Membahas tentang Muhammadiyah tidak ada habisnya. Bisa dibahas dari segi manapun. Tulisan ini juga membahas dari sudut pandang penulis, mengambil pendapat dari Buku Muhammadiyah Jawa.
Awalnya, Muhammadiyah itu sangat erat dengan budaya lokal. Hal itu bisa dilihat dari sejarah para tokoh awal Muhammadiyah. Tetapi, pandangan masyarakat bahwa Muhammadiyah mulai menjauh dari tradisi lokal. Hal itu bisa terjadi karena beberapa peristiwa, yakni; munculnya gerakan Islam lain yang dianggap lebih mewakili Islam dengan budaya lokalnya dan beberapa peristiwa yang membuat Muhammadiyah bisa bergeser sikapnya terhadap budaya lokal.
Meskipun masih banyak bukti Muhammadiyah identik dengan varian budaya Jawa, tetapi sudah tidak se-kenthel pada masa awal pendirian Muhammadiyah. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran ini. Beberapa di antaranya adalah masuk dan berkembangnya ideologi Wahabi di organisasi. Terutama setelah Makkah dan Madinah dikuasai oleh Saud-Wahabi.
Sebagai organisasi yang identik dengan gerakan Wahabi, Muhammadiyah lantas menjadi kurang toleran terhadap tradisi masyarakat setempat (Nadjib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010).
Kemenangan Wahabi 1924
Pada tahun 1924, Wahabi menang di Makkah dan Madinah. Ini adalah salah satu peristiwa yang memicu bergesernya Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. Kecenderungan puritan Muhammadiyah yang kuat dalam urusan agama tentu saja dipengaruhi oleh kemenangan Wahabi di Arab Saudi ketika mereka menaklukkan Makkah.
Kebijakan Kolonial pada waktu itu yang memisahkan antara adat dan Islam sangat gencar. Di lain sisi, Wahabi bertekad memurnikan praktik-praktik keagamaan di Arab. Terutama di sekitar dua kota suci, Makkah dan Madinah. Mereka juga ingin menghapus mazhab-mazhab dan langsung kembali ke Al-Qur’an dan sunah (Nadjib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010).
Kebijakan Pemerintah Kolonial yang memenangkan dan mendukung adat di Indonesia, membuat Muhammadiyah merasa harus melawannya. Karena kala itu, Muhammadiyah beranggapan bahwa Pemerintah Kolonial akan melemahkan Islam melalui kendaraan bernama adat lokal.
Dengan begitu, banyak dari para anggota Muhammadiyah menjadi meniru pemurnian ala Wahabi di Arab karena Muhammadiyah ketika itu tidak ada doktrin sistematis teologis kepada anggotanya. Di lain sisi, Muhammadiyah juga kelihatan seakan-akan berlawanan dengan adat (Nadjib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010).
Secara historis, Muhammadiyah sangat kental dengan budaya Jawa. Hal itu bergeser setelah ada peristiwa yang memicu, satu penyebabnya adalah berkembangnya ideologi Wahabi dan bercampurnya budaya lain dalam Muhammadiyah (Testimoni Buku Muhammadiyah Jawa Nadjib Burhani oleh Rahmawati Husein, Mantan Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiah (NA) 1995-2000 dan 2000-2004).
Berdirinya Nahdlatul Ulama 1926
Mungkin, sekarang pandangan masyarakat menganggap bahwa hanya NU yang masih sesuai dengan Islam Jawa daripada Muhammadiyah. Suatu ketika, penulis pernah bertemu dengan Orang non-muslim dari Sumatera. Dia bertanya, “Oh kamu Muhammadiyah ya? Setahu saya, orang Jawa biasanya NU.” Padahal, dia kuliah lama di Yogyakarta, tempat berdirinya Muhammadiyah.
Hal itu jauh dari catatan sejarah awal berdirinya Muhammadiyah yang lebih erat dengan budaya lokal. Bahkan kelihatan bahwa anak muda NU lebih aktif dengan budaya lokal daripada anak muda Muhammadiyah sekarang.
Di masa awal berdirinya, pengurus Muhammadiyah adalah para priyayi Kraton Yogyakarta (seperti Raden Ketib Tjandana Haji Ahmat dan Raden Sosrosugondo) (Nadjib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010).
Cara berpakaian pimpinan Muhammadiyah mendekati budaya Jawa. Pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929, misalnya, seruan untuk memakai pakaian tradisional masuk dalam salah satu aturan bagi peserta Muktamar.
“Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak melanggar Sjara’. Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja.” (Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang Terbesar di Solo, 1929).
Bahasa Jawa adalah bahasa resmi di Muhammadiyah sebelum digantikan oleh bahasa Indonesia. Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang memperkenalkan khutbah Jum’at dalam vernacular language (bahasa masyarakat setempat). Pesan-pesan dalam khutbah Jum’at dianggap Muhammadiyah tidak akan bisa sampai kepada pendengarnya jika memakai bahasa Arab. (Nadjib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010).
Muhammadiyah tidak pernah menolak upacara grebeg yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta. Penghulu-penghulu yang berperan aktif dalam upacara tradisional di Kraton itu, sejak zaman Ahmad Dahlan dan para pimpinan Muhammadiyah.
Pembentukan Majelis Tarjih 1927
Faktor lain yang ikut berpengaruh dalam membentuk karakter Muhammadiyah dalam kaitannya dengan kejawaan adalah pembentukan Majelis Tarjih yang terkesan sangat syari’ah-oriented.
Pendirian lembaga ini dipelopori oleh Mas Mansur, seorang ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan pedalaman memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal lebih ketat dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta. (Nadjib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010)
Awalnya Muhammadiyah tidak punya doktrin yang ketat, atau memaksakan sistematisasi teologis kepada para anggotanya. Pada tahap-tahap awal, Muhammadiyah lebih memerhatikan kesejahteraan sosial dan kegiatan pendidikan ketimbang keyakinan dan perilaku beragama seperti masalah-masalah akidah dan syariah.
Selain faktor itu, juga munculnya nasionalisme yang ditandai oleh Sumpah Pemuda pada 1928. Setelah peristiwa-peristiwa ini, Muhammadiyah menjadi semakin kurang erat dengan budaya Jawa (Nadjib Burhani, Muhammadiyah Jawa, 2010).
Padahal peran Muhammadiyah sebagai sekutu kaum priyayi dan pendukung budaya Jawa tergambar dalam hubungan antara Ahmad Dahlan (dan Muhammadiyah) dan Boedi Oetomo. Singkatnya, sebagaimana dinyatakan Von der Mehden, peran ini dimaksudkan untuk mempertahankan nasionalisme. Ia mengatakan, “Upaya gerakan pembaruan di Jawa ini untuk melindungi dan memajukan sejarah dan seni Jawa turut memperkuat nasionalisme.”
Editor: Yahya FR
Dekat rumah saya orang ber ormas di muhamadiyah dan saya berharap ormas di NU memang pandangan saya orang muhamadiyah berusaha membuat orang Jawa lupa dengan jawanya sebab di desa saya orang muhamadiyah sering ngomel sendiri gara gara warga NU mau ziarah masal ke makam sanak saudara dan itu orangnya masih sodara saya sendiri namun hanya beda ormas