Setiap kali menulis, baik opini, artikel jurnal, bagian buku, ataupun resensi, saya selalu memiliki rasa puas diri atas hasil kerja keras tersebut. Kepuasaan ini menjadi bertambah ketika kemudian sudah diterbitkan dan gagasan yang saya tuliskan menemukan pembacanya.
Sayangnya, kondisi ini membuat saya terlena, mengakibatkan tidak produktif menulis dalam proses selanjutnya. Sementara itu, waktu terus berjalan, dari detik ke menit, jam ke hari, dan minggu ke bulan. Setelah akhir tahun datang, saya tidak sadar bahwasanya sebenarnya saya belum mengerjakan tulisan yang lain di tengah waktu luang yang saya miliki.
One Week Two Articles
Rasa puas diri setelah menulis ini seperti berkarya dalam dunia seni. Selain membutuhkan waktu lama untuk melakukan proses produksi berkarya, ada upaya pencarian ilham, dan mengkondisikan kesiapan emosi dan mental dalam berkarya. Kerja menulis, dengan demikian, tidak ubahnya seperti dunia kreatif.
Ada momentum di mana orang sangat produktif. Ada waktu juga di mana kemudian orang jeda lama tidak berkarya. Namun, jika pola ini diterapkan akan berbahaya untuk saya di tengah kemunculan pengetahuan-pengetahuan baru yang terus datang dan di tengah isu-isu baru yang perlu diringkus ke dalam tulisan.
Apalagi, kerja di lembaga riset, apa yang saya tulis, meskipun tidak mendatangkan koin, setidaknya bisa mendatangkan poin. Ditambah lagi, selain menemani anak-anak bermain di rumah tentunya, dengan keluangan waktu dimiliki, tidak menulis sebenarnya bukan alasan. Di sini, menulis sebagai bagian dari aktivitas industri harus saya terapkan.
Sejak tahun 2017, saya membangun motto sendiri untuk memotivasi menulis. Selain tentu saja, untuk terus aktif menulis artikel jurnal, bagian buku, dan menghadiri konferensi, nasional dan internasional, saya mencoba untuk menulis setiap minggu artikel populer. Motto itu saya sebut dengan One Week One Article.
Selama proses berjalan menerapkan semua itu, rencana yang saya niatkan ternyata tidak cukup berhasil, khususnya menulis artikel setiap minggu. Ada banyak bolongnya. Akhir tahun 2017, saya mencoba mengejar ketertinggalan tersebut, ternyata bisa memenuhi. Meskipun harus diakui, dari one week one article itu tidak semua tulisan diterima oleh media online saat saya mengirimkan tulisan. Tulisan yang tidak dimuat itu sekedar saya simpan dalam folder dokumen.
Motivasi dari Giddens
Berbekal kemampuan dan tradisi tahun 2017 ini, saya mencoba untuk melipatkan kuantitas tulisan, dengan memperbarui motto, One Week Two Articles (OWTA) pada tahun 2018. Motto ini dengan keras bisa saya praktikkan. Meskipun berhasil, mental saya sempat turun. Ini karena, produktivitas menulis itu tidak seiring dengan karya yang diterbitkan di media online.
Hampir 7 artikel pendek yang saya kirimkan belum ada jawaban apakah ditolak ataupun diterima. Jujur, kondisi menggantung ini membawa perubahan psikologis dan prilaku keseharian saya. Setidaknya, saya membutuhkan waktu 3 hari untuk menstabilkan kekacauan ini, yang membuat saya kemudian tidak menulis. Melihat hampir setiap minggu tulisan saya dimuat, kini saya merasakan gigit jari selama 2 Minggu tulisan tak kunjung muncul.
Salah satu cara untuk menstabilkan emosi itu adalah mencari informasi, baik wawancara ataupun video terkait dengan proses menjadi sarjana. Saya percaya selain keluarga, tidak ada lagi orang yang bisa memotivasi diri saya kecuali saya sendiri. Melalui wawancara Christopper Pierson (1998) dengan Anthony Giddens dengan judul Conversation with Anthony Giddens: Making Sense of Modernity, saya mendapatkan kutipan menarik terkait dengan totalitas Giddens mengapa ia menekuni dunia kesarjanaan dan melahirkan sejumlah karya yang dikutip, dibaca, dan menjadi perdebatan dalam ilmu sosial.
Giddens ini awalnya ingin menjadi PNS. Ia tidak ingin bercita-cita menjadi akademisi. Namun, dalam perjalanannya, tesis S2 yang dikerjakan itu ternyata cukup tebal dan selevel dengan disertasi S3. Ia kemudian mengikuti beberapa fellowship di Amerika Serikat.
Bertolak dari sini, ia membangun tekad untuk nyebur sekalian dengan mantab untuk menempuh jalur ini dengan membangun tekad diawal karirnya, “Saya ingin melihat kembali perkembangan pemikiran sosial masa lalu dengan mengembangkan framework metodologi untuk ilmu sosial dan kemudian menganalisisnya dengan kekhasan modernitas. Apa yang saya lakukan ini lebih dari cukup dan membuat saya bisa menyibukkan diri,” ujar Giddens.
***
Memang, mustahil bagi saya bisa seperti Anthony Giddens. Namun, spirit totalitas atas kerja-kerja akademik yang dilakukan merupakan contoh tepat. Disiplin, kerja keras, dan konsisten merupakan tiga hal setidaknya yang membuat Giddens bisa berkarya begitu banyak dan menjadi rujukan banyak orang. Pertanyaannya, apakah saya sanggup? Ya harus sanggup.
Saya sudah bekerja menjadi peneliti dan dibayar bukan untuk mengeluh, tapi untuk membaca, menulis, dan meriset. Totalitas, mau tidak mau, harus saya lakukan. Karena saya percaya, apapun bidang yang kita geluti, memiliki karya itu untuk diperlihatkan kepada orang itu penting sebagai tolak ukur bahwasanya kita memiliki atribut yang selama ini kita lekatkan.
Editor: Yahya FR & Nabhan