Fikih

Hukum Pernikahan Anak di Bawah Umur

4 Mins read

Bagaimanakah hukum pernikahan anak di bawah umur? Rasa-rasanya, sudah menjadi ijmak (kesepakatan) bagi masyarakat di Indonesia, bahwa pada masa kini usia kanak-kanak bukanlah waktu yang tepat untuk menikah. Hal ini disebabkan oleh modernisasi yang telah merasuk ke seluruh sendi kehidupan kita. Masa kanak-kanak menjadi waktu yang tepat untuk menempuh jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Kesepakatan ini tidak dipermasalahkan oleh siapapun. Walaupun dalam praktiknya, masih banyak kita jumpai praktik perkawinan anak di bawah umur. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2017, jumlah pernikahan di bawah umur berada di atas 25% di 23 dari 34 provinsi yang disurvei. Artinya fenomena pernikahan di bawah umur cukup tinggi terjadi di Indonesia.

Hukum Pernikahan Anak di Bawah Umur

Ukuran di bawah umur sendiri, menurut UU Perlindungan Anak adalah di bawah 18 tahun. Sementara dalam UU Perkawinan di bawah 16 tahun. Aturan hukum di negara kita pun melarang anak-anak di bawah umur untuk menikah. Karena itu kita harus berpikir berulang kali untuk menikahkan anak di bawah umur.

Salah satu kasus yang cukup viral pada zamannya adalah Syekh Puji, pemilik pondok pesantren di Semarang. Pada tahun 2008 Syekh Puji menikahi anak perempuan berusia 12 tahun. Pada tahun 2016 Syekh Puji menikahi kembali seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Akibat dari perbuatannya, pada November 2010 Syekh Puji mendapatkan vonis 4 tahun penjara dan denda 60 juta rupiah. Dari kasus inilah kita bisa mempertimbangkan hukum pernikahan anak di bawah umur.

Hari ini, saya kaget menemukan kampanye pernikahan di bawah umur. Kalau kampanye nikah muda saya tidak akan terlalu mempermasalahkannya. Namun kampanye nikah di bawah umur, bagi saya ini berbahaya. Kampanye ini dilakukan dalam sebuah website wedding organizer yang menamakan dirinya Aisha Weddings. Saya menduga pemilihan nama Aisha sendiri karena Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah pada masa kanak-kanak.

Baca Juga  Dengan Berbagai Kemudahan Transportasi yang Ada, Masihkah Safar Menjadi Uzur untuk Tidak Berpuasa?

Hukum Pernikahan Anak: Mengapa Berbahaya?

Dalam artikel yang ditulis oleh Maisuri Tajdudin Chalid Dosen Ginekologi Universitas Hasanuddin di theconversation.com, kematian ibu dilaporkan meningkat 2-4 kali lipat pada kehamilan usia dini dibandingkan dengan kehamilan di atas usia 20 tahun. Badan Pusat Statistik melaporkan pada 2016, sekitar 26,16% perempuan yang melahirkan anak pertama mereka berada pada usia di bawah 20 tahun. Dengan kata lain, lebih dari seperempat perempuan usia subur di Indonesia, melahirkan pada usia di bawah 20 tahun.

Walaupun sudah disodorkan fakta mudharat dari pernikahan di bawah umur, namun sebagian orang masih mencoba mengajukan pembenaran. Tak jarang pembenaran ini dilandasi dengan dalil keagamaan. Pertama adalah usia Sayyidah Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Rasulullah SAW. Hal ini dijadikan alasan untuk melegitimasi pernikahan di bawah umur.

Banyak yang belum tahu bahwa ada versi lain yang mengatakan bahwa Aisyah dinikahi pada usia 25 tahun. Versi Aisyah dinikahi saat dewasa ini kalah populer dibanding dengan versi dinikahi saat masih kanak-kanak. Artinya adalah bahwa usia Aisyah saat dinikahi masih menjadi bahan perdebatan dan tidak satu versi.

***

Sekarang, anggaplah versi yang lebih kuat adalah yang menyatakan Aisyah dinikahi saat masih kanak-kanak. Apakah bisa dijadikan legitimasi? Saya pikir tidak perlu jauh-jauh ke kehidupan Aisyah dan Rasulullah SAW untuk mencari pembenaran. Dalam generasi kakek dan nenek kita pun pernikahan di bawah umur masih lumrah.

Namun hal itu tidak bisa dijadikan legitimasi. Mengingat mudharat yang ditimbulkan pernikahan anak cukup besar. Namun bukan berarti kita boleh mengambil kesimpulan seperti para orientalis anti Islam, yang menyatakan na’udzubillah bahwa Rasulullah SAW mempunyai kelainan seksual karena menikahi anak di bawah umur. Kita juga tidak perlu mencela generasi kakek dan nenek kita.

Baca Juga  Kajian Manuskrip: Khotbah Sebelum Akad Nikah

Dalam QS. Al Baqarah: 134 Allah SWT berfirman, mereka itu umat yang telah lalu, bagi mereka apa yang telah mereka usahakan, dan bagimu apa yang kamu usahakan. Artinya setiap generasi punya masanya sendiri-sendiri. Kita hidup di mana sudah banyak kemajuan tercipta salah satunya di bidang kesehatan. Maka tak perlu kita mengidealkan masa lalu secara berlebihan.

Banyak Jalan Menghindari Zina

Kedua, alasan pembenaran yang digunakan adalah dekadensi moral di kalangan remaja yang menyebabkan maraknya pergaulan bebas. Kemudian diambil kesimpulan, daripada anak terlibat dalam pergaulan bebas, lebih baik dinikahkan di bawah umur saja. Masalahnya, menghindari zina dengan cara menikah di bawah umur, ini sama saja dengan keluar mulut singa tapi masuk mulut buaya. Sama-sama mudharat.

Lagi pula, masih banyak alternatif bagaimana menjauhkan anak-anak kita dari zina dan pacaran selain dari perkawinan di bawah umur. Misalnya buatlah keluarga kita menjadi harmonis. Anak yang hidup dalam keluarga yang broken home boleh jadi akan mencari pelampiasan di luar seperti narkoba dan zina. Kemudian sebagai orang tua kita mesti peduli dengan circle pergaulan anak kita apakah positif atau negatif. Kalau circle-nya negatif maka tugas orang tua mengingatkan.

Isi aktivitas dengan hal-hal yang positif seperti hobi, membuat vlog, olah raga, berorganisasi, aktif di PMR, aktif Paskibra, dan lain-lain. Bukankah itu semua bisa menjauhkan generasi muda dari zina? Kenapa harus selalu dengan perkawinan solusinya? Bukan tidak boleh. Cuma sabar sedikit, kalau sudah 18 tahun silahkan kalau mau menikah, tidak dilarang oleh undang-undang.

Bersikap Proporsional Terhadap Modernitas

Ketiga, ada juga pihak yang berlebihan dalam menolak modernitas. Mereka bilang bahwa anak-anak zaman sekarang terlalu lama dewasanya. Kita harus mencontoh zaman Rasulullah SAW di mana setelah baligh, maka segera bisa dianggap dewasa. Mereka menyalahkan modernitas dan Barat yang membuat situasi ini terjadi. Mereka menolak teori psikologi perkembangan yang lahir dari ilmuwan barat. Maka dari itu menikah di bawah umur adalah bentuk perlawanan terhadap hegemoni Barat.

Baca Juga  Pentingnya Peran Ahli Waris Pengganti

Halo bro! Come on! Kapan kita mau maju kalau pola pikir kita begitu terus? Punya prinsip atau ideologi itu boleh, namun harus tetap realistis. Ada banyak hal yang bisa umat Islam manfaatkan dari kemajuan Barat hari ini untuk kemaslahatan umat Islam sendiri. Kita menikmati pesatnya dakwah dari kemajuan teknologi informasi. Kita menikmati kenaikan tingkat harapan hidup dari kemajuan ilmu kedokteran.

Residu-residu peradaban barat yang jelas bertentangan syariat seperti seks bebas, minuman keras, ateisme, itu yang harus kita tolak. Namun produk peradaban Barat yang lain yang tidak bertentangan dengan syariat dan bermanfaat untuk umat Islam kita adopsi. Rasulullah SAW pun mengadopsi adat jahiliyah yang baik, seperti keberanian dan menghormati tamu. Rasulullah SAW hanya membuang adat jahiliyah yang buruk, seperti menyembah berhala dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.

Demikianlah hukum pernikahan anak di bawah umur.

Editor: Yahya FR

Robby Karman
26 posts

About author
Dewan Redaksi IBTimes.ID
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *