Kekurangan Aspek Teologi dalam Aspek Manusiawi
Aspek teologi memiliki kaitan yang sangat erat terhadap sikap dan perilaku orang-orang yang meyakininya. Sebab, konsep teologi yang diyakini oleh seseorang akan menjadi dasar dan membentuk pola pikirnya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Misalkan orang yang beraliran Jabariyyah yang meyakini manusia tidak memiliki kuasa untuk berbuat sesuatu, sehingga membuat penganutnya cenderung bersifat pasif. Begitu juga Mu’tazilah yang meyakini manusia memiiki kuasa bebas untuk bertindak, sehingga para penganutnya cenderung aktif bahkan egois.
Aspek teologi yang kita pahami saat ini tak lebih sekadar berisi konsep-konsep yang melangit, bukan berisi gagasan-gagasan yang konkret yang mampu membimbing dan membangkitkan semangat untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan yang kita jalani.
Bahkan tak jarang juga, konsep-konsep teologi yang berkembang hanya sekedar digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia sehari-hari.
Jika kita melihat ke masa lalu, dan mungkin juga bisa terjadi saat ini, pemikiran teologi kerap digunakan persembahan kepada penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Sehingga, tidak jarang terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah dalam perjalanannya.
Padahal seharusnya, pemikiran teologi harus bisa menjadi konsep-konsep yang membebaskan manusia dari keterpurukan dan menjadi batu loncatan untuk memotivasi manusia ke arah kemandirian, kesadaran, kebaikan, dan kemajuan.
***
Kita pasti setuju bahwa Islam sendiri adalah agama yang universal. Begitu pula prinsip dan aspek teologi yang ada di dalamnya juga harus bersifat universal. Dalam artian, pembahasannya tidak hanya tentang Tuhan, namun juga berkaitan dengan aspek-aspek mental dan keduniawian.
Gagasan sentral Al-Qur’an yang selama ini banyak dipahami dan diletakan di atas juga harus diturunkan ke bawah. Term-term sakral yang biasanya dikaitkan dengan ketuhanan seperti untuk menunjukan kesucian, kekuasaan, dan kebesaran Tuhan harus ditarik kebawah dan dibumikan menjadi term manusiawi.
Semua deskripsi tentang Tuhan, kesucian, keesaan dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sebetulnya memiliki maksud tertentu yang jarang kita ketahui. Yang di mana, aspek tersebut lebih mengarah kepada pembentukan manusia yang baik (insan kamil).
Tauhid bukan hanya sekadar konsepsi metafisis yang hanya ada dalam konsepsi saja, tetapi sebaliknya justru mengarah kepada tindakan konkrit. Sebab apa yang dikehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak bisa dimengerti, dipahami dan tidak ada artinya jika tidak direalisasikan dalam kehidupan kita (Lihat : Hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah [Kairo: Madbuli, 1991], hlm. 324).
Aspek Manusiawi dalam Sifat-Sifat Tuhan
Pertama adalah wujud. Konsep wujud tidak hanya menjelaskan keberadaan Tuhan, keberadaan Tuhan sendiri juga tidak butuh pengakuan akan ciptaannya. Namun, wujud juga memiliki pengertian berupa tuntutan kepada manusia untuk bisa menunjukan eksistensinya. (Lihat: Hasan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah [Kairo: Madbuli, 1991], hlm. 600.)
Seperti yang dikatakan oleh Sir Muhammad Iqbal dalam syair fenomenalnya:
“Kematian bukanlah ketiadaan nyawa, akan tetapi kematian adalah ketidakmampuan manusia untuk menunjukkan eksistensi dirinya”.
Mewujudkan eksistensi dalam perilaku positif juga sudah ada dalilnya yang jelas dalam Al-Qur’an dan sunah, sebagaimana hadis Rasululloh yang masyhur, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain”. Jadi manusia dapat dikatakan ada jika ia dapat memberikan kontribusi terhadap sesama.
Apa gunanya keberadaan kita jika tidak memberikan kontribusi dan dampak positif terhadap sesama. Bila manusia hanya diam saja, maka ia tidak ada bedanya dengan orang mati. Ada dan tiadanya adalah sama saja, sebab keberadaanya tidak memberi kontribusi apapun seperti keetiadaannya.
Kedua adalah sifat qidam (dahulu) yang tidak hanya menjelaskan keterdahuluan Tuhan. Namun qidam bisa diartikan pengalaman kesejarahan yang menjadi modal pengalaman dan pengetahuan yang digunakan untuk melihat realitas dan masa depan.
Sebagai manusia kita harus belajar dari masa lalu untuk bisa menjalani kehidupan yang akan datang. Jangan sampai kesalahan kita dan para pendahulu kita terulang di masa yang akan datang. Kita harus pandai-pandai mengambil hikmah dari kejadian tersebut agar dapat membangun masa depan yang lebih baik.
Ketiga, Baqa adalah sifat Tuhan yang bermakna kekal/abadi. Sifat ini mengandung tuntutan kepada manusia agar bisa memberikan manfaat yang bersifat langgeng. Jadi kontribusinya bukan hanya untuk generasi pada masanya, tetapi juga harus bisa memberikan sumbangsih terhadap generasi selanjutnya.
***
Kita harus banyak belajar dari para pendahulu kita yang memberikan manfaat lewat pemikiran, tulisan, temuan, dan karyanya yang masih dibaca, digunakan, dan dikembangkan sampai sekarang. Meskipun mereka telah mati namun kontribusinya masih terus berlangsung hingga ke generasi yang akan datang.
Tidak hanya itu baqa (kekal) yang mempunyai lawan sifat fana (rusak) memberikan tuntutan kepada manusia agar menjauhi tindakan yang merusak. Perintah agar kita jangan berbuat kerusakan juga merupakan amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Keempat, wahdaniyyah yang berarti keesaan tidak hanya merujuk kepada keesaan Tuhan. Wahdaniyyah juga memberikan ajaran tentang kesatuan manusia, kesetaraan manusia, dan keadilan sesama tanpa memandang warna kulit, suku, kelas dan ras.
Wahdaniyyah menentang praktek-praktek diskriminasi dan intimidasi dalam bentuk apapun sebab pada dasarnya manusia memiliki kedudukan yang sama. Manusia juga dituntut untuk melakukan kasih sayang baik seagama maupun tidak.
Sesungguhnya yang telah diwahyukan oleh Tuhan berupa syariat, akhlak, dan tauhid bertujuan untuk membentuk manusia yang baik namun jarang yang mengungkapakan yang sering diungkap adalah sisi syariat dan akhlak saja. Sebab, tauhid hanya dianggap sebagai pengetahuan yang berhubungan tentang Tuhan saja.
Hikmah dari sifat-sifat Tuhan bukan hanya serta merta untuk menunjukan kesucian dan keagungan-Nya saja. Melainkan agar manusia dapat menyerap hikmahnya dan membentuk karakter seseorang menjadi pribadi yang lebih baik serta mampu mengaplikasikan dalam kehidupannya.
Editor: Yahya FR