Fatwa

Apa Hukum Membaca Al-Qur’an Dengan Pengeras Suara?

3 Mins read

Kita harus secara cerdas bisa membedakan antara urusan ibadah dan bukan urusan ibadah. Dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah, disebutkan bahwa ibadah adalah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Yaitu dengan jalan menaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-laranga-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah.

Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum adalah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. Sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah, dan cara-cara yang tertentu. Sedangkan yang bukan urusan ibadah adalah semua hal yang di luar urusan itu.

Membaca Al-Qur’an termasuk salah satu urusan ibadah, yaitu ibadah umum yang akan mendatangkan pahala dan rahmat bagi orang yang melaksanakannya. Sedangkan pengeras suara bukan urusan ibadah, melainkan hanya sebagai sarana saja.

Orang yang membaca Al-Qur’an dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, akan mendapatkan rahmat dari Allah. Sebagaimana yang tersebut di dalam Q.S. al-A’raf (7): 204 sebagai berikut:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”

Rahmat Allah itu akan didapatkan jika mendengarkan dan memperhatikan bacaan Al-Qur’an dengan baik. Bukan karena dikeraskan dengan pengeras suara. Jika tujuan menggunakan pengeras suara adalah agar lebih banyak orang yang mendengarkan dan untuk syi’ar, maka hal tersebut merupakan tujuan yang baik. Namun hal itu tidak menjamin semua orang akan mendapatkan rahmat karena bacaan Al-Qur’an dengan pengeras suara tersebut. Hanya orang-orang yang mendengarkan dan memperhatikan saja yang akan mendapatkan rahmat.

Pengeras suara merupakan alat atau sarana, yang bila digunakan pada tempatnya,  merupakan sesuatu yang baik dan membantu. Dan bila disalahgunakan, akan menimbulkan gangguan, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar itu sumbang.

Baca Juga  Bolehkah Menghias Masjid dengan Kaligrafi?

Dalam hal membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau berdoa, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat Islam, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Isra’ (17): 110;

قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَـنَ أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً

Artinya: Katakanlah; Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (al-Asmaa al-Husna) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”

Dalam tafsir Ibnu Katsir terdapat beberapa riwayat yang menyangkut asbabun-nuzul ayat ini yang dapat dijadikan jawaban atas pertanyaan Bapak. Pertama, menurut Ibnu Abbas, Rasulullah saw. pernah mengeraskan suara beliau ketika membaca Al-Qur’an dan orang-orang musyrik mendengarkannya dan memaki beliau. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut sebagai petunjuk bagaimana seharusnya membaca atau berdoa. Jika demikian,  dapat dikatakan bahwa jika suara keras dalam bacaan atau doa menimbulkan gangguan terhadap orang lain, melahirkan pandangan negatif atau makian dari pihak lain, maka sebaiknya suara dikecilkan sehingga tidak berakibat buruk.

Kedua, Nabi saw pernah mendengar Abu Bakar ra berada di rumahnya. Abu Bakar berdoa dan membaca Al-Qur’an dengan suara yang sangat lembut. Sebaliknya, ketika melewati rumah Umar r.a., beliau mendengar suaranya sedemikian keras. Keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Bakar, mengapa terlalu mengecilkan suaranya, Abu Bakar menjawab: “Aku berbicara dengan Tuhanku (dan) aku merasa tidak perlu mengeraskan suara karena Dia telah mengetahui kebutuhanku”. Sementara Umar yang ditanya soal kerasnya suaranya menjawab: “Aku menghardik syetan, dan membangunkan yang sedang sangat mengantuk atau tertidur”.

Pengeras Suara: Dasar Hukumnya Boleh

Berdasarkan dua riwayat di atas, yang dianjurkan oleh ayat tersebut bisa berarti anjuran untuk mengeraskan suara pada saat tertentu dan mengecilkan pada saat yang lain. Misalnya memperdengarkan bacaan Al-Qur’an dengan pengeras suara pada waktu-waktu sebelum adzan agar orang-orang bersiap-siap untuk salat. Sebelum pengajian, sore hari menjelang berbuka, dan waktu-waktu yang lain.

Baca Juga  Fatwa MUI: Pedoman Pengurusan Jenazah Muslim Terinfeksi COVID-19

Mengecilkan pengeras suara misalnya pada waktu tengah malam atau siang hari dimana orang-orang sedang beristirahat, pada waktu salat, dzikir, dan lain sebagainya. Dapat juga berarti perintah untuk tidak membaca terlalu keras sehingga mengganggu dan tidak pula terlalu kecil sehingga tidak terdengar oleh mereka yang butuh mendengarnya.

Kita harus mempertimbangkan antara manfaat membaca Al-Qur’an dengan pengeras suara dan madharatnya, dan uraian di atas telah mejelaskanya. Dalam urusan ibadah, maka mengantisipasi kemadharatan hendaknya lebih didahulukan daripada menarik kemashlahatan.

Jika demikian, maka tentunya membaca Al-Qur’an tidak harus dengan pengeras suara apabila dirasa waktunya tidak tepat dan dikhawatirkan akan mengganggu pihak lain. Akan tetapi, tentu saja tidak ada salahnya kita menggunakannya pada saat-saat tertentu dengan tujuan syiar selama tidak mengganggu.

.

Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No.15 Tahun 2014

.

Editor: Yahya FR

Related posts
Fatwa

Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

2 Mins read
Di era banjirnya informasi yang tak dapat terbendungkan, segala aktivitas manusia nampaknya bisa dilacak dan diketahui dari berbagai media sosial yang ada….
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang Tarekat Shiddiqiyyah

4 Mins read
IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang…
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang HTI

2 Mins read
Pemerintah Indonesia resmi mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017. Dengan pencabutan status tersebut, HTI resmi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *