Saat menyimak teman saya yang bertanya dalam salah satu grup WhatsApp soal apa agama Didi Kempot saya agak jengkel. Mengapa masih ada orang Islam, bertanya tentang agama seorang tokoh publik saat ia wafat?
Agama dan Didi Kempot
Saya tidak menahu mengapa orang begitu mudah melihat bagaimana menilai seseorang hanya dari kalimat pertanyaan sesimpel “agamamu apa?”
Saya jadi ingat saat masa kecil saya di sekolah negeri dan saya berjumpa dengan kawan-kawan lintas agama. Saya bergaul, berbagi tanpa harus disibukkan dengan pertanyaan yang tak masuk akal “agamamu apa?”
Lebih jengkel lagi saat saya menjawab pertanyaan teman saya yang singkat itu. Ia seorang mualaf. Dan segera jemarinya mengetik, “Alhamdulillah yah kalau Islam”.
Mengapa sikap kita menjadi begitu sempit saat melihat Indonesia, lebih dalam lagi saat melihat manusia dengan aneka kebaikan, daya hidup dan etos religiusitas dalam lakunya. Lalu kita menyempitkan semua itu dengan pertanyaan simpel saat ia mau mati : “Agamamu apa?”
Peristiwa kematian Didi Kempot dan gaduhnya medsos yang meributkan apa agama Didi Kempot adalah sejenis puncak dari peradaban yang kaku, keras dan juga kolot. Orang sering melihat agama dari sisi permukaan semata.
Romo Sindhunata menulis Orbituari yang sangat indah dan manusiawi mengenai Mas Didi Kempot di harian Kompas. Akankah kita akan menghujat dan memaki habis-habisan hanya karena yang menulis orbituari seorang Romo?
Beragama, Tapi Berlaku Sebaliknya
Saya jadi ingat pepatah Melayu “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Artinya orang meninggal dilihat dari karya, hidup, dan dedikasinya.
Kita tidak dibiasakan hidup untuk saling mengenal, saling menyelami satu sama lain. Orang sering dan terlena melihat perbedaan tanpa melihat sedikitpun persamaan.
Kabar yang cukup buruk justru muncul saat penelitian Indeks Kota Islami yang sempat diteliti oleh Maarif Institute. Hasilnya mengejutkan kota-kota yang menerapkan perda syariah di Indonesia justru menunjukkan kurang toleran. Yogyakarta saja menjadi kota yang dinilai sebagai kota yang sering terjadi gesekan antar agama.
Apa gunanya kita mengaku beragama paling santer sementara laku kita justru sebaliknya?. Para koruptor dan para penguasa culas itu nampak secara fisik dan ragawi beribadah dan sholeh. Akan tetapi perilakunya membuat kita terhenyak.
Agama Cinta Didi Kempot
Apa yang dipersembahkan Didi Kempot melalui lagunya, melalui hiburan yang ia dendangkan adalah datang dari cinta kasih. Dan kita tahu, cinta kasih amat teramat universal.
Fenomena dosen beragama Islam mengajar di kampus Katolik sudah biasa di Indonesia. Dan tidak banyak orang menanyakan agamanya apa. Begitu pula saat kita melihat para ilmuwan asing ke Indonesia untuk meneliti Indonesia. Kita hampir tidak pernah menyinggung soal agama mereka apa.
Tetapi saat Didi Kempot meninggal, mengapa masih banyak yang bertanya apa agama Didi Kempot?
Saya jadi ingat puisi Joko Pinurbo, “Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu”. Agama Didi Kempot adalah agama cinta. Ia telah meninggalkan cinta dan kasih mendalam sebagai manusia. Gus Dur pun pernah berkata:
Jika kamu terus-menerus berbuat kebaikan, orang tidak pernah bertanya agamamu apa
Gus Dur
Editor: Nabhan