Feature

Baju Dosen, Tuneeca, dan Nilai Sosial-Emosional

4 Mins read

‘Ini Ibu Yuli, bener kan?’. Sapa salah satu pengguna lif pagi itu di bulan Januari 2023 lalu, nyaris membuyarkan sejenak lamunanku tentang penatnya lalu lintas di jalan Ir. Juanda, Ciputat yang selalu macet, tidak pernah ada pelebaran jalan sejak 23 tahun yang lalu aku ke Jakarta. Aku menoleh, menuju arah suara. Maklum, ada rasa sedikit bangga, karena aku memakai masker, dan ia mengenaliku dengan baik. ‘Iya betul’, jawabku singkat. ‘Assalammu’alaikum bu. Apa kabar?’ laki-laki itu menjulurkan tangannya. ‘Wa’alaikum salam, kabar baik’, jawabku sambil menyambut tangannya, dan ia mencium tanganku dengan jidatnya. Aku masih penasaran, karena ia juga memakai masker. Aku balik tanya ‘oya, maaf siapa ya? Maaf, kok tahu, kalo saya Yuli’. Setengah tertawa iya menjawab ‘hafal dong bu, kan dulu waktu saya semester dua, ibu pake baju ini, sekarang saya mau lulus, ibu pake baju ini lagi’. Seketika kudengar sontak ada suara-suara tawa kecil dari pengguna lif lainnya. Mencoba menetralkan suasana, aku jawab ‘ach kamu bisa saja, saya kan bukan model yang gonta-ganti baju terus-terusan’, jawabku singkat. Tiba-tiba aku merasa tak perlu lagi ada kalimat tanya yang bisa kusampaikan walau sekedar untuk ‘keep confersation’. Ach.. Rasanya, lif menuju lantai lima terasa lama, lebih lama dari perjalanan ojek online ku pagi itu.

Bukan model

Sebagai dosen, ini kali pertama ada mahasiswa yang secara berani jujur berkata tentang pakaianku di depan umum yang menurutnya tak ganti model. Bisa jadi, bukan hanya dia, mahasiswa/i ku lainnya juga berpikir atau mungkin menggunjingkan pakaianku yang tidak berganti setiap semester. Untungnya aku memakai masker saat itu, jadi aura wajahku tertutupi dari rasa nano-nano. Tidak salah ketika mahasiswaku itu berkata jujur, toh aku pun jua tak marah. Hanya rasa malu saja, benarkah bajuku tak pernah ganti.

Baca Juga  Ramadhan di Al-Azhar: Ada 130 Imam untuk Salat Isya dan Tarawih

Sebagai dosen, aku lebih memilih menghabiskan waktu di rumah saat tak ada aktivitas. Bagiku belanja baju, atau sekedar cuci mata ke mall adalah sesuatu yang sangat malas kulakukan. Malas memilih baju, lebih malas lagi menawar harga baju. Maka, jadilah dalam setahun, rasanya 10 jari saja tidak akan habis untuk menghitung berapa kali belanja baju. Belanja kebutuhan pokok rumah saja, lebih senang belanja di toko sebelah, warung tetangga, tinggal kasih catatan, lalu abangnya akan antar sampai rumah. Hanya sesekali ke mall, itu pun bukan untuk belanja, tetapi menemani anak-anak baca buku di Gramedia. 

Tetapi, kata-kata mahasiswa tadi terus terngiang, hingga perjalanan pulang dari kampus, aku bertanya dalam hati ‘seburuk itukah baju-bajuku?’, ‘sejelek itukah warnanya’. Sampai rumah, aku cerita pada suami. Tanggapannya ‘kan kita bukan model, mah’. Ya persis seperti jawabanku di lif tadi.

Tapi, sekali lagi, aku terus terngiang-ngiang ucapan laki-laki mahasiswaku tadi di lif. Lalu aku pada kesimpulan. ‘aku harus menghargai dirimu, dengan pakaian yang enak di pandang mata. Aku seharian berada di depan kelas, aku sumber pengetahuan mereka, aku bisa menjadi kompas kehidupan. Jangan sampai arah mereka menjadi salah karena salfok (salah fokus) dengan baju yang tak berganti’, gumamku menutup malam.

Mengenal Tuneeca

Dalam sebuah workshop, temanku, Muflihah, memakai gamis yang menurutku tidaklah umum, warnanya campur-campur namun terlihat manis. Aku bertanya merek bajunya. Ia jawab Tuneeca. Aku langsung googling, ketemu. Tetapi, melihat harga yang tertera. Aku buru-buru menutup smart phone dan melanjutkan diskusi workshop.

Lama tak mengingat Tuneeca, tiba-tiba aku lagi-lagi teringat perkataan mahasiswaku. Sekitar bulan Maret 2023 lalu, ku buka kembali website Tuneeca. Mencoba mengirim pesan pada gambar whatsup di website. Tak disangka, adminnya sangat sopan dan ramah melayani. Kuberanikan diri memesan baju yang bertuliskan ‘Harga Spesial’. Dua hari kemudian, pesananku tiba.

Baca Juga  Kisah Seorang Buruh Setrika yang Ketiban Rezeki Saat Muktamar Muhammadiyah ke-48

Melihat detail bahannya, model yang tidak umum di pasaran, memang worth it dari harga yang tertera. Walaupun beberapa model menurutku terlalu ramai karena berani bermain warna. Tetapi itulah Tuneeca, jika aku tak salah duga, ciri khasnya adalah satu baju terdiri lebih dari tiga bahan dan warna. Kecuali mereka Poeva dari Tuneeca, agak lebih hemat warna dan campuran bahan. Singkat cerita, mengumpulkan rupiah dari hasil koreksian jawaban UTS/UAS, atau berkegiatan, aku membeli ‘Harga Special’ bermerek Tuneeca, Tuneeca Daily, dan Poeva.

Oya, terkait isu ‘model yang tidak umum di pasaran’, aku juga punya pengalaman unik nan seru yang hingga kini sulit kulupakan. Ceritanya begini, di tahun 2018 ketika sedang aktif pengadvokasi menaikan usia minimal menikah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Suatu sore, kami ada pertemuan khusus dengan Menteri Agama, Bapak Lukman. Ketika itu, aku memakai baju seragaman panitia kampus. Tanpa disangka, bajuku sama persis dengan peserta meeting sore itu. Tadinya ada rasa senang, ketika lihat dari belakang ada orang yang pakai baju sama, kupikir teman kampus, tetapi ketika disapa ternyata bukan, ia adalah staf timnya Pak Menteri. Ada rasa malu. Singkat cerita, kami sama-sama tertawa dan akhirnya foto bersama. Nah kan, baju seragaman kampus ternyata lumayan pasaran, hehehe. Nampaknya, Tuneeca tidak demikian. Sebagai baju Muslimah bermerek, model baju Tuneeca memang tidak ada di pasaran.

Merek, Kesadaran Semu, dan Keputusan Bebas Konsumen 

Dalam isu gender, ada yang dikenal ‘kesadaran semu’. Contohnya seorang istri akhirnya meninggalkan karier yang sedang bagus-bagusnya, bersedia tinggal di rumah mengurus anak dan rumah tangga atas nama pengabdian pada suami dan keluarga. Sayangnya, bila keputusan perempuan tersebut, bukan keputusan sadar, tetapi keputusan ‘ter(di)paksa’ karena tidak ada pilihan, misalnya tidak mampu membayar gaji pekerja rumah tangga (PRT), suami tidak mau berbagi pekerjaan dan pengasuhan anak, sehingga istri tidak punya pilihan dan harus stay di rumah. Situasi tersebut disebut kesadaran semu. Karl Marx menarasikan sebagai sikap yang dibentuk oleh pihak lain, kelas atas, yang tentu saja tidak secara akurat mencerminkan posisi yang obyektif.

Baca Juga  Isra' Mi'raj: Peristiwa Dahsyat di Luar Nalar Manusia

Terlepas dari itu, ada pula yang disebut sebagai ‘keputusan bebas konsumen’ oleh Philip Kotler dan Gary Armstrong. Yakni sebuah keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk yang dilakukan secara bebas, misalnya dalam hal memilih warna produk, bahan produk, tempat pembelian, bagaimana caranya, jumlah banyaknya produk yang dibeli, kapan membeli, dan mengapa harus membeli, sampai pada konsumen benar-benar membeli produk tersebut. Lebih lanjut, Philip dan Gary dalam ‘Principles of Marketing’ mengatakan bahwa konsumen bisa pada tahap kesimpulan bahwa konsumen membeli dan mengonsumsi produk bukan sekedar karena nilai fungsi awalnya, sesuai kebutuhan, namun juga karena nilai sosial dan emosionalnya.

Nah, nilai sosial dan emosionalnya itulah yang sedang aku rasakan. David Allen Aaker mengatakan bahwa rasa percaya diri pelanggan atas keputusan pembelian disebabkan karena kedekatan pelanggan dengan merek, baik itu disebabkan oleh pengiklanan dan kepopuleran merek, kredibilitas merek di mata pelanggan serta pengalaman pelanggan atas merek yang dibeli pelanggan. Nampaknya keramahan admin whats up Tuneeca, kemudahan belanja dengan tinggal klik di website tanpa ribet, admin yang gercep dan selalu mengup-date produk dengan sopan, telah memenangkan hatiku, sebagaimana yang diuraikan David, Kotler, dan Gary. Sehingga, dari kegalauan perkataan mahasiswa sehingga belanja Tuneeca dengan ‘kesadaran semu’ bukan sebuah keinginan atau kebutuhan, menjadi pilihan bebas dan muncul rasa percaya diri karena tak sama di pasaran.

Editor: Soleh

Avatar
12 posts

About author
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta I Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I Anggota LHKP PP Muhammadiyah I Penulis Buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *