Tak jarang kita membaca kabar tentang sengketa di media sosial terkait pembagian harta warisan. Tak jarang pula, pembagian ini berakhir tragis. Baru-baru ini, dibuat aplikasi bagi waris dengan metode forward chaining berbasisweb. Pengguna hanya memasukkan data ahli waris, muwarits, dan harta tanpa harus menghitung satu persatu bagian harta setiap ahli waris.
Aplikasi ini meminimalisir kesalahan dan menambah keakuratan dalam hasil perhitungan, karena di dalamnya sudah dimasukkan data-data sesuai rumus faraidh. Bahkan, aplikasi dilengkapi dengan rujukan ayat dan hadis.
Apakah Hukum Waris Islam Masih Relevan?
Salah satu mantan menteri agama, Munawir Syadjali (1983-1992) menyebutkan bahwa hukum bagi waris Islam tidak relevan lagi. Perbandingan 2:1 antara laki-laki dan perempuan dianggap tidak cocok dan menggagas pembagian antar keduanya disamaratakan, yaitu 1:1.
Gagasan ini mucul karena realita di lapangan tidak lagi hanya laki-laki yang bekerja di luar rumah. Namun juga, perempuan punya hak yang sama untuk bekerja di luar rumah (publik).
Pembagian waris dalam Islam bersifat otoritatif, berdasarkan keputusan Allah. Islam memberikan bagian ganda kepada laki-laki. Sejatinya, hukum ini bukan berarti tanpa alasan.
Hukum Islam menganut prinsip patrilineal yang berdampak pada keharusan menanggung nafkah perempuan (istri) dan seluruh keluarga. Sedangkan, perempuan tidak dibebani siapapun, boleh menyimpan hartanya sendiri tanpa kewajiban memberi nafkah atau kontribusi pada keluarga. Lain lagi dengan hukum membayar mas kawin dan hadiyah. Semuanya adalah beban yang dipikul oleh laki-laki.
Syariat Islam meletakkan aturan dan waris pada sistem menjemen kekayaan terbaik, terbijak, dan teradil. Agama Islam menetapkan adanya kepemilikian seseorang atas kekayaannya, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cara dilegalkan hukum syariat (42).
Pembagian harta warisan adalah sesuatu yang sangat sensitif. Ini dibuktikan dengan hadis nabi Saw, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarilah orang-orang ilmu itu karena aku adalah orang yang akan mati. Sedang, ilmu itu diangkat dan fitnah akan bermunculan. Sehingga, bertengkar dua orang tentang pembagian warisan lalu mereka tidak menemukan seorangpun yang sanggup melerai mereka”.
Salah satu mufassir klasik asal Cordoba, Andalusia, Spanyol, Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ilmu faraidh adalah seluhur-luhurnya ilmu para sahabat dan seagung-agungnya pemikiran mereka. Akan tetapi, ilmu ini telah benar-benar disiakan oleh banyak orang (9).
Sebab itu, pendistibusian harta warisan yang tidak sesuai dengan syariat, tidak adil, dan cenderung menzalimi, akan memicu pertengkaran dalam keluarga. Hingga tak jarang berakhir pertikaian.
Oleh sebab itu, agama hadir sebagai pengatur sendi-sendi kehidupan manusia. Pembagian warisan secara tidak adil disebabkan oleh ketidaktahuan para pihak tentang tatacara membagi warisan.
Ringkasan Buku
Buku yang diterjemahkan dari kitab berjudul al-Mawaris fi Syari’ah al-Islamiyah dengan pengarang Muhammad Ali al-Shabuni ini merupakan salah satu buku paling komprehensif.
Kontennya mengupas tentang hukum waris berlandasan Al-Qur’an dan hadis. Ruang lingkupnya pun luas dan mendalam, baik dari pengertian mawaris hingga pihak-pihak yang berhak mendapatkan harta warisan serta jumlahnya.
Ilmu ini menciptakan keadilan hakiki, menggusur keadilan yang lahir dari pranata sosial yang subyektif. Ilmu yang turut berpatisipasi dalam revolusi peradaban yang mengangkat harkat dan martabat wanita. Pada zaman dahulu, posisi perempuan tidak dihargai, tidak diakui keberadaannya, dan tidak memiliki hak yang absolut.
Yang paling mendasar dalam ilmu ini adalah siapa saja yang masuk dalam radar ahli waris. Untuk laki-laki, ada anak, cucu ke bawah, ayah ke atas, saudara ayah atau ibu, paman dari ayah, dan sepupu dari paman. Sementara dari perempuan adalah anak ke bawah, ibu, nenek dari ibu atau ayah, saudara, saudara seayah dan istri.
Dalam menguatkan tulisannya, Muhammad Ali al-Shabuni merujuk pada pendapat ulama fikih (mazhab yang empat). Ini bisa dibuktikan di sepanjang jalan buku ini mengutip pendapat imam madzhab yang empat.
Buku ini sangat layak dimiliki untuk mempersiapkan diri di kemudian hari dibutuhkan bila ada salah satu kerabat yang meninggal dan dikhawatirkan terjadi keributan antar keluarga. Maka, buku ini akan mengurai pembagian harta warisan sesuai Al-Qur’an dan hadis.
Buku ini adalah kumpulan kuliah dalam ilmu waris yang dulu beliau ajarkan kepada mahasiswanya di fakultas syariah dan studi Islam di kota Makkah. Sistematika kepenulisannya disajikan dalam uraian akademik modern.
Buku ini juga dilengkapi glosarium agar para pembaca mudah memahami istilah-istilah yang sukar dimengerti. Selain membaca buku ini, alangkah baiknya juga membaca versi kitab agar tahu teks aslinya. Selamat membaca.
Buku: Bagi Waris nggak Harus Tragis
Penulis: Muhammad Ali al-Shabuni
Penerjemah: M. Syauqi Mubarak
Penerbit: Turas
ISBN: 978-602-1583-60-9
Terbitan: Cet. 3, Juni, 2022
Editor: Yahya FR