Pemilu 2019 telah usai. Pemenang sudah ditetapkan, dan kabinet juga sudah terbentuk. Para elite politik sudah berangkulan. Pun seharusnya juga para pendukung dan simpatisannya yang kerap ramai dan ‘gaduh’ di kanal-kanal digital atau bahkan kedai-kedai kopi. Kini, tak ada lagi istilah ‘cebong’ maupun ‘kampret’, yang ada adalah garuda Indonesia.
Sejatinya, jika kita resapi kembali, dinamika politik lima tahun terakhir terutama gelaran Pemilu 2019 tak begitu berdampak bagi kemajuan kualitas hidup berbangsa dan bernegara. Sebaliknya malah membuat kita terpolarisasi dalam dua kutub yang berbeda. Jurang perbedaannya begitu dalam dan mengkhawatirkan.
Karena tarikan dua kutub ini, warga maupun elite Muhammadiyah jadi tegang dan kurang santai menghadapinya. Ini lalu sedikit mengusik tradisi kita sebagai kaum tengahan.
Sikap Netral Muhammadiyah
Warga, bahkan elite Muhammadiyah kurang santai dan tengahan ketika berselancar di aras politik. Pilihan politik yang hanya lima tahunan ini diwarnai situasi yang sangat ideologis dengan kaca mata serba agama. Kalau tidak hitam, ya putih. Tidak ada ruang untuk warna-warna lainnya.
Kubu pertama dianggap pragmatis karena mendukung status quo, yang dianggap ‘tidak pro-Islam’. Sedangkan kubu kedua dianggap barisan yang konservatif dan sulit menerima keberbedaan. Meski tak bisa juga kita patok secara rata, namun secara umum seperti itu.
Saking dalamnya jurang perbedaan diantara kedua kubu, masing-masing pun larut dalam ide dan fantasinya masing-masing. Warga Muhammadiyah pun sampai harus ‘kehilangan’ adabnya saat mengomentari tokoh dan pimpinan Muhammadiyah karena dianggap cenderung kepada salah satu kubu. Padahal, jelas-jelas mereka telah lama berkhidmat untuk Muhammadiyah. Di titik ini, kita bisa katakan mereka telah keluar dari khittah Muhammadiyah.
Dalam isu kecurangan KPU yang TSM (terstruktur, masif, dan sistemik) misalnya. Sebagian warga bahkan pimpinan pun tak mau tahu, bahwa di KPU sana sebenarnya ada beberapa kader persyarikatan yang turut serta menjadi penyelenggara pemilu.
Hampir tidak ada upaya dialog atau tabayyun yang berusaha dibangun. Perbedaan politik telah membuat kita lupa dengan tradisi tersebut. Informasi apa pun yang keluar dari KPU dianggap sebagai kebohongan belaka.
Sebetulnya, sikap netral Muhammadiyah secara kelembagaan sudah sangat tepat. Sikap tersebut bahkan dianggap organisasi kemasyarakatan lainnya sebagai sikap yang elegan dan patut jadi teladan.
Sayang, sikap netral ini jadi tidak berbunyi lantaran ulah sebagian warganya yang berusaha menarik-narik Muhammadiyah secara kelembagaan untuk mendukung salah satu kandidat dalam Pilpres 2019.
Segala macam cara dilakukan, hanya untuk merasionalisasi pilihannya. Tak jarang pula menggunakan alasan dan dalil-dalil agama. Sehingga seolah-olah, ketika pilihan orang berbeda maka dia dianggap bukan bagian dari dirinya (the other).
Bahkan, ada sebagaian warga muhammadiyah yang sampai mencap kafir kepada warga Muhammadiyah lain yang berbeda pilihan politik.
Padahal, sikap tersebut jelas tak berdasar. Apalagi setelah keputusan kedua calon dalam kontestasi pilpres 2019 akhirnya berangkulan dan menyatakan diri bersatu untuk memabangun Indonesia Maju.
Politik sebagai Seni Kemungkinan
Merapatnya Prabowo ke dalam pemerintahan Jokowi tersebut tentu saja selain untuk persatuan seperti digembar-gemborkan keduanya, juga karena ada kepentingan. Entah apa itu. Tapi intinya, politik itu tak mesti hitam-putih. Ada peluang muncul warna lain, atau bahkan perpaduan keduanya. Politik adalah seni kemungkinan.
Karena itu bagi saya dalam politik tak ada pertemanan yang abadi. Titik temunya ada, tapi pada kepentingan. Kalau tidak ada titik temu, maka jangan dibenturkan melainkan dikompromikan.
Apa yang digagas Partai Nasdem dengan PKS hari ini, menjadi bukti betapa politik sangat fleksibel. Sekali lagi sangat fleksibel, bukan pragmatis. Masing-masing pihak bisa saja memiliki ide dan gagasan politik. Namun selama masih bisa dikompromikan, maka politik akan seperti aliran sungai yang meski berbeda mata airnya, tetapi sewaktu-waktu bisa bertemu di tengah jalan.
Pada dasarnya politik itu tidak ada yang instan. Karena itu, ketika kita memutuskan untuk terjun ke dalamnya maka harus sudah punya persiapan, baik secara moral, sosial, intelektual maupun finansial.
Ketika kita memilih untuk masuk ke legislatif misalnya, jangan sampai tidak ada persiapan. Pun demikian saat mendirikan atau memimpin organisasi relawan atau sekadar tim sukses semua butuh persiapan yang matang.
Dengan memiliki ‘persiapan’ yang matang maka gerak dan target politik yang telah ditentukan akan tercapai. Sebaliknya jika tidak dipersiapkan secara matang, maka alih-alih target dapat tercapai dengan baik, kita malah jadi ‘gelandangan politik’.
Ke depan, kita perlu membangun infrastruktur politik yang luas dan mengakar kuat. Supaya di kemudian hari tidak ujug-ujug (tiba-tiba). Saling sinergi antar komponen masyarakat. Memperkuat jaringan sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya, sehingga ketika akan maju dalam kontestasi politik akan lebih siap dan matang.
Berbenah dalam Urusan Politik
Kader-kader persyarikatan juga perlu melakukan diaspora gerakan, tak mesti semua harus masuk dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah. Yang kebetulan aktif di luar persyarikan terus lanjutkan. Dimana pun kader persyarikan berada, yang terpenting bisa memberi warna yang berbeda berdasarkan nilai dan tradisi bermuhammadiyah.
Kader-kader persyarikatan perlu keluar dari jebakan kanal-kanal digital. Jangan sampai hanya sibuk mengomentari persoalan tertentu di grup-grup whatsapp, facebook, atau pun media sosial lainnya. Kita perlu memperbanyak silaturahim secara luring, tidak daring semata.
Untuk urusan kerja sosial, pemahaman keagamaan, Muhammadiyah tidak perlu diajari. Tapi untuk urusan politik kita perlu berbenah. Tak perlu juga semua ikut dalam ‘bedol desa’ secara politik, tapi cukup membuat simpul-simpulnya saja. Sehingga ketika bertemu di titik tertentu, semua bisa melakukan kolaborasi untuk kemaslahatan.
Untuk mewadahi hasrat politik dan menampung aspirasi warga Muhammadiyah PAN sebetulnya bisa memberikan harapan. Di awal kelahirannya, PAN sebetulnya bisa dibilang merupakan wadah untuk menampung aspirasi warga muhammadiyah.
Namun seiring waktu dan dinamika yang berkembang, kian ada jarak antara Muhammadiyah dan PAN. Beberapa kali, kader-kader Muhammadiyah juga telah berinisiatif untuk mendirikan partai politik yang baru. Namun faktanya, hanya PAN yang mampu bertahan.
Karena adanya jarak itulah, Muhammadiyah sulit untuk menyampaikan aspirasinya. Ketika ada pengesahan Undang-Undang Pesantren misalnya, Muhammadiyah nyaris tidak memiliki perwakilan untuk menyuarakan aspirasinya. Maka tepatlah kiranya jika Buya Syafii menyebut “Muhammadiyah Yatim-Piatu dalam Politik”.
Apa yang diungkapkan Buya Syafi’I tersebut sejatinya menjadi renungan kita, kader-kader persyarikatan. Terutama jelang Muktamar Solo, pertengahan tahun 2020. Jangan sampai, karena yatim-piatu kita hidup sebatang kara di masa depan.
Betul bahwa sepanjang sejarahnya, Muhammadiyah selalu bisa hidup meski tanpa sokongan penguasa. Tapi kita atau siapa pun tentu paham betul jika dakwah amar ma’ruf-nahi munkar di era digital begitu luas. Tentu kita juga ingin mengisi ruang-ruang kosong itu. Bukan untuk kepentingan pragmatis semata, tapi juga kemaslahatan bersama.
***
Pada akhirnya, politik adalah soal strategi bukan materi semata. Akan ada banyak model dakwah yang bisa dilakukan dan bahkan bisa lebih besar spektrumnya dengan kita masuk dalam dunia politik.
Last but not least, mari semua pihak; kader-kader persyarikatan ikut andil berbagi ide dan melahirkan solusi agar kader-kader Muhammadiyah bisa menyalurkan aspirasi politiknya. Agar Muhammadiyah bisa lentur, fleksibel, cair dan lincah manakala bergumul secara politik. Tentu saja persatuan dan kebersamaan di atas segalanya.