Ar Ruju’ Ilal Qur’an Wa Sunnah yang dalam Bahasa Indonesia berarti kembali merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah slogan yang sangat familiar di kalangan warga Muhammadiyah. Slogan ini dinisbatkan kepada para tokoh reformis muslim seperti Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh sampai Muhammad bin Abdul Wahhab. Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah juga menjadi ciri khas kelompok muslim modernis yang membedakan mereka dengan kelompok tradisionalis.
Sebab Munculnya Slogan Ar Ruju’ Ilal Qur’an Wa Sunnah
Tesis kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah muncul sebagai anti tesis metodologi keagamaan Islam yang terlalu bertumpu kepada khazanah kitab kuning. Asumsi bahwa segala persoalan keagamaan telah lengkap dibahas oleh para ulama terdahulu membuat kitab kuning yang juga disebut turats menjadi rujukan utama dalam menjawab setiap persoalan keagamaan.
Aktifitas yang dilakukan para ulama pada akhirnya berkutat pada dua hal yakni mensyarah kitab kuning yang telah mapan atau meringkasnya. Hal ini oleh Sebagian cendekiawan muslim disebut al qira’ah al mutakarrirah (pembacaan yang mengulang-ulang). Salah satu penyebab dari kondisi ini adalah kredo bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sebuah kredo yang lahir dalam rangka menyelamatkan ilmu agama dari pihak yang tak kompeten, namun belakangan menyebabkan stagnasi dalam pemikiran Islam.
Kemudian muncul beberapa tokoh yang telah penulis sebut di atas yang mencoba mendobrak stagnasi dengan satu slogan, yakni kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Muhammadiyah termasuk diantara kelompok yang terpengaruh oleh seruan ini.
Bagaimana Cara Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah?
Sayangnya kemunculan slogan ini bukan tanpa persoalan, melainkan menimbulkan pertanyaan lanjutan. Bagaimana cara kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang benar? Belum lagi menghadapi sanggahan dari kelompok tradisionalis yang menganggap doktrin ini salah bahkan berbahaya. Menurut mereka cara yang tepat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah dengan mengikuti ulama. Karena ulama yang lebih paham Al-Qur’an dan Sunnah dibanding orang awam.
Memang benar, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah slogan yang absurd jika kita tidak menjelaskan soal metodologinya. Maka jangan heran, kelompok salafi menambahkan frase setelah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, yakni sesuai dengan pemahaman salafush shalih. Artinya metode kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah ala Salafi adalah menjadikan generasi salaf ash shalih sebagai rujukan utama dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah.
Lantas bagaimana dengan Muhammadiyah? Bagaimana pemahaman kembali Al-Qur’an dan Sunnah ala Muhammadiyah? Untuk menjawab hal ini mari kita buka Matan Keyakinan dan Cita-cita Muhammadiyah (MKCHM) poin ketiga. Disana disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur’an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Sangat jelas bahwa metode kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam Muhammadiyah adalah dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Muhammadiyah tidak mengharamkan penggunaan akal pikiran dalam agama.
Tentu menurut Muhammadiyah, akal pikiran adalah alat untuk berijtihad, bukan sumber hukum. Ini yang membedakan Muhammadiyah dari Muktazilah. Muhammadiyah juga tetap memberi catatan, bahwa penggunaan akal pikiran harus tetap dengan jiwa ajaran Islam. Artinya penggunaan akal pikiran tetap tidak bisa menabrak hal-hal yang sifatnya qath’iy dalam agama.
Langkah Praktis Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana langkah-langkah operasionalnya? Bagaimana contoh konkret memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan akal pikiran ini? Jawabannya adalah memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan ilmu ushul fiqh. Ushul fikih merupakan alat untuk mengolah nash Al-Qur’an dan Sunnah menjadi produk hukum berupa fatwa yang siap digunakan.
Majelis Tarjih dan Tajdid selaku punggawa pemikiran keagamaan di Muhammadiyah mengeluarkan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Manhaj ini adalah metode bagaimana Muhammadiyah mengeluarkan suatu hukum. Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang lama, Majelis Tarjih menggunakan pendekatan bayani, qiyasi/ta’lili, dan istishlahi. Sementara dalam Manhaj Tarjih yang baru, pendekatan yang digunakan adalah bayani, burhani dan irfani.
Artinya, kembali kepada Al Qur’an dan sunnah ala Muhammadiyah adalah mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah dengan akal pikiran sebagaimana telah dirumuskan dalam mahaj tarjih Muhammadiyah yakni bayani, burhani, dan irfani.
Muhammadiyah Anti Kitab Kuning?
Pertanyaan terakhir, lantas bagaimana posisi kitab kuning dalam Muhammadiyah? Yang di dalamnya memuat pendapat ulama? Jangan salah paham. Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah bukan berarti meninggalkan sama sekali turats. Bahkan jika kita sering membaca fatwa tarjih, sering masih kita temukan pendapat ulama mazhab di sana.
Bedanya, dalam metode kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kitab kuning menjadi referensi sekunder setelah nash Al-Qur’an dan Kitab Hadits Induk. Sementara dalam metode kelompok tradisionalis, kitab kuning diposisikan sebagai sumber primer.
Wallahu a’lam bish shawwab
Editor: Soleh