Feature

Bandingkan Mall dan Konser Kok dengan Masjid dan Salat Id?

4 Mins read

Beberapa hari ini, beredar foto di media sosial terkait banyaknya warga yang datang ke pasar, mungkin untuk berbelanja baju lebaran atau lainnya. Seiring ramainya netizen yang membicarakannya, karena mengingat adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) di beberapa wilayah di Indonesia. Sehingga membuat penerapan PSBB pun dipertanyakan, mengingat terlihat berjubelnya antrian yang terekam dalam sebuah foto maupun video yang beredar.

Dengan adanya ini, masyarakat pun banyak yang mempertanyakan dan bahkan membanding-bandingkan dengan peniadaannya Salat Id di tanah lapang atau pun di masjid. Ada pula warganet yang membandingkan himbauan peniadaan Salat Id (di tanah lapang dan masjid) dengan sebuah acara konser yang bertajuk amal, mungkin saking gregetnya masyarakat sehingga mereka membandingkan pasar dan konser dengan himbauan peniadaan Salat Id. Tak sedikit banyak dari mereka yang geram, sehingga mengabaikan himbauan itu (Salat Id) dengan tetap mengadakan Salat Id, baik di tanah lapang atau pun di masjid.

Pasar dan Konser Tidak Sebanding dengan Ibadah

Sejatinya, ibadah seperti Salat Id merupakan perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, jadi tentang hubungan kita kepada Allah (Hablun-minallah). Sedangkan belanja, ataupun menggelar konser merupakan urusan duniawi yang tentunya akan kita pertanggungjawabkan kelak di akhirat. Jadi, membanding-bandingkannya amat sangat tidak pas (apple to apple) karena jelas suatu hal yang berbeda.

Memang mungkin kita sedikit kesal karena seakan mereka tidak diperbolehkan Salat (berjamaah) dalam rangka PSBB atau pun yang lainnya (physical dan social distancing), namun pasar malah berjubel pembeli, bahkan sampai ada konser. Namun sejatinya umat tidak perlu merisaukan dan memperdebatkannya, apalagi membandingkannya. Justru kita umat Islam haruslah menjadi contoh bagi mereka yang masih belum taat kepada himbauan Pemerintah dan ulama kita agar menahan diri untuk tidak berkerumun guna memutus rantai penyebaran virus Corona.

Baca Juga  MCCC Gandeng Mitra Kerjasama Penanganan Covid-19

Lagi pula, dengan kita beribadah di rumah bersama keluarga, tidak akan mengurangi nilai pahala dari ibadah itu sendiri. Jadi, kita tidak perlu cemburu kepada mereka yang berdesakan di mall atau konser, biarlah! Mari kita berikan contoh bagi mereka, bahwa Islam itu indah,  banyak kemudahan dalam beribadah, serta taat pada aturan. 

Pasar Mungkin Memang Harus Buka

Di masa menjelang Lebaran ini, mungkin pasar memang harus buka, karena masyarakat kita banyak yang berburu baju baru hingga diskonan menjelang hari raya. Apalagi bagi mereka yang mempunyai rizki lebih serta mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), rasanya sayang jika tidak pergi belanja. Tetapi itu ketika tahun lalu dan tahun-tahun Lebaran sebelumnya, untuk tahun ini seharusnya kita lebih menahan diri dengan tidak ke pasar atau pun tempat yang berpotensi menimbulkan kerumunan karena adanya pandemi.

Tetapi ketika ada pandemi seperti sekarang ini, pasar mungkin memang harus buka karena mereka mempunyai keinginan memperoleh pendapatan dari hasil penjualannya, dan sejauh ini tidak ada larangan bagi pasar untuk tutup. Sebagaimana kata Prof. Mahfud MD yang dilansir oleh detik ketika menyikapi kenapa mall masih buka sedangkan masjid ditutup, sesuai jawaban Menko Polhukam, “Saya kira yang dibuka itu bukan melanggar hukum juga karena memang ada sektor atau 11 sektor tertentu yang oleh undang-undang boleh dibuka dengan protokol. Tetapi yang melanggar seperti IKEA itu kan juga ditutup. Yang melanggar ya,” begitulah jawaban Prof. Mahfud.

Dari sini kita harus berpikir dengan hati yang tenang, bahwa dengan dibukanya pasar atau mall, merupakan ujian bagi kita agar kita lebih bisa menahan diri, sebagaimana hakikat dari berpuasa. Sebagai umat Islam dan sebagai warga negara yang baik, untuk selalu menampilkan teladan yang baik (qudwah hasanah). Biar pihak lain melanggar, tapi kita dapat menahan hawa nafsu untuk tidak terjebak ke dalam kesesatan. Begitulah salah satu pesan Prof. Din Syamsuddin dari 6 pesan yang beliau sampaikan, seperti yang dikutip oleh pwmu.co beberapa hari lalu.

Baca Juga  Amin Abdullah: Enam Jalan Moderasi Beragama

Mari Kita Rapatkan Barisan

Oleh karena itu, sebagai umat Islam khususnya warga Muhammadiyah, sudah seharusnya kita mentaati dan mengikuti apa yang sudah menjadi kebijakan Persyarikatan. Sebagaimana pesan Prof. Haedar Nashir, memedomani himbauan Muhammadiyah tentang Tuntunan Salat Idulfitri dalam Kondisi Darurat Covid-19 yang telah dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah adalah wujud mengikuti garis kebijakan organisasi agar berada dalam satu barisan yang kokoh sebagaimana perintah surat Ash-Shaff ayat 4.

Namun, realita di akar rumput dengan alasan kondisi masih aman dan dalam wilayah zona hijau, masih ada warga Persyarikatan yang akan menggelar Salat Id berjamaah di tanah lapang (lapangan) pada 1 Syawal 1441 H (24 Mei 2020) nanti. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan, kalimat “masih aman” berarti masih ada atau mempunyai  tidak atau belum aman. Namun jika saja kalimatnya “sudah aman“, maka wilayah tersebut bisa jadi sudah mengalami atau sudah bangkit dari kondisi darurat. Maka, himbauan PP Muhammadiyah melalui surat edaran no 04/EDR/I.0/E/2020 dalam hal ini mencakup secara keseluruhan, dari akar rumput (ranting) hingga pusat, guna menjaga warganya agar tidak terkena wabah Covid-19.

Di sini komitmen organisasi kita diuji, maka sebagai warga Persyarikatan, hendaknya kita mengikuti apa yang sudah disampaikan oleh PP Muhammadiyah. Tentu adanya Surat Edaran No. 04/EDR/I.0/E/2020 tersebut sudah melalui kajian dan mungkin perdebatan di kalangan ulama kita yang ada di pusat, dan juga melalui pertimbangan dari berbagai aspek serta para ahli, termasuk ahli kesehatan.

Melihat kalimat yang ada pada surat edaran tersebut, “Khusus bagi warga Muhammadiyah dengan seluruh institusi yang berada di lingkungan Persyarikatan dari Pusat sampai Ranting dan jama’ah hendaknya memedomani tuntunan ini sebagai wujud mengikuti garis kebijakan organisasi untuk berada dalam satu barisan yang kokoh (QS Ash-Shaff: 4).” Maka sudah seharusnyalah kita sebagai orang yang selalu mengikuti, dan menjadikan kebijakan PP Muhammadiyah sebagai pedoman selama ini, hendaknya saat ini juga demikian.

Baca Juga  Jangan Tak Jujur di Tengah Pandemi

Bukan malah meributkan pasar buka, konser, dan kebijakan dari Pemerintah dengan ditiadakannya Salat Id atau pun ditutupnya masjid (Jawapos). Saat ini justru kesempatan bagi kita untuk menunjukan umat Islam mampu menjadi contoh untuk taat dan turut serta melawan Corona dengan sepenuhnya. Khususnya bagi warga Muhammadiyah, saatnya merapatkan barisan serta memperkuat kesolidan kita sebagai warga Persyarikatan yang mempunyai komitmen terhadap garis kebijakan organisasi yang selama ini kita ikuti.

Jangan sampai kita selama ini mengikuti fatwa dan himbauan PP Muhammadiyah, lalu sekarang dalam hal salat id kita mengikuti fatwa (lembaga/organisasi) lain, atau bahkan mengikuti ego kita, yang mungkin karena kecewa dengan pasar atau pun konser.

Oleh karena itu, mari kita jadikan edaran PP Muhammadiyah sebagai pedoman, jika masih di zona aman, maka mari kita pertahankan keamanannya dengan mengikuti garis kebijakan Persyarikatan. Sesungguhnya tidak perlu kita perdebatkan hal ini, karena sejatinya kita mengakui akan ijtihad yang dilakukan para ulama kita di PP Muhammadiyah sudah melalui pertimbangan dari berbagai aspek dan keterangan serta saran dari para ahli, baik ahli agama, dan juga ahli kesehatan.

Untuk itu, mari kita rapatkan barisan, kita kawal keputusan Muhammadiyah. Karena dengan kita menghargai apa yang sudah menjadi kebijakan Persyarikatan, sama halnya dengan kita menghargai diri kita sendiri yang mengaku dan bernaung di bawah sinarnya (Muhammadiyah).

Editor: Arif

Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds