Tajdida

Teologi al-‘Ashr KH Ahmad Dahlan

3 Mins read

Ahmad Dahlan salah satu sosok ulama yang karismatik. Sang pembawa teologi kemajuan yang mendobrak segala tradisi dan pola pikir umat islam yang jumud dan sempit. Ia berhasil membawa Islam ke arah yang elegan dan berkemajuan. Selain dikenal dengan sebutan Kiai al-Ma’un, ia juga dijuluki dengan Kiai al-‘Ashr.

Selama ini, hanya teologi Al-Ma’un yang dikaji dan diterapkan dalam Muhammadiyah, tapi sedikit sekali yang membincangkan tentang teologi al-‘Ashr. Walaupun eksplorasi dan elaborasi gagasan Kiai Dahlan lebih banyak dalam pemikiran Al-Ma’un, dan juga teologi Al-ma’un lebih dulu dari al-‘Ashr. Akan tetapi, dalam teologi al-‘Ashr banyak juga mengandung nilai-nilai atau hikmah positif yang masih bisa diterapkan.

Al-Ma’un biasa dikenal dengan ideologi liberasi, yaitu gerakan untuk membebaskan umat dari keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan. Karena itu Muhammadiyah sejak lama telah melakukan pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, mengentaskan kemiskinan, dan menjadikan umat lebih berdaya.

Sedangkan teologi al-‘Asr sendiri menyangkut hubungan dengan Allah (hablum minallah), mengajarkan agar umat Islam menjadi Muslim sejati yang berakidah Islam secara kaffah, dan menjadikan manusia makhluk yang ber-insan kamil, sebagaimana yang didambakan dalam Al-Qur’an.

Istilah tauhid menurut Kiai Dahlan ialah iman, merujuk pada kalimat Al-Qur’an “wa shaddaqa bi al-husnâ,” artinya adalah orang yang percaya dengan sungguh-sungguh perbedaan antara keutamaan dan kenistaan. Juga percaya bahwa dirinya, alam semesta, semuanya ada yang mencipta dan memelihara. Yang dimana puncak dari tauhid/iman tersebut berdampak pada amal shaleh. Sebaliknya, amal shaleh baik disebabkan oleh iman yang baik pula.

Beramal tapi Tidak Beriman

Menurut saya, sudah saatnya untuk mengamalkan teologi al-‘Asr. Dimana umat islam sekarang banyak yang beramal tapi tidak beriman dan banyak yang beriman tapi tidak beramal. Maksudnya, ia melaksanakan syariat Islam tapi tidak dilandasi dengan keyakinan (iman).

Baca Juga  Tuhan tidak Pemarah, Memakmurkan Masjid Bisa dari Rumah

Sebanyak apapun amal kebaikannya, semanfaat apapun karyanya namun jika tidak disertai dengan iman kepada Allah, maka semua itu menjadi sia-sia. Apa yang ia lakukan hanya akan mendapat apresiasi dari manusia, tetapi di hadapan Allah tidak ada nilainya.

Dalam Alquran dijelaskan, “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah datar, yang disangka air  oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu lalu  ia tidak mendapati sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan ) Allah di sisinya,lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur : 39 )

Penjelasan Quraish Shihab tentang ayat ini, yaitu orang-orang kafir dan ingkar mengira bahwa mereka telah berbuat baik. Mereka menduga bahwa perbuatan baik itu akan mendatangkan manfaat bagi di hari kiamat.

Tetapi dugaan mereka itu meleset. Perumpamaan perbuatan mereka yang salah dan tidak berarti itu seperti kilauan yang muncul akibat jatuhnya sinar matahari. Tepat pada siang hari di permukaan tanah yang rata (fatamorgana).

Orang yang kehausan mengira itu adalah air, sehingga ketika dia mendatanginya, dia tidak mendapatkan sesuatu yang bermanfaat. Demikianlah pada hari kiamat, amal perbuatan orang kafir akan menjadi seperti debu yang beterbangan.

***

Dalam ayat lainya juga, “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al -Furqan : 23 ).

Yang maksudnya, pada hari kiamat Allah sendiri akan membeberkan perbuatan baik dan buruk di dunia. Kemudian Allah hapus semua itu dan mereka tidak diberi pahala sedikitpun. Sebab mereka tidak beriman. Padahal keimanan itulah yang membuat suatu amal perbuatan dapat diterima.

Baca Juga  Kekuatan Muhammadiyah Ada Pada Persaudaraan

Sebaliknya, banyak yang mengaku beriman tapi tidak disertai dengan amal (syariat). Seorang belum dikatakan Muslim sejati jika ia belum men-kaffahkan imannya terhadap Allah. Iman itu ialah pengakuan sedangkan amal merupakan hasil dari pengakuan.

Meyakini akan keesaan dan keberadaan Allah, maka ia harus menindak lanjuti pengakuannya dengan pembuktian; menyembah, taat, dan tidak menduakan Allah.

Tapi mirisnya, sekarang ini pengakuan itu cuma terbesit dalam lisan mereka dan enggan untuk menjalankan syariat. Padahal iman dan amal merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Apabila salah satunya hilang, seorang dalam menjalankan Islam tidaklah sempurna. Sebagaimana dalam hadis Nabi, “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR ath- Thab rani).

Itulah mengapa dalam teologi al-‘Ashr ini pada pilar ketauhidan, bertujuan untuk membangun peradaban Islam ke arah yang lebih baik dalam rana duniawi dan ukrawi, memurnikan ketauhidan, membasmi kemunafikan dan kekufuran, membangun karakter umat Islam yang paripurna sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Manusia diciptakan paling sempurna” (QS. At-Tin: 4), satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).

Janji Allah Itu Paripurna

Orang-orang yang berpegang teguh pada agama Allah, mereka beriman dan dari keimanannya ia merevitalisasikan dalam amal saleh, maka tidaklah Allah melihat kecuali Allah menyediakan surga untuknya, “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya(QS. Albaqarah:82).

Selain itu, mereka selalu mendapatkan ampunan dari Allah, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar(Al-Maidah ayat:9).

Itulah sebenarnya hakikat tauhid, jika sudah menerapkan ketauhidan kepada Allah secarah menyeluruh pasti akan berdamapak pada amal shalehnya, dan dari amal shalehnya tersebut, ia merivitalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Baca Juga  Geliat Muhammadiyah di Pedesaan

Sebenarnya, dalam teologi al-‘Ashr ini sendiri tidak hanya pilar ketauhidan, akan tetapi terdapat empat pilar, diantaranya pilar tauhid, pilar keilmuan, pilar kerja keras (produktif), pilar moralitas (wa tawâshau bi al-shabr).

Tetapi saya lebih mengkaji dan mendalami pilar pertama, yaitu tentang tauhid. Menurut saya sendiri sangat bagus untuk diamalkan.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
10 posts

About author
Mahasiswa FAI Prodi Hukum Keluarga Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tamaddun dan Anggota Tapak Suci Putra Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *