Fikih

Pentingnya Peran Ahli Waris Pengganti

5 Mins read

Waris adalah persoalan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami persoalan waris dan mewarisi. Persoalan ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan sengketa antara satu individu dengan individu lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, akan menimbulkan dampak yang negatif antar satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Tidak jarang, persoalan waris ini dapat menumpahkan darah antar sesama manusia. Karena itu, perlu sebuah social-engineering untuk mengontrol itu semua.

Makna Waris

Dalam tradisi hukum waris Islam, makna waris tersebut berasal dari bahasa arab yaitu al-irs yang secara leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan secara terminologi berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup dengan bagian-bagian tertentu.

Sedangkan menurut Klassen-Eggens, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan harta kekayaan dan terjadinya hubungan-hubungan hukum sebagai akibat kematian seseorang dengan atau tanpa perbuatan.

Hukum kewarisan dalam Islam sendiri merupakan salah satu bagian dari hukum perseorangan dan kekeluargaan yang umumnya berpangkal pada sistem kekerabatan. Sehingga, hukum kewarisan mendapatkan perhatian besar dalam lingkungan masyarakat yang berlaku apabila terjadi perpindahan harta dari pewaris kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan di Indonesia masih bersifat pluralistis. Karena saat ini, berlaku tiga sistem kewarisan yaitu hukum kewarisan Islam, BW, dan adatma.

Perkembangan Hukum Waris

Persoalan waris ini selalu menarik dipelajari perbedaan adat istiadat dan budaya turut mempengaruhi hukum waris yang berlaku di suatu masyarakat. Namun, di sisi lain, perkembangan secara konseptual hukum waris secara Islam ini cenderung doktriner dan tidak berkembang.

Pendapat ini satu sisi dapat dibenarkan jika dilihat dari ketentuan-ketentuan bagian-bagian yang pasti di dalam Al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, sisi lain menjadi tidak benar apabila dilihat dari hal-hal yang tidak diatur dalam sumber hukum Islam utama (Al-Qur’an dan hadis) dan salah satu jalan memecahkan persoalan tersebut melalui metode ijtihad.

Dalam sistem hukum waris, dikenal dengan tiga kelompok besar yang dapat mempengaruhi struktur masyarakat dan hal ini bermuara kepada setiap penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat. Kelompok besar itu yaitu Patrilineal, Matrilineal, dan Bilateral (Parental).

Konsep Hukum Ahli Waris Islam di Indonesia

Berbicara mengenai hukum waris Islam yang berlaku di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari pengaruh empat mazhab ahlussunnah (suni) yang menggolongkan 3 golongan ahli waris, yaitu; dzawil furudi, ashabah, dan dzawil arham.

Penggolongan yang digunakan oleh ahlussunnah tidak bertentangan dengan sebagian sistem yang dianut daiam hukum adat di Indonesia. Oleh sebab itu, sistem tersebut tidak ditolak oleh sebagian besar masyarakat Islam di Indonesia.

Baca Juga  Harato Pusako Tinggi, Harato Pusako Randah: Hukum Kewarisan dalam Adat Minangkabau

Banyak masyarakat yang mempertahankan berlakunya paham ahlussunnah untuk menyelesaikan masalah waris mewaris. Konsep kewarisan dalam ahlussunnah ini dipengaruhi oleh sisitem patrilineal yakni golongan laki-laki mendapatkan harta waris lebih dominan daripada golongan perempuan.

Hal ini tentu dipengaruhi oleh tradisi bangsa Arab yang mengganggap bahwa laki-laki dominan di segala aspek kehidupan terutama kehidupan sosial. Disamping itu, perempuan dianggap makhluk kasta kedua setelah laki-laki dalam kehidupan bersosial di kalangan bangsa Arab.

Oleh sebab itu, model penyelesian sengketa harta waris bagi sebagian kalangan masyarakat di Indonesia dinilai tidak mempunyai prinsip keadilan karena hanya mengutamakan ahli waris dari jalur laki-laki saja. Laki-laki masih dominan dari perempuan dianggap berbeda dengan paham matrilineal atau parental (bilateral) yang juga dikenai daiam struktur kekeluargaan di Indonesia.

Menurut prinsip kewarisan bilateral sebagaimana yang berlaku dalam hukum kewarisan Islam yang diatur dalam QS. An-Nisa ayat (7) bahwa antara Iaki-iaki dan perempuan mempunyai hak untuk menerima warisan dari ayah, ibu, dan kerabatnya.

Sebagai contoh sebut saja A seorang ayah mempunyai tiga anak, sebut B perempuan, C laki-laki, dan D perempuan. A (ayah) meninggal dunia dan anak perempuannya yang bernama B dan anak laki-lakinya yang bernama C telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum ayahnya (A), B meninggalkan satu anak perempuan sebut saja dan C juga mempunyai anak laki-laki sebut saja F.

***

Menurut paham hukum kewarisan ahlussunnah, maka E anaknya B tidak dapat bagian warisan dari A (kakeknya) karena E sebagai ahli waris dzawil arham yang ditutup oleh F cucu laki-laki dari anak laki-laki yang berstatus sebagai ashabah.

Penyelesaian dari contoh kasus di atas adalah dengan mendapat bagian sebagai dzawil furud yang bagiannya ½, dan F sebagai ashabah menerima sisa setelah dikurangi ½ bagian D.

Kalau contoh kasus tersebut ditinjau dari surat an-Nlsa ayat (7), maka apa perbedaan antara E dan F yang dalam hal nasab (keturunan darah) sama-sama sebagai cucu dari pewaris (A). Menurut QS. An-Nisa ayat (7) antara E dan F sama-sama menempatkan kerabat dari A (kakeknya) dan dia berhak mewarisi hartanya.

Contoh kasus tersebut merupakan prinsip kearisan parental (bilateral) yang lebih denat dengan hukum kewarisan dalam konsep fikih mazhab Syiah meskipun tidak secara menyeluruh.

Baca Juga  Bagian Waris Laki-laki dan Perempuan, Mungkinkah Setara?

Sebagian umat Islam di Indonesia memandang bahwa konsep kewarisan yang ditawarkan oleh ahlussunnah tidak adil karena kedudukan E dan F sama sama berstatus sebagai cucu hanya yang membedakan adalah E dari garis (keturunan) perempuan sedangkan F dari keturunan laki-laki.

Implikasinya, E tidak mendapatkan harta waris dari pewaris yang ada di atasnya. Atas dasar inilah mengapa kemudian sebagian umat Islam yang menganut paham hukum kewarisan bilateral memandang tidak adil mereka lebih memilih berpedoman menggunakan hukum waris secara adat dalam menyelesaikan persoalan pambagian harta warisan.

Lebih ekstrem lagi, mereka tidak mau berpedoman kepada hukum waris Islam. Pemahaman tersebut tidak serta merta lalu menuduh bahwa umat Islam yang tidak menggunakan hukum kewarisan Islam dituduh sebagai orang fasik atau bahkan kafir, tentu secara keseluruhan ada faktor yang melatar belakanginya.

***

Pandangan sebagian umat Islam yang menggunakan hukum waris adat mereka mempunyai anggapan bahwa hukum waris Islam tidak adil dalam menyelesaikan contoh kasus di atas. Pilihan tersebut di satu sisi dapat dipahami karena berpedoman pada paham ahlussunnah di mana keturunan perempuan ditutup oleh laki-laki.

Sebagai contoh kasus di atas keturunan perempuan (dalam pandangan ahlussunnah disebut dzawil arham yang dia tidak mendapatkan bagian warisan sepanjang ada dzawil furudl dan ashabah). Padahal, kalau ibunya masih hidup, maka ibunya tentu bersama saudara laki-lakinya (paman dari cucu perempuan tersebut) mendapatkan warisan.

Atas pandangan itulah, banyak umat Islam Indonesia yang masih menolak hukum waris Islam. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apakah hukum adat sebagai dasar untuk menyelesaikan waris mewarisi dapat menyelesaiakan persoalan waris yang ada? Ahlussunah dan Syiah mempunyai pemahaman yang berbeda terkait dengan pertanyaan tersebut.

Ahlusunnah berpendapat bahwa membenarkan adanya hukum adat Arab tetap berlaku, dan menolak secara tegas konsep yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Sedangkan, Syiah berpendapat bahwa antara laki-laki dan perempuan ini mempunyai hak yang sama untuk saling mewarisi.

Penafsiran syiah ini lebih luas karena tradisi berfikir Syiah yang lebih mengutamakan keadilan substansial dalam perkara kewarisan ini. Adat istiadat dapat dijadikan dasar pembagian harta waris sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah sehingga dalam tradisi hukum waris Islam versi syiah hanya mengenal dzu faraid dan dzu qurabat.

Pendapat ini dilandasrkan pada kaidah fikih yakni al-‘adah al-muhakamah yaitu adat istiadat dapat dijadikan sebagai hukum selama tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam utama.

Baca Juga  Hibah, Wasiat, dan Hibah Wasiat

Ahli Waris Pengganti Sebagai Solusi

Pertentangan ahlusunnah dan Syiah ini tentu tidak dapat dihindarkan karena secara keseluruhan memiliki latar belakang intelektual yang berbeda. Sehingga, umat Islam Indonesia harus bijak dalam mengambil keputusan terkait dengan hukum kewarisan Islam ini.

Tidak menutup kemungkinan pembagian harta waris ini menyulut konflik di kehidupan sosial. Salah satu solusi terkait dengan perbedaan tersebut adalah lahirlah konsep ahli waris pengganti yang didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 174 menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mewarisi.

Prinsip dalam pasal 174 ini didukung dengan ketentuan pasal 185 tentang ahli waris pengganti. Pada prinsipnya, penggantian ahli waris ini tidak menutup golongan ahli waris perempuan untuk mendapatkan warisan dari pewaris.

Sebagai contoh, ada pewaris sebut saja A seorang ayah mempunyai tiga anak, sebut B perempuan, C laki-laki, dan D perempuan. A (ayah) meninggai dunia, dan anak perempuannya yang bernama B meninggai dunia terlebih dahulu sebelum ayahnya (A).

B meninggalkan satu anak perempuan sebut saja E, maka penyelesaiannya E (cucu perempuan dari anak perempuan) tidak tertutup oleh anak laki-iaki. Tetapi E (cucu perempuan) tersebut menggantikan kedudukan ibu (B yang meninggai dunia terlebih dahulu sebelum pewaris/kakeknya meninggai dunia) yang mewarisi berbagi dengan paman dan bibinya (saudara laki-laki dan perempuan ibunya).

Oleh karena E (cucu perempuan) menggantikan ibunya, maka bagiannya sama dengan bagian ibunya (B) dan bagian bibinya (D). Karena E menggantikan kedudukan ibunya yang sederajat dengan bibinya (D).

Konsep ahli waris pengganti ini merupakan hasil ijtihad yang memadukan antara dua arus pemikiran besar yakni ahlussunah dan Syiah dalam mengurai sengkarut hukum kewarisan Islam yang ada di Indonesia.

***

Tentunya, konsep ini lahir berdasarkan sumber hukum Islam utama yakni QS. An-Nisa ayat 7. Dengan demikian, stakeholder penegak hukum (Hakim, Advokat, dan Mediator) tidak ragu lagi dalam menyelesiaikan sengketa hukum kewarisan Islam di Indonsesia secara hukum postif telah mendapatkan legitimasi dan secara syara’ juga telah dijelaskan di dalam sumber hukum utama.

Sehingga, tidak ada keraguan lagi bagi umat Islam Indonesia menggunakan dasar Hukum Waris Islam dalam menyelesiakan persoalan hukum yang dialami.

Editor: Yahya FR

Rheza Firmansyah
2 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Siber Muhammadiyah dan Advokat LBH Muhammadiyah Ponorogo
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *