Kedua diksi antara Islam dan Demokrasi sering dipadankan dalam diskusi politik kenegaraan. Memang masih begitu menarik untuk terus dibincangkan, apalagi keduanya saling diintegrasikan dalam sistem pemerintahan suatu negara.
Hubungan keduanya cukup banyak menimbulkan cerita yang problematis bahkan sering menuai intrik konflik. Harusnya, negara bisa menjadi jembatan dalam membangun sebuah kemajemukan masyarakatnya yang memang beragam selain agama, mereka juga beragam akan ideologi, doktrin kepartaian, dan etnisitas.
Kedua konsep antara Islam dan Demokrasi tidak jarang juga membawa suatu negara pada aras perdebatan, misalnya Iran, Indonesia, dan mungkin masih banyak lagi.
Kita ulik sejarah sejenak, Faisal Ismail (2017) menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan seorang agamawan sekaligus negarawan. Nabi Muhammad selain memimpin Islam, ia juga memimpin bangsa.
Madinah yang kala itu sudah terbentuk sebagai masyarakat baru, kemudian Nabi Saw, membentuk suatu umat dan mempersiapkan tatanan atau pilar-pilar dalam menopang beragamnya masyarakat Madinah kala itu.
Sehingga, terbentuknya sebuah perjanjian pertama yakni Piagam Madinah, bersamaan dengan itu terbentuklah sistem negara di dalam masyarakat Madinah, Nabi Saw pun menjadi pempimpin mereka semua.
Al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama ajaran Islam tidak memerintahkan umat Islam untuk mendirikan negara Islam. Ayat atau nash yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan negara Islam tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.
Jika Al-Qur’an tidak secara eksplisit dan spesifik berbicara tentang perintah mendirikan negara, kita harus merujuk pada sunah sebagai sumber kedua doktrin Islam.
Tiga Kategori Sunnah
Sunah dikategorisasi menjadi tiga macam, yaitu sunnah qauliyah (ucapan), sunnah fi’liyah (perbuatan), dan sunnah taqririyah (sikap Nabi terhadap sesuatu; jika beliau diam berarti setuju dikerjakan).
Melalui Sunnah Fi’liyah, Nabi Muhammad Saw secara jelas telah mendirikan sebuah negara di Madinah. Yang memang kala itu Madinah sebuah daerah yang multiagama, multietnis yang sehingga mengharuskan Nabi untuk mempertimbangkan setiap kebijakan yang hendak beliau putuskan.
Madinah: Cikal Bakal Negara Islam
Madinah sebagai negara cikal bakal negara Islam yang menjadi pola dasar untuk dicontoh dan dikembangkan secara kreatif-inovatif sesuai dinamika perkembangan sistem politik, ketatanegaraan, dan lingkungan sosial budaya di mana umat/bangsa Muslim hidup di dunia ini. Tata kelola negara dioperasikan berdasarkan Konstitusi Madinah.
Soal bentuk negara (kesatuan atau federal) dan sistem pemerintahan (khilafah, emirat, kesultanan, kerajaan/monarki, parlementer, presidensial), Islam menyerahkan hal itu kepada umat/bangsa Muslim yang bersangkutan untuk memikirkan dan menentukannya.
Yang paling penting, negara itu didirikan berdasarkan Islam dan tata pemerintahannya harus benar dan adil, menjunjung tinggi asas-asas hukum, HAM, dan demokrasi yang menjadi saripati dan inti ajaran Islam dalam bernegara.
Islam atau Demokrasi
Uraian sejarah di atas jelas, sehingga setelah berdiri sebuah negara, dipastikan secara tidak langsung negara akan memainkan politik sebagai sistem dalam kenegaraan.
Apakah sistem politik negara yang dianut itu Islam apa Demokrasi? Kita lihat konteksnya. Ketika itu, diterapkan di Indonesia misalnya, apakah itu relevan? Dijelaskan oleh Masykuri Abdillah (2011) bahwa sebuah sistem syariat diterapkan di Indonesia itu tidak mungkin, karena Indonesia negara yang multi.
Sedangkan, ketika diterapkan sistem sekuler, pun juga tidak bisa, karena Indonesia hampir mayoritas penduduknya ialah Muslim. Nah, sehingga uji sistem politik dalam sebuah negara, terutama Indonesia perlu kemudian mempertimbangkan akan perihal keberagaman rakyatnya.
Konsep Politik Islam dan Demokrasi
Kembali pada konsep politik Islam dan demokrasi, dari keduanya akan melahirkan sebuah tujuan yang sama yakni menjadi sistem untuk memimpin.
Politik Islam lebih pada sistem yang khilafah, namun, seperti yang dijelaskan di atas, Madinah sebagai negara Islam, diatur oleh konstitusi Madinah. Artinya, ada tujuan lain di balik keislaman negara Madinah tersebut. Yakni, untuk menciptakan toleransi antar golongan masyarakat yang ada di Madinah.
Karena Asghar Ali (2000), telah menguraikan bahwa tujuan Al-Qur’an bukanlah menciptakan sebuah negara, melainkan sebuah masyarakat. Tidak adanya bentuk negara yang baku dalam Islam membawa hikmah tersendiri.
Karena itu, apapun bentuk serta wujud suatu negara, jika di dalamnya terbentuk suatu masyarakat Qur’ani, maka itupun sudah tanda-tanda negara Islam.
Karena masalah bentuk negara, praktik bernegara, dan sistem pemerintahan itu merupakan masalah duniawi dan ranah ijtihadi. Sehingga, Islam mengaturnya tidak permanen agar tidak kaku dalam menghadapi dinamika perkembangan masyarakat. Senada dengan Zuhairi (2004) menyebutnya politik Islam itu harus bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Sedangkan sistem Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Secara historis, Basri (2015) menjelaskan bahwa demokrasi sebuah sistem negara yang lahir di Yunani pada abad 5 SM, dan didesain ulang oleh para intelektual Eropa pasca renaissance, akibat terjadinya konflik yang panjang antara kaum intelektual dan gerejawan, sebagai bentuk pemberontakan terhadap kekuasaan gereja yang kejam sepanjang abad pertengahan.
Kesepakatan merujuk pada doktrin “Berikan hak Tuhan kepada Tuhan dan hak kaisar kepada kaisar”. Kesepakatan itulah kemudian melahirkan ideologi baru yang kita kenal dengan sekularisme, yakni pemisahan agama dari negara.
Nah, kemudian munculnya demokrasi tak lepas dari bangunan atas sekularisme yaitu pemisahan antara negara dan agama, dan rakyat bebas dalam beragama, berpendapat, kepemilikan dan berprilaku.
Kemudian dari situlah, sistem demokrasi ini menyebar ke penjuru dunia, termasuk dunia-dunia Islam. Hakiki (2016) menguraikan bahwa dalam proses demokrasi mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam memutuskan suatu permasalahan dan mengontrol pemerintahan yang berkuasa.
Sedangkan Nurdin (2016), lebih tegas dalam menanggapi perihal demokrasi. Menurutnya, pemerintahan dalam sistem demokrasi memang berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Tetapi dalam realitas, sebenarnya bukanlah dipimpin oleh rakyat kebanyakan, tetapi oleh kelompok elit dan kelas tertentu.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa definisi demokrasi begitu beragam. Demokrasi mungkin suatu sistem negara yang unik dan bervariasi tergantung kembali yakni pada sistem politik, sosial, dan budaya masyarakat.
Namun, walaupun masih kontroversi, mereka sepakat bahwa ada hal-hal yang bisa untuk disetuji secara bersama dan adapula hal-hal yang tidak bisa disepakati. Begitu pula Islam, ketika menjadi sebuah sistem dalam negara, ia akan menjadi sekat yang amat sangat ketat.
Akhirnya banyak kontroversi, konflik, intrik politik, yang terjadi di negara tersebut. Namun, sistem Islam sendiri sebenarnya telah lama diterapkan dalam kisah kenegaraan masa Nabi Saw kala itu.
Akan tetapi, dalam konteks yang begitu panjang, harusnya Islam (agama—norma, nilai) harusnya bisa diaplikasikan dan diserap perihal nilai dan norma yang bisa dipraktikkan demi kebijakan yang baik dan itu relevan dengan keadaan, bukan memaksakan, apalagi negara yang beragam.
Sumber Bacaan
- Faisal Ismail, Sejarah dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XIII M), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017).
- Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik Di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011).
- Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 59.
- Zuhairi Misrawi, Doktrin Islam Progresif: Memahami Islam Sebagai Ajaran Rahmat, (Jakarta: LSIP, 2004).
- M. Basri, Hukum Demokrasi dalam Islam, (Jurnal Suhuf, Vol. 27, No. 1, 2015).
- Kiki Muhammad Hakiki, Islam Dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim Dan Penerapannya Di Indonesia. ( Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1, No.1, 2016).
- Ahmad Ali Nurdin, Kaji Ulang Konsep Hubungan Islam dan Demokrasi, (Jurnal Review Politik, Vol. 06, No. 01, 2016).
Editor: Yahya FR