Feature

Andai Thomas Djamaluddin Bertemu Abu Nawas

6 Mins read

KOTA Baghdad sedang resah. Tiba-tiba datang seorang asing membawa faham anti-Tuhan. Bolehlah ia disebut ateis. Orang ini mengajukan aneka pertanyaan provokatif yang mengajak penduduk Baghdad untuk tidak percaya kepada Tuhan. Ia meragukan keberadaan Tuhan melalui tiga pertanyaan.

Pertama, jika Tuhan itu ada, maka siapakah yang menciptakan-Nya? Kedua, umat Islam yang berbuat baik dijanjikan surga kelak di akhirat, makan dan minum sepuasnya, namun mereka tidak kencing dan berak; bagaimana mungkin itu terjadi? Terakhir, ajaran Islam mengajarkan bahwa setan dibuat dari api, tetapi akan disiksa di neraka, yang juga terbuat dari api. Ini sebuah kemusykilan yang sulit diterima nalar. Demikian orang asing itu menyimpulkan.

Pengaruh ketiga pertanyaan itu begitu kuat bagi masyarakat Baghdad, sehingga Khalifah Harun al-Rasyid pun dibuat bingung olehnya. Kemudian, seorang menteri memberi saran agar Khalifah memanggil Abu Nawas untuk mengatasi pertanyaan orang asing itu. “Abu Nawas selalu punya cara,” kata sang Menteri memberitahukan. Abu Nawas pun dihadirkan dan terjadilah dialog antara dia dan orang asing tersebut.

“Jika engkau mampu menjawab ketiga pertanyaanku, aku akan menyerah,” kata si orang asing dengan angkuh.

Abu Nawas yang telah tahu ketiga pertanyaan skeptis si orang asing, lalu mulai menjawab:

“Engkau bertanya tentang siapa yang menciptakan Tuhan, dan karena kau tidak mampu menjawab pertanyaan itu, lalu engkau mengatakan Tuhan tidak ada,” kata Abu Nawas memulai pembicaraan. “Aku punya pertanyaan sederhana untukmu: Berapakah 1+1?” tanya Abu Nawas lebih lanjut.

“Itu sama dengan 2,” jawab si atheis.

“Lalu berapakah 1+2?”

“Itu sama dengan 3?”

“Jadi, kesimpulannya semua angka di dunia ini dimulai dari angka 1. Tidak ada angka yang bisa meninggalkan angka 1. Tetapi pertanyaanku kepadamu, dari manakah angka 1 itu?”

Si orang asing itu berfikir keras untuk menjawab pertanyaan Abu Nawas. Lalu ia berkata, “Angka 1 itu sudah ada sebelum angka-angka yang lain, dan ia ada begitu saja, karena ia adalah permulaan.”

“Nah, jika engkau mengetahui begitu, seperti itulah asal-mula Tuhan. Menjawab dari mana angka 1 saja engkau tidak mampu, lalu engkau bertanya tentang penciptaan Tuhan.”

Abu Nawas melanjutkan: “Lalu, engkau bertanya tentang orang di surga yang tidak kencing dan berak, sementara mereka makan dan minum sepuasnya. Sebelum engkau lahir ke dunia, bukankah engkau berada di kandungan ibumu? Bukankah engkau juga makan dan minum melalui apa yang dimakan ibumu? Apakah engkau kencing dan berak selama di dalam kandungan? Pasti tidak. Seperti itulah gambaran orang yang berada di surga,” terang Abu Nawas.

Baca Juga  Warganet Indonesia untuk Palestina (3): Julid Fisabilillah sebagai Gerakan Humanisme Kosmopolitan

“Baik. Aku menerima jawabanmu atas pertanyaanku yang ke dua. Lalu bagaimana dengan pertanyaan terakhir?”

Alih-alih menjawab, Abu Nawas melangkah mendekati si orang asing dan menampar pipinya. Kaget dengan tindakan Abu Nawas, si orang asing marah dan bertanya dengan nada tinggi: “Apa maksudmu menampar pipiku?”

“Pipimu terbuat dari daging dan tulang, demikian juga dengan tanganku. Ketika aku tampar wajahmu dengan tanganku, apakah engkau merasakan sakit?” tanya Abu Nawas.

“Tentu saja sakit,” jawab si orang asing.

“Begitulah dengan setan dan neraka. Meskipun keduanya terbuat dari api, tetap saja setan mampu merasakan siksa Allah di neraka. Persis seperti pipimu yang merasakan rasa sakit karena tamparanku, meskipun sama-sama terbuat dari daging dan tulang.”

***

Abu Nawas ternama sebagai seorang yang memiliki logika jitu. Ia bisa melemahkan argumen-argumen lawan bicaranya dengan logika sederhana tapi tak terbantahkan. Logika-logika yang dibantah Abu Nawas, pada umumnya adalah fake argument atau boleh juga disebut sebagai pseudo-scientific argument, yakni argumen yang seolah-olah benar, tetapi perenungan mendalam atas hakikat argumen itu akan menunjukkan kesalahannya. Entah karena kesalahan pengambilan kesimpulan atau karena kesalahan postulat awal yang menjadikan argumen itu lahir.

Contoh dialog di atas adalah salah satu keliahaian argumentasi Abu Nawas. Abu Nawas mampu membuat lawan bicaranya menyerah, tanpa harus menghinakannya. Sang lawan bicara bisa saja malu karena logika-logika yang dibangun ternyata tidak kokoh, tetapi cara Abu Nawas mematahkan argumen tanpa disertai dengan delegitimasi personal. Abu Nawas fokus pada substansi argumen. Karena fokus pada substansi argumen inilah, maka Abu Nawas tidak ingin mencampuradukkan substansi logika dan kepribadian.

Tentu saja, dalam situasi tertentu, Abu Nawas seringkali memberikan pelajaran kepada lawan bicaranya dalam konteks di luar substansi argumentasi. Akan tetapi, itu terjadi manakala masalah yang dihadapi oleh Abu Nawas berkaitan dengan integritas pribadi. Seperti kisah Abu Nawas dan seorang tabib yang menipu masyarakat.

Ketika di tengah masyarakat tengah terjadi kegaduhan sebagai lanjutan dari perbedaan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1444 H, menghadirkan logika argumentasi Abu Nawas ini menjadi penting. Perbedaan waktu perayaan antara Muhammadiyah dan Pemerintah, direspon secara beragam oleh berbagai kalangan masyarakat. Kalangan awam, pada umumnya akan mengikuti saja arus utama yang berkembang. Namun, kalangan terpelajar, tak hanya mengikuti arus utama, tapi juga menghadirkan argumentasi dan logika.

Thomas Djamaluddin, seorang profesor riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah di antara kalangan terpelajar yang secara konsisten merespon perbedaan hari raya itu dari tahun ke tahun. Mengusung klaim ingin menyatukan umat dan mengakhiri perbedaan hari raya yang selalu terulang saban tahun, Thomas mengusung argumen dan logika tertentu untuk melegitimasi sebuah sikap. Itu sah dalam dunia ilmiah. Sayangnya, di samping membangun argumen, Thomas juga membangun sinisme pada individu atau kelompok yang memiliki argumen dan logika berbeda.

Baca Juga  Islam Rahmatan lil Alamin: Bedanya Misi Nabi dan Misi Kita

Salah satu pokok masalah yang dikritik oleh Thomas Djamaluddin dari Muhammadiyah adalah berkaitan dengan persoalan agama yang melibatkan penemuan dan inovasi saintifik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam agama. Penentuan hari raya adalah persoalan ijtihadi, yang berlaku prinsip “jika benar mendapatkan dua pahala, dan jika salah mendapatkan satu pahala,” yang tentu saja sangat terbuka bagi perbedaan.

Dalam proses ijtihad, ada prinsip-prinsip dasar fiqhiyyah yang mesti difahami, dan karena zaman berkembang, “intervensi” ilmu pengetahuan dalam proses ijtihad tidak bisa dihindari. Meskipun demikian, prinsip-prinsip pengarahnya adalah fiqih.

Jelasnya begini, penentuan hari raya adalah masalah fiqih. Karena ilmu pengetahuan berkembang, maka menggunakan perangkat ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan fiqhiyyah adalah penting dan mendasar. Akan tetapi, hal paling mendasar yang melekat pada produk ijtihad adalah perbedaan. Perbedaan metode melahirkan perbedaan kesimpulan, meskipun bertumpu pada satu sumber yang sama. Akan tetapi dalam ranah pemikiran hukum Islam, perbedaan itu sama sekali tidak menjadi masalah, karena semua berbasis pada sumber dasar hukum Islam, yang lazim dikenal dengan istilah syari’ah.

Tegasnya lagi, perbedaan penentuan hari raya itu adalah produk fiqih, sementara menjalankan puasa dan hari raya adalah syari’ah. Sepanjang aspek syari’ah ini tidak dilanggar, perbedaan fiqhiyyah adalah hal lumrah. Ini terjadi sepanjang zaman.

Muhammad Qasim al-Mansi, seorang guru besar bidang syari’ah dari Universitas Darul Ulum, Kairo, Mesir, menyebut empat ciri hukum Islam (baik dalam arti syari’ah maupun fiqih), yakni: al-syumul (komprehensif), al-umūm (global), al-tsabat (konstan), al-murunah (dinamis). Bahwa ada prinsip-prinsip dasar yang tidak berubah dari agama (al-tsabat), sementara pada saat yang sama, ada hal-hal yang boleh berkembang mengikuti logika zaman (al-murunah), sepanjang tidak menyelisihi prinsip-prinsip dasar hukum Islam.

Mengikuti sejumlah argumen yang dikembangkan Thomas, saya menyimpulkan bahwa Thomas telah menjadikan perangkat ilmu pengetahuan yang ia miliki bukan sebagai alat bantu untuk memecahkan persoalan fiqhiyyah, tetapi sebagai poros. Itu sangat mungkin terjadi, karena dia lupa persoalan yang sedang dibahas bukan semata-mata soal ilmiah, tetapi juga soal fiqih. Ia menguasai ilmu pengetahuan, tetapi gagal mencapai pemaduaannya dengan ilmu fiqih. Sehingga terjadi pemutlakan atas produk pemikiran ijtihadi.

Prinsip al-murunah dalam hukum Islam memang membuka peluang bagi pelibatan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Akan tetapi, keputusan akhir dari sebuah pemikiran fiqih tidak semata-mata didasarkan pada ilmu pengetahuan, namun juga hasil kerjasama intensif dan komplementer dari berbagai unsur. Maka dalam penyelesaian masalah fiqhiyyah, ilmu pengetahuan adalah alat bantu dan bukan satu-satunya faktor yang memutuskan.

Baca Juga  Abid Al-Jabiri: Tiga Epistimologi Ini Bantu Kamu Memahami Islam Secara Utuh

Inilah yang dalam khazanah ilmu fiqih kontemporer disebut dengan ijtihad jama’iy atau ijtihad kolektif. Makna kolektif di sini bukan hanya bersama oleh banyak ahli dari disiplin ilmu agama saja, tetapi juga bersama dalam arti banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu.

Mungkin Thomas Djamaluddin melupakan atau tidak tahu akan hal ini. Tapi rasanya, sebagai seorang profesor riset, mustahil hal mendasar begini dia tidak tahu. Mungkin dia sedang khilaf. Tetapi, apa kekhilafan itu harus berlangsung bertahun-tahun?

Andai Thomas Djamaluddin mengadopsi metode silogisme Abu Nawas, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tetapi, tentu saja Abu Nawas bukan Thomas Djamaluddin dan sebaliknya. Silogisme inilah yang tidak terjadi pada Thomas Djamaluddin. Dia berargumen. Melawan suatu argumen tertentu. Sayangnya, proses pembangunan argumen yang ia lakukan ternodai oleh “fokus samping” atau side focus. Ia tak hanya fokus pada substansi argumen, yang sebenarnya merupakan unsur paling utama. Tetapi juga tergoda untuk “mempermalukan” sang pemilik argumen. Inilah fokus samping yang tak perlu.

Pelajaran penting yang bisa dipetik dari aneka perdebatan seputar hari raya ini adalah:

Pertama, dalam proses membangun argumentasi, fokuslah pada substansi argumentasi. Obyektivitas mutlak memang sebuah kemustahilan bagi manusia, tetapi sejak awal obyektivitas harus diusahakan. Salah satu ikhtiar menjaga obyektivitas adalah dengan fokus pada substansi argumentasi.

Kedua, mendebat gagasan atau argumen, tidak perlu dibawa terlalu jauh pada tujuan “menyudutkan” pemilik argumen, karena itulah awal mula bias pandangan timbul. Ini untuk menjaga agar dalam mencari kebenaran, pihak yang pada akhirnya terbukti mengusung argumentasi yang salah, tidak dipermalukan.

Ketiga, jika di luar argumen dan logika ada unsur integritas, maka pada wilayah ini, memberikan penyadaran pada masalah integritas itu menjadi penting. Namun tentu saja, semua harus dibawa dalam kerangka menang tanpa ngasorake atau menang tanpa harus membuat pihak lain merasa kalah, apalagi merasa tersinggung.

Editor: Soleh

37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds