Perspektif

Andai Buya Syafii Seorang Politisi

5 Mins read

Andai Buya Syafii adalah politisi, akan seperti apa jadinya? Sebelumnya patut kita simak terlebih dahulu kisah berikut.

Dalam sebuah diskusi, menjelang Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, beberapa aktivis mahasiswa IMM dan HMI bertanya kepada saya tentang siapa sosok yang bakal terpilih dalam Muktamar nanti?

Saat itu saya hanya menjawab: “Rasanya hampir pasti Pak Amien yang bakal terpilih. Namun, saya lebih sepakat jika Pak Syafii yang memimpin PP Muhammadiyah ini. Biarlah Pak Amien terus fokus berjuang untuk proses suksesi di negeri ini…”

Andai Buya Syafii Jadi Politisi

Sebagaimana kita ketahui, Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh begitu meresahkan pemerintah. Rezim Orba merasa sangat terganggu dengan isu suksesi yang dicetuskan oleh Pak Amien di depan Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1994 di Islamic Centre Surabaya.

Saat menyampaikan pidato di depan Muktamirin, Pak Harto hingga perlu menegaskan bahwa dirinya adalah bibit yang dilahirkan dari Sekolah Muhammadiyah.

Ungkapan yang bermakna sangat dalam. Tidak hanya untuk mengambil hati Muktamirin. Tetapi juga tersirat sebuah keinginan dari Sosok Penguasa Orba tersebut, agar Muhammadiyah jangan terlalu keras mengkritik dirinya yang juga adalah bibit Muhammadiyah.

Keyakinan dan kegembiraan terpancar dari segenap wajah Muktamirin. Jalan Pak Amien untuk melanjutkan jabatan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah tidak terbendung lagi.

Pak Amien meraih suara sangat mutlak dari pemegang hak suara Muktamar. Perolehan suara yang sangat fenomenal ditengah kontroversi ketiadaan restu dari Pak Harto untuk Pak Amien.

Restu dari “Bapak”, seolah telah menjadi syarat wajib bagi siapapun yang ingin memimpin, tidak terkecuali bagi seluruh Ormas dalam setiap hajatan Muktamar/Kongresnya.

Resistensi Terhadap Amien Rais

Jika boleh berandai-andai, saat Muktamar di Aceh itu rasanya sudah sangat pantas Pak Syafii Maarif tampil menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Jika boleh membayangkan, tentu akan berbeda jika sejak awal Muhammadiyah telah ikhlas secara total mewaqafkan Pak Amien menjadi Tokoh penggerak suksesi kepemimpinan nasional.

Pasti akan sangat menarik dan berbeda ceritanya jika Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh yang melahirkan keputusan itu. Bukan pada saat Tanwir Muhammadiyah di Semarang tahun 1998 yang baru mewaqafkan dan “menugaskan” Pak Amien untuk mendirikan PAN.

Baca Juga  Racun "Hari Kesehatan Nasional"

Meskipun warna ideologis Muhammadiyah tidak akan pernah luntur dari jiwa Pak Amien, namun Pak Amien perlu melepaskan secara simbolik baju Muhammadiyah-nya.

Terlalu kentalnya warna Muhammadiyah seorang Amien Rais, diakui atau tidak, menjadi salah satu sebab masih munculnya sikap alergi dan resistensi yang sangat besar dari kalangan Islam tradisional, maupun dari kalangan Islam abangan. Mereka umumnya merasa tidak nyaman, bahkan tidak jarang gampang terprovokasi oleh isu-isu yang memecah belah kekuatan politik umat Islam.

Andai Buya Syafii menjadi politisi, andaikata, saat Tanwir di Semarang tersebut digelar, lalu sepakat memutuskan Pak Syafii yang ditugaskan untuk mendirikan dan memimpin PAN, mungkin kini kita tidak akan mengalami “babak tambahan” atas semakin silang sengkarutnya partai rujukan utama warga Muhammadiyah ini.

Tanwir Semarang

Tanwir Muhammadiyah di Semarang menyisakan beberapa catatan. Betapa nyaris saja seorang Syafii Maarif akan “dipaksa sejarah” untuk menjadi seorang politisi.

Kami sedikit berbeda dengan arus mainstream Muhammadiyah. Saya dan beberapa kawan aktivis AMM di Malang, usai reformasi 1998, menilai bahwa sosok Pak Syafii Maarif mungkin lebih tepat menjadi pilihan untuk memimpin PAN. Sementara, Pak Amien cukup jadi “Dewan Pembina”-nya saja.

Saya membayangkan andaisaja Pak Syafii–yang kini kita  panggil Buya–saat itu bersedia memilih jalan sebagai seorang politisi, mungkin kita akan memiliki “varian” karakter lain dari politisi yang dilahirkan oleh Muhammadiyah. Karakternya yang keras dan lugas ketika menyikapi kemunkaran, namun lembut ketika memberikan tausiah dakwahnya kepada ummat yang dahaga akan kebenaran.

Buya Syafii, menurut saya adalah cerminan “politisi” yang berkepribadian. Andai Buya Syafii menjadi politisi tentu akan menjadi politisi yang selalu meletakkan moral kemanusiaan di atas semua kepentingan politiknya.

Saya meyakini bahwa Buya Syafii, yang galaknya sama dengan Pak Amien, akan mampu mewarnai pentas politik kebangsaan dan kenegaraan dengan cemerlang.

Namun, Buya Syafii memilih jalan dakwah yang relatif sunyi. Karena, baginya dakwah-lah yang dapat mempersatukan. Sementara, politik seringkali justru mengaburkan mana kawan mana lawan.

Baca Juga  Travel And Love - How They Are The Same

Jalan sunyi dan sepi yang ditempuhnya, justru mengantarkan Buya tampil menjadi Guru bangsa.

Kisah dari Yogyakarta

“Silahkan kalian demo tiap hari… tapi jaga itu aset kampus. Jangan sedikitpun dirusak atau dibakar ya…”

Kalimat itu begitu menukik ke inti persoalan. Sebentuk dukungan dan support moral yang begitu lugas dari Buya–waktu itu kami masih memanggilnya Pak Syafii–kepada kami.

Hari itu, 26 tahun yang lalu, di ruang kelas kampus IKIP Negeri Yogyakarta, Pak Syafii menerima kami seperti sedang membimbing mahasiswanya sendiri. Beliau langsung to the point menanyakan akar masalah apa yang kami hadapi.

Beliau tanpa sungkan meminta penjelasan lebih detail atas persoalan yang mendera kampus kami. Beliau mengatakan sangat respek dengan inisiatif kami sebagai mahasiswa. Beliau sangat yakin dengan obyektifitas masalah yang kami bawa. Beliau sangat percaya bahwa kami sebagai mahasiswa tidak punya “kepentingan” apa-apa.

Lontaran nasehat dan solusi yang Beliau berikan, menjadi darah segar bagi aksi-aksi kami.

Kisah dari Jember

Lain di Jogja, lain pula di Jember. Universitas Muhammadiyah Jember, kampus kami saat itu, telah menjadi salah satu kampus bergengsi di Jawa Timur. Prestasinya sudah banyak ditorehkan hingga kancah nasional. Grup Marching Band Unmuh Jember sering tampil menjadi juara, bahkan kerap menjadi langganan untuk tampil saat parade senja di Istana Merdeka.

Team kesebelasan Unmuh Jember beberapa kali menjadi Juara Pomnas, bahkan pernah tampil menjadi Juara Sepakbola tingkat Asia Tenggara.

Saat itu, team kesebelasan Unmuh Jember diperkuat oleh salah seorang Mahasiswa Fakultas Ekonomi yang bernama Hendro Kartiko. Kelak di kemudian hari, Hendro akan menjadi Kiper andalan Timnas RI, dan sempat memperkuat beberapa klub Sepakbola. Persebaya adalah salah satu klub yang pernah dibela oleh Hendro Kartiko.

Kampus Unmuh Jember yang didirikan pada tahun 1982, tumbuh sangat pesat. Hanya berselang lima tahun kemudian, Unmuh Jember sudah mampu membangun sebuah kampus terpadu. Mampu mendahului kampus UMM yang telah lebih dulu berkembang. Sebagai catatan, realisasi Kampus Terpadu UMM baru dimulai pada tahun 1992/1993.

Betapa pesatnya perkembangan kampus Unmuh Jember, tergambar secara sederhana dari pertumbuhan kawasan di sekitar kampus Unmuh di Jalan Karimata Jember.

Baca Juga  Hikmah Perjanjian Hudaibiyah: Buah Umat Islam Bersabar dan Bersyukur

Perumahan dan rumah kost untuk mahasiswa tumbuh bagai jamur di musim hujan.

Bahkan, saking banyaknya mahasiswa baru Unmuh Jember saat itu–pernah mencapai hampir 3000-an mahasiswa dalam satu angkatan, kawasan kampus Universitas Negeri Jember (Unej) di jalan Kalimantan-Jawa dan Sumatera di Kota Jember menjadi ikut bergeliat kencang.

***

Banyak bermunculan rumah kost baru, hingga warung-warung makan untuk melayani kebutuhan mahasiswa Unmuh Jember.

Banyak diantara Mahasiswa Unej yang berseloroh gara-gara mahasiswa Unmuh mereka jadi kesulitan mencari kost-kostan.

Di era itu, Unmuh Jember telah begitu royal memberikan beasiswa mandiri bagi dosen-dosen/staf pengajarnya untuk melanjutkan kuliah ke jenjang lanjut, baik Magister maupun Doktor.

Saking royalnya, Unmuh Jember juga menyediakan begitu banyak beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswanya dari berbagai kalangan. Tidak hanya terbatas bagi kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. Namun, beasiswa juga diberikan kepada para mahasiswa berprestasi. Baik yang berprestasi dari sisi akademik, hingga prestasi dari jalur minat dan bakat olah raga maupun seni.

Jika Hendro Kartiko memperoleh beasiswa sebagai aktivis olahraga berprestasi. Maka, Alhamdulillah, penulis mendapatkan beasiswa sebagai Aktivis Muda Muhammadiyah berprestasi, dan berhak tinggal di Asrama Mahasiswa di dalam komplek Kampus Terpadu Unmuh Jember.

Dukungan dan support Pak Syafii begitu menyemangati kami. Ketika kami pulang ke Jember, moral dan harapan segenap mahasiswa bangkit kembali. Bahkan, di kalangan dosen dan karyawan-pun ikut kembali bersemangat, menaruh harapan akan adanya perubahan kebijakan atas penanganan konflik yang telah terjadi di kampus kami.

Dukungan lugas Pak Syafii itu begitu berenergi. Beliau spontan mendukung aksi kami tanpa basa-basi. Sementara, di sisi yang lain, umumnya para Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang lain hanya menanggapi datar laporan kami. Mereka sekadar mendengar dan meminta kami bersabar…

Sedih rasanya, karena hingga selesai Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, masalah kampus kami tidak kunjung usai.

***

Di usiamu yang ke-85, semoga Engkau selalu menginspirasi bangsa. Barakallah fii umrik Buya.

Editor: Nabhan

Avatar
11 posts

About author
Santri Pengelana kelahiran Lamongan ini telah lama menyepikan dirinya dari dunia jurnalisme. Ia yang merupakan Kandidat Doktor Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan Sekolah Pascasarjana IPB ini, meniti karir sebagai Konsultan berbagai Project Bidang Pertanian, Perikanan dan Kelautan, serta Program-program Pengembangan Kawasan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan Republik Indonesia. Ia mengasah jiwa leadershipnya sejak IPM Sekolah Kader Lamongan. Pernah menjabat Ketua Umum DPD IMM Jawa Timur 2002-2004. Dan menjadi Wakil Sekretaris Bidang Kebijakan Publik LHKP PP Muhammadiyah 2010-2015. Kini, ia aktif sebagai Penasehat PRM Legoso-Ciputat.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds