Falsafah

Bagaimana Kahlil Gibran Menjelaskan Eksistensialisme Romantik?

4 Mins read

Kajian sastra dan filsafat merupakan dua kajian yang saling berkesinambungan dalam hal penafsiran realitas. Dalam buku “Filsafat, Sastra, dan Kebudayaan” karya Mudji Sutrisno, tertulis bahwa antara sastra dan filsafat sebetulnya saling berhubungan, hanya saja perbedaan dari keduanya terletak pada sifat elaborasinya. Filsafat cara kerjanya diharuskan menafsirkan realitas secara sistematis, sedangkan menjelajahi realitas tanpa pretensi sistematis.

Di titik ini, keakraban antara filsafat dan sastra bisa dikatakan sebagai alat dan modal. Filsafat mengambil sastra sebagai modal untuk menafsirkan realitas secara sistematis, dan sastra menafsirkan hal-hal filosofis secara lebih komunikatif. Sifat dari keduanya cenderung abstrak, tetapi sastra lebih bisa menyentuh karena orientasinya langsung pada titik realitas   alamiah.

Tetapi, bukan berarti keduanya saling menenggelamkan. Antara sastra dan filsafat dimungkinkan pada segmentasi objek kajian dan subjek yang akan menerima. Filsuf seperti Nietzstche, Voltaire, atau Muhammad Iqbal pun sesekali menggunakan sastra untuk menorehkan gagasan filsafatnya. Di antara filsuf tersebut karya-karyanya tersampaikan berdasarkan kondisi sosial pada saat itu. Oleh karenanya, tak heran jika sebagian kalangan menyatakan bahwa sastra dan filsafat itu saling melengkapi dalam mengubah peradaban.

Pada tulisan ini, akan sedikit membuktikan keakraban antar dua kajian tersebut lewat salah satu tokoh yang monumental di dunia kesusastraan, yaitu Kahlil Gibran. Selain sebutan sastrawan, ia juga disebut oleh para pemikir lainnya sebagai filosof setelah master piece-nya “The Prophet” menjadi best seller selama lebih dari empat puluh tahun. Karya-karya sastranya sangat pekat dengan nilai-nilai filosofis, khususnya di tema eksistensialisme. Pemikiran filsafat Kahlil Gibran yang termaktub di karya sastranya ini oleh sebagian kalangan disebut sebagai Gibranisme.

Kahlil Gibran dan Akar Pemikirannya

Kahlil Gibran lahir di Libanon pada tahun 1883. Ia terlahir di keluarga yang cukup terpandang meski tergolong miskin. Semasa kecil, Gibran adalah anak yang pendiam dan jarang tertawa. Ia lebih suka menyendiri, mengamati, dan mengagumi alam semesta.

Baca Juga  Seni Mencintai ala Kahlil Gibran

Selain pribadinya yang introvert, kepintaran Gibran menafsirkan realitas dalam bahasa tak luput dari pengetahuan Ibunya mengenai bahasa Perancis dan Arab. Konon, guru pertama Gibran dalam menulis sastra adalah Ibunya sendiri, sebelum akhirnya guru keduanya, yaitu Salim Dahir, seorang sufi dan filosof.

Selain kesusastraan, pemikiran eksistensialisme Gibran dibentuk oleh beberapa peristiwa kemanusiaan. Pertama, revolusi Perancis tahun 1789. Akibat kekacauan revolusi itu, banyak orang mengungsi di daerah Gibran tinggal. Kedua, tirani kekuasaan Turki terhadap Libanon. Akibat watak tirani dari Turki itu, penduduk Libanon mengalami krisis kemanusiaan luar biasa. Ketiga, resminya jalur transportasi Terusan Suez yang pada saat itu menjadi jalan bagi orang barat untuk menjajah daerah Timur.

Sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang membentuk pemikiran eksistensialisme Gibran, termasuk kisah cintanya dengan tanah air, Ibu, kekasih, dan gurunya. Tapi karena tidak mungkin ditulis semuanya dalam artikel ini, semoga sekelumit biografi dan akar yang sudah dijelaskan tadi agaknya cukup untuk dijadikan latar belakang menelusuri pemikiran eksistensialisme Gibran.

Antara Rasa dan Intelek

Ciri khas pemikiran Gibran adalah penggunaannya dalam menafsirkan eksistensi lewat rasa. Menurutnya, rasa merupakan alat yang dapat mencapai keseluruhan dasar dari realitas. Sedangkan intelek, fungsinya untuk menata apa-apa yang dihasilkan rasa secara sistematis.

Misalnya: kita menulis puisi ketika melihat keindahan gunung. Sebelum keindahan gunung itu ditafsirkan menjadi puisi, kali pertama yang muncul adalah eksistensi gunung dalam perasaan kita. Setelah itu, hadir semacam ketertarikan, yang akhirnya mendorong intelek untuk menafsirkan keberadaan gunung itu sebagai sesuatu yang indah dalam puisi. Jadi, Gibranisme menganggap bahwa apa-apa yang sudah ditafsirkan sekarang itu berasal dari rasa yang secara intuitif menghasilkan ketertarikan.

Baca Juga  Konsep Hukuman (Punishment) Tak Cocok Diterapkan di Dunia Pendidikan

Dalam hal ini bukan berarti pemikiran Gibran tidak menggunakan intelek. Antara rasa dan intelek ini adalah fitrah manusia yang memiliki fungsinya masing-masing. Jika hanya menggunakan rasa, maka kita tidak bisa eksis secara konkret dan sosial. Dan, jika hanya menggunakan intelek, maka untuk eksis saja pun tidak bisa. Sebab, intelek hanyalah alat konversi, bukan alat aktualisasi. Dari sinilah pemikiran Gibran mengenai eksistensialisme terlihat romantik. 

Relasi Diri dengan Alam

Secara umum, eksistensialisme merupakan konsep dasar manusia untuk ‘mengada’ berdasarkan keputusan yang autentik. Gibran sendiri melihat eksistensialisme dengan sangat menarik, yaitu bahwa manusia memiliki dualisme: manusia di satu sisi sebagai makhluk Tuhan, dan di sisi yang lain sebagai bagian dari alamnya. Dengan kata lain, relasi yang dihasilkan antara perasaan eksistensial dengan alam, maka itulah eksistensialisme.

Unsur romantik dalam eksistensialisme Gibran tidak hanya di taraf bahasa saja, melainkan juga di taraf kesadaran diri yang selalu berhubungan dengan alam. Keberadaan ‘rasa’ jika merujuk pada sastra adalah alat yang memungkinkan alam sebagai ekspresi kesatuan diri dari manusia. Oleh sebab itu, konsep “eksistensi” di beberapa karya sastranya tidak hanya ditujukan pada manusia, tetapi juga pada segala apapun, termasuk benda dan alam. Seperti misal salah satu penggalan puisinya ini:

Aku mendengar anak sungai merintih bagai seorang janda yang menangis meratapi kematian anaknya. Dan aku kemudian bertanya, “mengapa engkau menangis, sungaiku yang jernih?’ Dan sungai itu menjawab, ‘sebab aku dipaksa mengalir ke kota tempat manusia merendahkan dan mensia-siakan diriku dan menjadikanku minuman-minuman keras dan mereka memperalatku bagai pembersih sampah, merancuni kemurnianku dan mengubah sifat-sifatku yang baik menjadi buruk”.

Penggalan puisi di atas menunjukkan bahwa romantika kehidupan itu terjadi karena adanya hubungan antara gambaran mental dari eksistensi sungai, dengan eksistensi manusia. Artinya, menurut Gibran, eksistensialisme itu tidak hanya berkutat di wilayah manusia saja, tetapi juga di luar yang manusia.

Baca Juga  Allah Mengutus Nabi-Nya sebagai Rahmat Bagi Semua Makhluk

Menjadi Manusia ala Kahlil Gibran

Alasan mengapa Kahlil Gibran selain disebut sebagai sastrawan, tetapi juga filsuf eksistensial, adalah karena dua hal yang mendasari semua karya-karya puisinya. Pertama, untuk menjadi manusia, itu haruslah mengikuti hukum alam. Artinya, segala tinda-tanduk manusia itu tidak lepas dari hal yang transenden; di luar kesanggupan manusia. Kedua, fakta bahwa manusia hidup itu selalu berhubungan dengan manusia yang lainnya.

Dua hal itu dalam eksistensi manusia harus berjalan beriringan. Misalnya: ketika kita malas berpikir dan belajar, lalu di suatu diskusi ada orang yang mengatakan pola pikir kita ‘dungu’, ya, jangan marah. Karena itu sebagian dari hukum alam. Begitupun sebaliknya, kita jangan gampang menghakimi orang secara subjektif. Lihatlah manusia secara keseluruhan dari hal-hal yang melingkupinya. Kalau dua hal itu sudah bisa dilakukan, maka itulah esensi dari eksistensialisme romantik. 

Referensi

Mudji Sutrisno, 1995, Filsafat, Sastra dan Kebudayaan, Jakarta: Penerbit Obor

Anthony R. Ferris, (ed), 1996, Potret Diri Kahlil Gibran, terj. Sri Kusdyantinah, Jakarta: Pustaka Jaya

Kahlil Gibran, 1986, Sang Musafir, terj. Sugiarta Sriwibawa, Jakarta: Pustaka Jaya

Editor: Yahya FR

Achmad Fauzan Syaikhoni
14 posts

About author
Mahasiswa IAIN Kediri jurusan komunikasi dan penyiaran islam, tapi sedang bercita-cita menjadi filsuf. Bisa ditemui lewat ig: zann_sy
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds