Tajdida

Fundamentalisme Agama itu Ancaman Nyata, Bukan Omong Kosong!

3 Mins read

Fundamentalisme – Meminjam perspektif sejarawan Arnold J Toynbee tentang tahapan perkembangan peradaban, pendulum Islam tampaknya berayun dalam time of troubles. Sebuah dimensi waktu yang penuh pergolakan memperebutkan otoritas dan klaim kebenaran.

Akibatnya, memunculkan dua gugus paradigma Islam yang berlawanan secara diametral. Di satu sisi, Islam dianggap kompatibel dengan modernitas. Varian Islam inilah yang kemudian disebut dengan kelompok Islam moderat.

Namun, di sisi lain, Islam menampakkan wajah puritan dengan menolak mentah-mentah modernitas, termasuk gagasan demokrasi dan hak asasi manusia.

Kadangkala, resistensi diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan anti-toleransi. Jumlah varian Islam ini memang terbilang minoritas, namun eksistensinya sangat meresahkan.

Menguatnya Fundamentalisme dalam Beragama

“Sisi gelap” Islam tersebut merupakan realitas yang tidak terbantahkan. Sebuah jurnal keislaman yang diterbitkan di Leiden, Belanda ISIM Review (edisi musim gugur 2006) mengangkat gejala membuncahnya fundamentalisme Islam dengan berbagai varian ideologis dan gerakan sebagai topik utama.

Literalisme yang kaku (strict literalism) yang meletakkan teks menjadi satu-satunya sumber legitimasi merupakan karakteristik fundamentalisme. Hal ini merupakan implikasi jauh dari terpatrinya otokhtonitas Islam yang mengandaikan Islam yang tunggal, self-contained, dan self-defined.

Fundamentalisme yang Menjadi Ancaman

Ancaman fundamentalisme bukan isapan jempol, melainkan fakta sosial yang tidak dapat diabaikan. Merebaknya terorisme yang ‘membajak’ jihad dan kekerasan atas nama Islam dalam skala global adalah bukti nyata.

Berbarengan dengan itu, menjamurnya gerakan Islam garis keras yang mengusung ideologi keagamaan radikal berkembang biak. Dengan bersenyawa marjinalisasi, alienasi, dan deprivasi sosial, ideologi keagamaan tersebut memicu terjadinya radikalisme dan kekerasan.

Dalam konteks Islam Indonesia, fakta ini tergambar secara gamblang dengan kelangkaan toleransi sebagaimana dilansir Lembaga Survei Indonesia (Tempo, 20 Agustus 2006).

Baca Juga  Kyai Ahmad Dahlan dalam Pemberdayaan Perempuan

Sebagai ideologi keagamaan, fundamentalisme dan istilah yang sepadan telah digunakan banyak akademisi untuk mendeskripsikan radikalisme keagamaan.

Namun dengan pertimbangan konseptual-distingsif, dalam karya ini, Khaled Abou El Fadl, mengintrodusir nomenclature Islam puritan. Islam puritan dipergunakan karena ciri menonjol kelompok keagamaan ini menyandarkan pada absolutisme teks dan fanatisme.

Dalam banyak hal, orientasi kelompok ini cenderung puris, yang tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang pluralis sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati serta tunggal (hlm. 29).

Genealogi Islam Puritan

Kemunculan kelompok Islam puritan mempunyai keterkaitan erat dengan ideologi keagamaan yang dibangun Muhammad ibn Abd al-Wahhab (w. 1792). Gagasan utamanya adalah bahwa umat Islam menyimpang dari Islam yang murni.

Untuk itu, kembali kepada al-Qur’an dan hadits (al-ruju ila al-Qur’an wa al-hadits) merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar dalam rangka membersihkan Islam.

Wahabi memperlihatkan kebencian yang meluap terhadap intelektualisme dan mistisme karena dianggap berasal dari luar Islam. Rasionalisme dan filsafat dipandang sebagai barang haram lantaran berasal dari Yunani. Pemakaian gelar kehormatan untuk menghargai manusia seperti “profesor”, “doktor”, “tuan” dan sebagainya dianggap menyekutukan Tuhan karena menjiplak tradisi Barat.

Demikian pula, sufisme dianggap inovasi keagamaan sesat (bid’ah dhalalah) yang diwarisi dari ritual keagamaan orang Persia (hlm. 63). Secara ekstrem, Wahabi menggariskan, jika seorang Muslim secara eksplisit atau implisit menyekutukan Tuhan, maka orang Muslim tersebut dipandang sebagai kafir dan layak dibunuh (hlm. 65). Karakteristik puritan menjerumuskan Wahabi pada pemahaman keagamaan yang kaku dan sarat kekerasan.

Paham Hitam Putih al-Wala’ wa al-Bara’

Sebagai gerakan yang terimajinasikan utopia historis zaman keemasan Islam, Wahabi mereformulasikan pemahaman keagamaan yang mencerminkan semangat ‘hitam-putih’ dalam doktrin al-wala’ wa al-bara’.

Al-wala’ adalah doktrin loyalitas tertinggi Muslim yang hanya ditujukan untuk Tuhan dan Islam. Segala bentuk loyalitas selain Tuhan dan Islam, mengakibatkan seorang Muslim keluar dari Islam (murtad).

Baca Juga  Inilah Worldview Muhammadiyah yang Wajib Dipahami Warganya

Sedangkan, al-bara’ adalah menarik garis demarkasi antara Muslim dan non-Muslim. Mengadopsi budaya, membangun aliansi, dan menjalin kerja sama dengan non-Muslim merupakan perilaku yang mengakibatkan Muslim menjadi kafir.

Spirit Salafisme

Di samping itu, Wahabi juga mengusung bendera salafisme. Salafisme adalah sebuah paham yang mengharuskan umat Islam mencontoh Nabi Muhammad dan para sahabat.

Ideologi salaf pada awalnya menekankan purifikasi keyakinan (akidah), namun pada awal abad ke-20, mengalami metamorfosis dari gerakan purifikasi menuju ideologi perlawanan terhadap sesuatu yang dianggap kafir dan tidak sesuai dengan Islam. Karena itu, term kafir, munafik, dan murtad menjadi bahasa keagamaan yang kerap dijumpai dalam Islam puritan.

Kendati kental dengan pemahaman agama yang rigid dan radikalisme, Islam puritan ternyata mendapatkan tempat dalam kesadaran keberagamaan Muslim. Dalam konteks ini, Abou El Fadl mensinyalir bahwa Islam tengah mengalami kekosongan otoritas keagamaan sehingga siapapun berhak mengklaim dan memperebutkan Islam. Modernitas mendera krisis otoritas keagamaan Islam hingga titik nadir.

***

Tidak tersedianya sistem kependetaan dalam Islam mengakibatkan eksistensi ulama atau kiai lebih merupakan otoritas persuasif ketimbang bersifat imperatif dan mengikat.

Kondisi ini ditangkap gerakan Islam puritan sebagai peluang menjejalkan pemahaman keagamaan yang radikal. Islam puritan merupakan ancaman terhadap Islam yang mengajarkan sikap welas asih, kasih sayang, perdamaian, dan menebarkan rahmat.

Karya guru besar hukum Islam UCLA, Amerika ini merepresentasikan kecenderungan memandang pergulatan Islam menurut oposisi binner (berlawanan) antara Islam moderat dan puritan.

Kecenderungan memahami ideologi keagamaan dalam dua kutub pernah dikritik oleh Ernest Gellner (1994:1) sebagai bentuk reduksi yang berlebihan, dan tidak menyediakan adanya jalan ketiga, selain kedua kutub tersebut.

Meskipun demikian, kupasan tema krusial dalam buku ini, seperti demokrasi, hak asasi manusia, jihad, dan peran perempuan memberikan cakrawala pengetahuan yang signifikan untuk memahami pola wacana dan gerakan Islam puritan, termasuk organisasi Islam garis keras di Indonesia.

Baca Juga  Gejala Macetnya Kajian Keislaman di Indonesia

Judul: Selamatkan Islam dari Muslim Puritan
Judul Asli: The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist
Penulis: Khaled Abou El Fadl
Penerjemah: Helmi Mustofa
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2006
Tebal :‏ 388 halaman

Editor: Yahya FR

Muhammad Ainun Najib
7 posts

About author
Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *