa dan an-nisaa’ ada hubungan merupakan mudlaf dan mudlaf ilaih, sehingga berarti: “anak yatim dari (atau milik) perempuan-perempuan”.
Kalau dilihat dari hubungan bahasa di antara kedua itu adalah sifah (sifat) dan maushuf (yang disifati), sehingga bermakna “perempuan-perempuan (yang) yatim”, yang ini berbeda dengan makna sebelumnya. Di sini kata an-nisaa’ adalah bentuk plural dari kata imra’ah, dan al-mar’ah adalah perempuan yang sudah mencapai usia nikah, dan sifat yatimnya hilang secara hukum bersamaan dengan sampainya usia nikah.
Berdasarkan ayat 6, “dan ujilah (didiklah) anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin…”, maka tidak ada nisaa’ yatiimaat (perempuan-perempuan yatim), karena kalau tidak demikian, maka aka nada juga rijal aytam (laki-laki yatim). Logikanya, bagaimana mungkin Allah memerintahkan agar berbuat baik dan berlaku adil pada anak-anak yatim, kemudian Allah memperbolehkan untuk tidak memberikan mereka mahar? Artinya mahar diberikan kepada perempuan-perempuan yang memiliki anak yatim: janda.
Masalah poligami itu sebenarnya sebagai jalan keluar bagi persoalan kemasyarakatan, yang mungkin terjadi dan mungkin tidak. Maksudnya kita harus melaksanakan perintah tersebut tatkala telah “terjadi problem” dan sebaliknya kita harus meninggalkannya: jika tidak terjadi problem.
Jika terjadi problem sosial (bukan problem seksual), lelaki boleh menikah lebih dari satu, dengan syarat kepada “janda yang memiliki anak-anak yatim”. Karena begitu mulianya ajaran ini, maka Allah pun meringankan mahar untuk mengawini janda-janda. Artinya poligami tidak harus menuggu kaya. Hal ini membantah bahwa selama ini poligami diukur dari kemampuan dalam ekonomi dan kemauan laki-laki.
Maksud dari Perintah Berpoligami
Sesungguhnya perintah berpoligami (berdasarkan dua alasan sebagaimana tersebut di atas) akan dapat mengurai berbagai “kesulitan sosial” yang dialami perempuan (janda) dalam hidup bermasyarakat. Pertama, adanya seorang lelaki di sisi seorang janda akan mampu menjaga dan memeliharanya agar tidak terjatuh dalam perbuatan yang keji.
Kedua, pelipat-gandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim di mana mereka tumbuh dan dididik di dalamnya.
Ketiga, keberadaan sang ibu di sisi anak-anak mereka yang yatim, senantiasa tetap bisa mendidik dan menjaga mereka. Hal ini dapat menjaga dan melindungi anak-anak yatim agar tidak menjadi gelangdangan serta terhindar dari kenakalan remaja. Meskipun lembaga penampungan anak-anak yatim memang telah memenuhi sebagian tempat tinggal bagi mereka, namun hal itu memisahkan mereka dari ibu kandung mereka.
Dari sini dapat dipahami bahwa maksud dan tujuan poligami adalah berkaitan dengan janda yang memiliki anak yatim, bukan laki-laki yang takut selingkuh dengan perempuan yang masih gadis.
Meluruskan Alasan Poligami
Selama ini masyarakat telah memisahkan masalah poligami dari titik pijak perintah poligami ditetapkan oleh Allah swt, yaitu: masalah anak-anak yatim. Pemahaman poligami masih kuat didominasi budaya patriarkhis yang memberikan kekuasaan yang luas bagi laki-laki untuk berpoligami dengan “berbasis keinginan” kapan dia mau, asalkan berani dan bisa adil dengan istri. Padahal dalam ayat tersebut, makna keadilan ditujukan kepada anak-anak yatim dari istri yang dipoligami.
Ada pendapat bahwa ketiadaan keturunan (mandul) dapat menjustifikasi laki-laki untuk berpoligami. Seakan-akan kemandulan adalah bencana yang datang dari pihak perempuan saja, dan tidak bisa menimpa lelaki. Bahkan ada juga pendapat yang mendukung poligami dengan alasan “syahwat biologis” biasanya membenturkan poligami dengan “praktik selingkuh” lebih baik berpoligami. Pendapat ini melupakan kenyataan, bahwa kasus yang sama (selingkuh) bisa menimpa juga pada perempuan. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa syahwat perempuan lebih besar daripada laki-laki. Jadi poligami dibolehkan karena darurat sosial, bukan darurat seksual.
Pendapat lain lagi misalnya, kelemahan perempuan dalam menjalankan fungsinya sebagai istri dikarenakan “sakit yang berkepanjangan” atau “kelemahan fisik” lalu memberikan kebebasan laki-laki untuk menikah lagi. Pertanyan balik: bagaimana jika seandainya yang sakit adalah laki-laki? Bolehkah perempuan menikah lagi supaya bisa memenuhi kebutuhan biologisnya, sehingga terhindar dari maksiat atau selingkuh?
***
Pendapat-pendapat di atas, kurang memiliki argumentasi yang kuat dalam Alqur’an. Narasi bahwa Allah swt memerintahkan berbuat baik dan berlaku adil kepada anak-anak yatim kurang populer dalam diskusi poligami. Padahal hal ini jelas landasan ayatnya, bahwa perintah poligami terkait dengan keadilan dengan anak-anak yatim dan perempuan janda yang dinikahi oleh seorang laki-laki. Akan tetapi, Allah swt memperingatkan agar monogami untuk waspada dari kelemahan dan kesulitan. Mari kembali kepada Alquran secara benar dan tulus.