IBTimes.ID – Pemikiran Malik Fadjar bisa diklasifikasikan menjadi beberapa hal. Salah satunya adalah reformasi pendidikan nasional. Reformasi yang diperjuangkan oleh Malik Fadjar menekankan kepada tiga hal, yaitu pemberian otonomi yang lebih besar, demokratisasi, dan akuntabilitas.
Hal ini disampaikan oleh Azyumardi Azra dalam diskusi “Mengenang Prof Abdul Malik Fadjar” yang diselenggarakan oleh Jaringan Islam Berkemajuan. Diskusi daring ini diselenggarakan pada Kamis (10/9). Sebelumnya, mantan Menteri Pendidikan Nasional ini meninggal pada Senin (7/9) di Rumah Sakit Mayapada, Jakarta.
Azra menyebut demokratisasi yang dilakukan oleh Malik Fadjar berarti pemberian iklim demokrasi di kampus, baik dalam kepemimpinan maupun kemahasiswaan. Akuntabilitas yang lebih besar juga diperjuangkan oleh Malik Fadjar, termasuk didalamnya akuntabilitas moral dan etis.
Dalam otonomi, Azra memberi contoh bagaimana hal ini terlihat dalam pemilihan rektor. Kementerian sama sekali tidak ikut campur, dan diserahkan sepenuhnya ke senat. Selain itu, kementerian tidak terlalu campur tangan dalam hal administrasi dan birokrasi.
Azra menyebut akuntabilitas moral dan etik berarti perjalanan-perjalanan ke luar negeri yang disalahgunakan. Malik Fadjar juga memperjuangkan penyederhanaan kurikulum. Mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dalam bahasa Pak Malik, mata pelajaran atau mata kuliah recehan harus dihilangkan. Dan itu sampai sekarang tidak berhasil.
“Setelah Pak Malik tidak lagi menjadi mendiknas, semua mata pelajaran recehan masuk ke kurikulum. Maka anak didik menjadi stres, lalu kerjaannya merundung temannya, tawuran, dan lain-lain. Padahal pelajaran harus menyenangkan, bukan menyiksa,” ujar Azra.
“Setelah Pak Malik tidak menjadi menteri, terjadi birokratisasi yang luar biasa. Setelah Pak Malik, semua dosen harus absen menggunakan fingerprint. Belum lagi laporan apa saja yang dilakukan setiap satu semester. Gila itu. Saya menyebut pasca Pak Malik, perguruan tinggi mengalami kolonialisasi. Dijajah oleh kementerian. Baik kemendikbud maupun kemenag,” lanjutnya.
Ia memberikan contoh pemilihan rektor yang tidak lagi otonom. Kementerian Pendidikan menyumbang suara 35% untuk Perguruan Tinggi umum. Bahkan, untuk Perguruan Tinggi Agama, 100% rektor ditentukan oleh kemenag.
“Ini lebih gila lagi. Perguruan tinggi tidak akan maju selama masih seperti itu. Apa yang disebut dengan kampus merdeka oleh menteri yang sekarang itu tidak jelas dan baru gimmick. Dia bilang membebaskan dosen dari birokratisasi. Tapi buktinya nggak ada, padahal sudah hampir satu tahun. Tetap saja dosen-dosen itu disiksa,” kritiknya kepada Kemendikbud dan Kemenag.
Azra juga menyebut Malik Fadjar sebagai orang yang sangat menekankan multikulturalisme. Ia adalah orang Muhammadiyah yang sangat inklusif. Malik Fadjar berulang kali mengadakan seminar tentang multikulturalisme. Padahal, biasanya kelompok mayoritas enggan berbicara multikulturalisme.
Adapaun pak Malik sebagai mayoritas muslim tetap konsen pada isu multikulturalisme. Di wantimpres, setiap tahun Pak Malik mengangkat Azra untuk menjadi ketua tim pengkajian multikulturalisme di Indonesia. Baik multikulturalisme dari sudut etnis, suku, bangsa, budaya, agama, dan politik.
Malik Fadjar juga memperjuangkan pengarus utamaan pendidikan Islam. “Dulu, anggaran 14 Perguruan Tinggi Agama Islam sering disebut sama dengan anggaran satu fakultas di UI. Pak Malik yang memperjuangkan perbaikan anggaran ini,” jelas Azra.
Oleh karena itu, dengan perubahan IAIN menjadi UIN, terjadilah pengarus utamaan pendidikan Islam. Terjadi integrasi antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Para mahasiswa mampu menguasai ilmu dari berbagai bidang sehingga bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi negara.
Reporter: Yusuf